Nenek

"Dilla, kamu mau kemana?" Namira heran melihat Dilla sudah rapi dengan tas slempang yang melengkapi penampilannya.

Ari melepaskan Namira dan melihat Dilla yang ntah sejak kapa ada di belakangnya. Tanpa bicara apapun, Ari duduk dan mulai menyantap makanannya.

"Aku mau kerja, Mbak. Mungkin pulangnya sore," jawab Dilla.

"Kenapa nggak di rumah aja? Bukannya semua kebutuhan kamu sudah dipenuhi Mas Ari?" Namira tahu kalau suaminya Ari akan bertanggung jawab memenuhi nafkah lahir untuk Dilla sebagai istri keduanya.

"Aku nggak biasa berdiam diri di rumah, Mbak. Jadi, daripada nganggur dan uring-uringan nggak jelas mendingan menghabiskan waktu di restoran." Dilla sengaja menyindir Ari yang melarangnya melakukan tugas apapun di rumah ini.

Sontak Ari melihat Dilla dengan ekspresi wajah tidak suka.

"Lakukan apa yang mau kau lakukan di luar rumah ini tapi ingat, jangan ada seorangpun yang tahu tentang pernikahan kita. Usahakan, untuk selalu menjaga nama baikku dan Namira!"

"Tidak perlu khawatir tentang itu!" jawab Dilla tidak kalah sengit.

Namira menghela napas dan menarik kursi untuk Dilla. "Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusanmu, tapi jangan pergi dengan perut kosong seperti itu. Duduk dan habiskan sarapanmu!"

Dilla ingin menolak tawaran Namira tapi, ia tidak mau Namira sakit hati padanya. Akhirnya demi menghargai makanan dan kebaikan yang ditunjukkan Namira, ia rela duduk dan tidak dianggap ada di sana.

"Mas, hari ini aku mau ke luar kota menghadiri fashion show. Mungkin, aku pulang agak malam," ucap Namira memulai percakapan di antara mereka.

"Kenapa nggak diwakilkan saja?" Ari sangat keberatan jika Namira ke luar kota tapi, ia tidak bisa melarang Namira karena tidak mau istrinya itu merasa terkekang.

"Acara itu penting untukku, Mas. Model ternama akan memakai salah satu gaun pengantin rancanganku. Jadi, aku harus datang ke acara itu, dan aku harap kamu nggak keberatan kalau aku pulang malam, ya." Namira memegang tangan Ari dan berusaha membujuk suaminya.

Kalau sudah begini Ari tidak punya pilihan lain, akhirnya dengan berat hati ka mengijinkan istrinya pergi ke luar kota seorang diri.

"Ya sudah, terus kabari aku ya! Jangan terlalu sibuk disana."

Namira tersenyum dan mengecup pipi Ari. "Makasih, Mas ... kamu memang suami terbaik!" Keduanya tertawa dan kembali melanjutkan sarapan mereka.

Rasanya Dilla ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu, beruntung kali ini keadaan berpihak kepadanya karena kebetulan makanannya sudah tandas nyaris tidak tersisa. Dilla bangkit dan mencuci piring miliknya di wasetafel setelah selesai ia meraih tas di atas meja.

"Aku pergi!" pamit Dilla.

"Bareng aku aja," tawar Namira.

"Nggak usah, Mbak. Aku sudah terlambat. Mbak Namira 'kan pergi sama Mas Ari."

"Nggak, kok. Aku bawa mobil sendiri. Oh atau kamu pakai motor aku aja?"

"Makasih, Mbak. Tapi aku naik ojek aja."

Namira terpaksa setuju sebab Ari sudah memegang tangannya, seolah menyuruh Namira untuk berhenti bicara.

Dilla tidak mengerti kenapa Namira sebaik ini padanya, harusnya wanita itu membenci dan menyingkirkannya. Atau jangan-jangan Namira pura-pura baik hanya untuk menunjukkan kemesraan dan cinta Ari hanya pada wanita itu. Ntahlah, Dilla semakin tidak mengerti hubungan yang terjalin diantara mereka.

***

Sebelum ke luar kota, Namira menjenguk nenek di rumah sakit. Menurut dokter kondisi nenek sudah berangsur pulih dan dalam hitungan hari sudah bisa meninggalkan rumah sakit.

Nenek memeluk Namira dan mengelus punggung cucu menantunya seperti memberikan kekuatan untuk Namira.

"Setelah ini, Namira harap Nenek mau tinggal sama kami, ya." Namira duduk di kursi kecil dan memegang tangan Nenek.

"Nggak, Nak. Nenek sudah terlalu banyak merepotkan dan menyusahkan kalian. Nenek tahu, kehadiran Dilla di rumah itu sudah merubah suasana rumh tangga kamu dan Ari. Tapi, nenek bersyukur karena kamu sudah mau menerima kehadiran Dilla di rumah itu. Nenek berharap kamu tidak melarang Ari tidur di kamar Dilla."

"Nenek nggak perlu mikirin rumah tangga kami lagi, Nek. Namira nggak mau kesehatan nenek semakin terganggu. Nenek tenang saja, Namira dan mas Ari berusaha melakukan yang terbaik dan mencoba berlaku adil sama Dilla."

"Tapi tetap saja, Nak. Hati kamu pasti sakit kalau Ari bermalam di kamar Dilla. Tapi, mau bagaimana lagi. Seandainya kamu bisa hamil Ari tidak akan menghamili wanita lain."

Namira terdiam, apa yang dikatakan nenek memang benar adanya. Meskipun saat ini mereka belum melakukannya tapi, cepat atau lambat semua itu pasti akan terjadi.

Semua terjadi karena ia belum kunjung berbadan dua.

"Namira...." Nenek menggenggam erat tangan Namira. "Apa mereka sudah tidur di dalam satu kamar? Maksud Nenek-

Namira memungkas ucapan Nek Rusmi. "Nenek tenang saja. Dilla pasangan halal untuk disentuh mas Ari. Nenek akan mendapatkan kabar bahagia, nanti." Meskipun hatinya masih terasa sakit tapi, Namira masih mencoba tersenyum.

Nek Rusmi menjadi lega dan tidak sabar menunggu kabar bahagi dari Ari dan Dilla.

***

Namira tergesa-gesa keluar dari rumah sakit, ia sudah tidak kuasa menahan air matanya lagi. Namira hanya wanita biasa yang mencoba menerima kenyataan meskipun semua ini sangat menyakitkan.

Tangisannya pecah di dalam mobil. Air mata Namira sudah membasahi wajahnya yang cantik. Namira tahu sudah tidak berlaku adil kepada Dilla sebagai madunya, jika ia menjadi penghalang untuk Ari tidur di kamar Dilla maka, akan menjadi dosa untuknya. Tapi, apa mau dikata jika hatinya masih belum siap jika suaminya tidur dengan wanita lain?

Ucapan dan permintaan Nenek sangat menyesakkan dada.

"Sakit ... Sakit sekali."

Akan lebih menyakitkan jika kedua orang tuanya mengetahui kalau dirinya sudah dimadu. Namira sudah memutuskan, mereka tidak boleh tahu kenyataan pahit ini.

Pukul 10 pagi, Namira tiba di butik miliknya. Dewi sahabat yang membantu mengelola butik heran melihat wajah sembab Namira seperti habis menangis.

"Ra, kamu kenapa?" tanya Dewi penasaran.

Namira tidak menjawab, ia menangis di pelukan Dewi.

"Aku nggak kuat, Wi. Tapi, aku nggak punya pilihan lain. Sebagai seorang istri aku nggak bisa memberikan keturunan untuk suamiku. Aku yang salah, harusnya dari awal aku menyerah saja." Namira semakin histeris.

"Minum, dulu." Dewi memberikan segelas air putih ketika mereka sudah duduk di sofa. "Memangnya kamu kenapa? Masalah momongan lagi? Bukannya Ari nggak keberatan dan sabar menunggu sampai kamu hamil?" tanya Dewi setelah Namira sudah lebih tenang.

Sebisa mungkin Namira menyembunyikan masalah rumah tangganya dari orang lain meskipun itu sahabatnya sendiri tapi, ia merasa saat ini butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya.

"Aku dimadu. Sumiku sudah menikahi wanita lain," ucap Namira lirih dibarengi air mata yang kembali membasahi pipi. Ingin rasanya ia mengakhiri semuanya tapi, ntah harus mulai dari mana, ucapan nenek semakin membuat hatinya nyeri.

🌹🌹🌹

Jangan lupa jempolin. Terima kasih

Terpopuler

Comments

Firdausi Nuzula

Firdausi Nuzula

kasihan namira... klo bisa alurnya namira di deketin cowok lain aja thor biar ada seneng" nya si namira

2023-06-07

0

Jupilin Kaitang

Jupilin Kaitang

bermadu memang pahit walau kita mengijinkannya,sekuat mnah kita bertahan dan berpura-pura baik2 saja namun tetap sakit.orang yang cinta separuh sehaja pada suami mungkin sakit nya sedikit

2022-10-02

0

Pia Palinrungi

Pia Palinrungi

beginilah kalau keluarga mengiginkan keturunan..yg korban yg nemikah yg blom dikasih keturunan

2022-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!