Pernikahan Kedua

Seorang pria paruh baya datang untuk menikahkan Ari dan Dilla. Karena terkendala dokumen yang memang belum sempat diurus, Ari dan Dilla menikah secara siri.

Namira dan Ari sama-sama tidak menyangka kalau pernikahan akan dilangsungkan saat ini juga. Ari belum juga melepaskan tangan Namira padahal sudah tiba waktunya untuk menikah.

"Sudah bisa kita mulai?" tanya pria berbaju batik tersebut, ia berdiri disamping tempat tidur pasien tepat berhadapan dengan Ari.

Ari tetap diam dan hanya fokus melihat Namira, sungguh ia merasakan sakit seperti apa yang dirasakan Namira.

Namira tersenyum dan menarik tangannya lalu berjalan mendekati Dilla.

"Sudah waktunya untuk kalian menikah." Namira menggandeng tangan Dilla dan mensejajarkannya di samping Ari. Kini, Dilla sudah berdiri diantara Ari dan Namira.

Dilla semakin tidak bisa berkata lagi, ia memeluk Namira dan meminta maaf. Namira mengangguk dan melepas pelukannya.

Pernikahan ini disaksikan ayah Dilla yang mengalami stroke ringan, dokter, nenek rusmi, ibu tiri Dilla dan terutama Namira sebagai istri pertama.

Hanya satu kali ucap, kata sah sudah terdengar di ruangan itu. Kini, Dilla sudah resmi menjadi istri Ari. Namira semakin lemas saja, tulang yang tadinya kokoh terasa lunak dan hancur.

"Cium tangan suamimu," ucap Sumi ibu tiri Dilla, ia tidak perduli keadaan yang dialami orang lain termasuk Dilla yang akan menjalani rumah tangga menjadi istri kedua, baginya uang adalah segalanya. Mulai hari ini Dilla akan menjadi ladang uangnya.

Dilla gemetaran tapi tetap melakukan apa yang diperintahkan ibu tirinya, ia meraih tangan Ari dan mencium punggung tangannya.

"Sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Ari, cium kening istrimu," ucap nek Rusmi yang paling bahagia menyaksikan pernikahan ini.

Rasanya Ari enggan melakukannya tapi, ia tidak mau nenek kecewa dan berpikiran yang bukan-bukan, perlahan Ari menunduk dan mencium kening Dilla dihadapan semua orang.

Hati Namira hancur melihatnya, seketika ia membuang muka dan menyeka sudut air mata yang sudah basah. Apa lagi yang lebih menyakitkan dari semua ini? Melihat suami menikah lagi dan mereka akan berbagi cinta adalah kesakitan yang luar biasa.

"Nenek harap, kalian bisa akur. Jangan saling menyalahkan, harus saling menghargai. Biar bagaiman pun Dilla sudah menjadi istri Ari juga. Jadi, kamu harus bisa adil sama kedua istrimu!"

Nek Rusmi menasehati Ari, Namira dan Dilla, ia berharap semua berjalan seperti keinginannya.

Ari dan Namira menerima nasihat yang diberikan nenek. Meskipun sebenarnya mereka berdua menjadi korban, tapi keduanya tetap berusaha menerima keadaan.

Hari itu juga mereka kembali ke rumah. Ari fokus mengukur jalan dan sesekali memegang tangan dan membelai pipi Namira yang duduk di sampingnya.

Dilla merasa diabaikan, sedari tadi tidak ada yang mengajaknya bicara, ia duduk sendirian bangku belakang.

'Dilla, kamu nggak punya hak untuk cemburu,' batin Dilla, ia mulai iri dan mendamba diperlakukan semanis itu.

"Ada yang mau kamu beli, Sayang?" Pertanyaan itu tentu ditujukan pada Namira tapi, istrinya itu tidak merespon sama sekali.

"Kamu melamun ya, sayang?" tanya Ari lagi.

"Nggak kok, Mas. Aku capek kita langsung pulang aja," jawab Namira, ia membuang muka. Baru kali ini pemandangan di luar jendela lebih menarik perhatiannya daripada suaminya sendiri.

***

Rumah berlantai dua menjadi tempat tinggal Dilla yang baru. Bagi Dilla rumah ini terlihat seperti istana. Tidak seperti rumahnya yang hanya memiliki dua kamar berukuran kecil.

Tanpa basa-basi, Ari langsung masuk ke kamar. Sementara Namira menunjukkan kamar di lantai dua yang akan ditempati Dilla.

"Dilla, ini kamar kamu." Namira membuka pintu kamar yang berada di depan kamarnya.

"Apa ini nggak terlalu berlebihan, Mbak? Kamar ini terlalu luas untukku," jawab Dilla masih memegang koper berisi pakaiannya.

"Kamu jangan sungkan, bukan cuma kamar ini. Rumah inipun sudah menjadi milikmu. Biar bagaimanapun juga kamu ini istrinya mas Ari. Jadi kamu bebas ngelakuin apapun di sini."

"Terima kasih, Mbak," jawab Dilla, awalnya ia takut Namira akan marah dan memakinya tapi ternyata wanita ini menyambut dan memerlakukannya dengan baik.

"Ya sudah, kamu istrahat saja, ya." Namira kembali ke kamar. Di dalam kamar, ia melihat Ari duduk di tepian tempat tidur.

"Kamu capek, Mas?" Dengan lembut ia memberikan pijatan kecil di punggung Ari.

"Sebenarnya hatimu terbuat dari apa? Bisa-bisanya kamu ijinkan dia tidur di kamar itu. Harusnya biarkan wanita itu tidur di kamar yang ada di lantai dasar!" sentak Ari tiba-tiba, ia bicara tanpa melihat wajah istrinya.

"Mas, dia juga istri kamu. Bukannya tamu di rumah ini! Kita harus memperlakukan dia dengan baik, 'kan?"

"Tapi aku nggak akan pernah menganggap dia sebagai istriku, Namira. Cuma kamu satu-satunya istriku di rumah ini." Ari mengusap wajahnya frustasi, sikap Namira yang seoalah baik-baik saja justru membuatnya semakin merasa bersalah.

"Tapi--

"Sudahlah, aku mau istrahat!" Ari memungkas ucapan Namira, kemudian ia berbaring membelakangi Namira.

Namira serba salah, ia pun tidak tahu harus melakukan apa. Ap ia harus berbuat jahat dan tidak adil pada wanita itu?

"Kamu marah, Mas?" Namira mengelus punggung lebar Ari. "Harusnya aku yang marah karena mulai malam ini kamu akan tidur di kamar Dilla."

"Sstttt!" Ari berbalik arah, menarik Namira sampai istrinya jatuh kepelukannya, mata tajam yang tadi sempat marah sudah melunak melihat wajah ayu Namira. Dibelainya pipi Namira dengan penuh kelembutan.

"Berhenti berpura-pura tegar, sayang. Aku tahu kamu marah. Tapi, jangan hukum dirimu seperti ini. Jangan pikirkan sesuatu yang semakin membuat hatimu terluka. Kamu tahu kalau aku tidak mungkin mencintai dia. Jadi, untuk apa aku tidur di kamarnya?"

"Tapi, Mas--

Ari tidak membiarkan Namira bicara omong kosong lagi, ia menyatukan bibir mereka. Rasanya sudah cukup mereka membuang waktu percuma. Ari bertekad menghamili Namira secepatnya, bukan menghamili Dilla istri kedua yang baru beberapa jam yang lalu dinikahinya.

Namira larut dalam suasana, menikmati belayan lembut Ari yang selalu memanjakannya.

***

Di kamar lain. Pakaian sudah tersusun rapi di dalam lemari, Dilla tidak terbiasa duduk berdiam diri seperti ini. Akhirnya Dilla berinisitif menyiapkan makan malam untuk Namira dan suaminya, ralat! Suami mereka. Toh, Namira sudah memberikan kebebasan untuknya melakukan apapun di rumah ini.

Meskipun canggung dan merasa asing di dapur tapi, ia tetap cekatan mengelola bahan mentah yang ada di lemari pendingin lalu menyajikannya di atas meja.

Setelah dirasa cukup, Dilla kembali ke lantai dua. Mungkin, berendam air hangat bisa menghilangkan penat di kepala. Dilihatnya pintu kamar Namira masih tertutup rapat, sejak pulang dari rumah sakit ia belum bertemu lagi dengan Namira atau Ari. Dilla tidak perduli ntah apa yang dilakukan dua orang itu sampai berjam-jam di dalam kamar.

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

Namira pasti terabai bila Dilla sudah hamil

2023-06-19

0

Selita Awini

Selita Awini

harusnya rumahnya di pisah supaya tidak menyakiti satu sam lain

2022-01-12

0

Naura Rahma Shaffiyya Shaffiyya

Naura Rahma Shaffiyya Shaffiyya

sampe sini kasian istri ke 2 ni

2022-01-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!