BAB 1D

"Kak Lesham ngapain malam-malam ke rumah gue? Jam sepuluh lagi," tanyaku sambil menatapnya dari bawah ke atas. Dia memakai pakaian yang biasa. Tidak ada tanda-tanda bahwa Kak Lesham melakukan hal yang tidak baik. Ya seperti balapan misalnya. Kak Lesham hanya memakai celana jeans hitam dipadu dengan sweater berwarna pink yang terdapat gambar **** di bagian depan. Lucu.

Kak Lesham sejenak menghela napasnya. Dia beberapa kali mengusap-usapkan kedua tangannya. Mungkin, dia sedikit kedinginan. Apalagi jika dia datang ke sini membawa motor. Udaranya cukup dingin bila digunakan untuk berkendara. "Cuma main. Nggak masalah dong? Lagipula gue juga baru pulang dari rumah Bokapnya Bang Nehan. Nggak sadar kalau udah malam banget. Lo nggak keberatan kan kalau harus nemuin gue sekarang ini?" dia balik bertanya kepadaku.

Tentu saja aku tidak keberatan.

Lagipula aku sedang tidak mengantuk juga. "Nggak. Oh iya, memang rumah Ayah sama Mama-nya Kak Nehan nggak jadi satu, ya?"

"Udah pisah lama dan Bang Nehan ikut Nyokap-nya." Seperkian detik Kak Lesham masih tersenyum kepadaku. Aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawabannya. "Masuk gih! Udah malam banget. Nggak baik cewek tidur kemaleman," katanya sambil mengacak-acak rambutku.

"Kak Lesham pulang dulu. Nanti gue baru masuk," jawabku.

Tidak enak bila aku yang harus masuk duluan. Aku kan pemilik rumah. Dan Kak Lesham itu tamu. Seharusnya aku bisa mengajaknya masuk ke rumah sejenak untuk menghangatkan tubuh Kak Lesham yang kelihatannya sedikit kedinginan. Setidaknya ia bisa merasa lebih baik jika aku menjamunya di dalam rumah. Tapi berhubung sekarang sudah malam. Bahkan bisa disebut sangat malam, maka aku tidak bisa melakukan itu.

Jangan kan mengajaknya masuk. Menemuinya sekarang saja sedikit membutuhkan energi.

"Lo masuk, gue pulang." Kata Kak Lesham membantah ucapanku. Aku menggeleng. "Nggak, Kakak pulang dulu."

"Ciee, yang khawatir."

"Ih! Apa sih."

Entah kenapa aku malah tersenyum. Padahal tidak ada sesuatu yang lucu.

"Lo nggak takut ketemu gue malam-malam begini?" Kak Lesham kembali bertanya. Tidak bisakah dia untuk tidak bertanya? Biarkan aku saja yang bertanya. Seenggaknya, aku menemui dia malam ini sedikit menguntungkan. Ya, begitu pikirku. Tapi nyatanya, Kak Lesham itu jauh dari yang ku pikirkan. Ku kira dia tak banyak bertanya. Suka to the point. Tidak bertele-tele. Eh, lebih tepatnya tidak suka berbasa-basi.

Nyatanya, Kak Lesham jauh dari itu. Dia lumayan cerewet. Tidak berlebihan bukan jika aku berkata seperti ini?

"Buat apa takut," balasku. Memang apa yang ditakutkan dari sosok Kak Lesham. Ku rasa tidak ada. Malahan, hampir tidak ada yang menakutkan darinya. Sudah ku bilang dari awal jika Kak Lesham terlihat lucu dengan sweater **** warna pink yang dikenakannya. Akan lebih lucu lagi bila dia mewarnai rambutnya berwarna pink muda.

Tapi aku berharap ia tidak akan melakukan itu. Karena Papa dan Mama tidak akan mengizinkanku berteman dengan orang yang mewarnai rambutnya. Aku tidak tahu apa alasannya. Kemungkinannya hanya takut bila aku tertarik juga untuk mewarnai rambutku. Mungkin hanya itu.

Kak Lesham terkekeh. "Memang lo nggak takut kalau gue melakukan hal yang nggak wajar?"

Hal tidak wajar?

"Misalnya?" Aku memiringkan kepalaku sekilas. "Ya, ngapa-ngapain lo." Kak Lesham menjawabnya tanpa ragu.

Aku malah ingin tertawa.

"Oh. Ngapain gue takut. Kan ini lokasinya di rumah gue. Kalau Kak Lesham beneran mau gitu, ya gue tinggal teriak aja."

Seakan aku terbawa suasana. Aku merasa nyaman mengobrol dengannya. Setidaknya aku dan Kak Lesham bisa nyambung kalau sedang mengobrol.

"Kalau gue bungkam mulut lo gimana?" Kak Lesham menebar senyumannya. Kali ini lebih lebar daripada sebelumnya. "Ya gue tinggal injek kaki Kakak kan masih bisa. Ngapain susah-susah mikir," kataku meremehkan.

"Kalau lo keburu gue gendong duluan gimana?"

"Kakak kenapa nanya begitu deh. Seakan Kak Lesham beneran mau ngapa-ngapain gue."

"Nggak. Gue bercanda."

Kalaupun seriusan juga aku akan langsung lari sekarang. Menjauhinya secepat mungkin. Maklum. Ini sudah sangat malam. Kemungkinan sudah banyak orang yang tidur. Dan bila aku berteriak. Mungkin hanya beberapa orang yang mendengar. Seperti Kak Savalas misalnya. Dia yang paling peka dengan suara-suara yang ia dengar meskipun sedang tertidur. Tak heran juga bila Kak Savalas mudah sekali dibangunkan daripada aku. Sekali panggil saja sudah bangun. Sedangkan aku harus dipanggil berkali-kali baru bisa bangun. Kepribadian yang berbalik memang.

"Selamat malam, Nad. Tidur yang nyenyak. Jangan lupa mimpiin gue. Ya, udah. Gue pulang dulu ya. Night," ucapnya sebelum akhirnya dia melambaikan tangannya dan pergi. Aku yang sekarang berdiri juga hanya memandangnya dan tersenyum. "Night too. Hati-hati di jalan, Kak! Makasih!"

Kak Lesham tak membalas lagi. Dia hanya berhenti sejenak dan menoleh kepadaku. Tersenyum lagi. Setelah itu dia kembali berjalan.

Sesaat setelah Kak Lesham sudah tidak terlihat lagi. Aku buru-buru masuk ke rumah. Aku takut bila nanti Kak Savalas tiba-tiba menghampiriku yang sampai sekarang masih belum tidur. Yang ada aku akan kembali di sidang. Cukup ribet. Akan banyak pertanyaan yang muncul dari bibirnya nanti. Mendengarnya saja sudah membuatku pusing. Apalagi jika harus menjawabnya. Pusing dua kali lipat yang ada.

Ketika aku hendak naik tangga. Tiba-tiba Kak Savalas sudah berdiri di tangga bagian atas sambil menatapku penuh perincian.

Aku menyengir. "Belum tidur, Kak?"

"Lo kenapa belum tidur? Katanya sebentar. Nyari angin apa nyari jodoh tadi?" Kak Savalas menatapku jengah. Tangan kanannya memegang pinggiran tangga sambil mengalihkan sejenak pandangannya ke arah luar. ******. Kelihatannya Kak Savalas tahu bila tadi aku sedang bertemu dengan Kak Lesham. Pertanyaannya barusan sangat tepat sekali. Benar-benar dalam keadaan tidak tepat sekarang. Aku tidak aman.

"Gue---eh!" Terdengar suara mobil Papa yang mulai masuk ke halaman rumah. "Tidur yuk, Kak. Keburu Papa sama Mama tahu kalau kita belum tidur. Ayoo," seruku sambil berlari menghampiri Kak Savalas dan segera menariknya ke kamar.

Sesampainya di depan pintu kamarku dan kamar Kak Savalas. Aku diam. Kak Savalas juga begitu.

"Ngapain masih berdiri di sini? Sana tidur!" suruhnya, tanpa menatapku sedikitpun. Sudah biasa.

"Kakak juga harus masuk, kan?"

Dia menatapku datar. "Nggak usah nyuruh balik. Tinggal masuk aja apa susahnya, sih? Apa perlu gue anter sampai dalam?'

Aku mengembuskan napasku dan menggeleng. Aku lantas masuk ke dalam kamarku. "Urusan kita belum selesai," kata Kak Savalas ketika aku baru saja menutup pintu kamarku.

Aku malas mendengarnya berkata seperti itu.

____

"Tadi malam Mama denger ada suara di jam sepuluh lebih. Kalian tidur jam berapa semalam?" Mama yang tengah mengambilkan lauk untuk Papa menanyakan kejadian semalam. Aku yang hendak menyuapkan sesendok nasi jadi terhenti. Ku tatap Kak Savalas untuk meminta penjelasan. Namun dia malah mengacuhkan aku.

Mama berhenti mengambil sayur dan menatap ke arahku. "Nadisha," ujar Mama selanjutnya.

"Ah, iya Ma."

"Tidur jam berapa kamu semalam?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jika aku bilang aku tidur jam sepuluhan saat Mama pulang, pasti aku akan dimarahi. Kalau aku berbohong. Aku takut di akhiratnya. Tidak ada jawaban yang memudahkan aku. Aku melirik Kak Savalas. Tapi dia masih tenang sambil memakan sarapannya. Dia bahkan tidak memiliki niatan untuk membantuku. Dasar Kakak menyebalkan.

Jadi, aku harus menjawab apa!

"Nadisha. Mama nanya sama kamu. Kenapa diam saja?" Mama kembali bersuara. Ia memberikan piring yang ia pegang kepada Papa. Sementara Papa masih tidak berkomentar.

Aku menggigit bibir bawahku. Benar-benar tidak aman. "Anu, Ma..., Nadisha tidur---"

"Tidur kayak biasanya, Ma. Emang Mama denger suara apa?" Kak Savalas angkat bicara. Akhirnya dia membantuku.

Aku menghela napas lega sekarang.

"Emm, Mama kurang yakin. Kayak suara hentakan kaki begitu. Mama kira kalian belum tidur," kata Mama meyakinkan dirinya sendiri.

"Mungkin Mama yang capek semalam. Jadi denger yang nggak-nggak." Papa ikut menambahkan.

Mama hanya mengangguk-angguk. "Mungkin iya, ya, Pa. Ya sudahlah. Lupakan kalau begitu," ujar Mama sambil meminum air putihnya.

"Jadi, Sav. Rencana kamu setelah lulus gimana? Papa belum dengar satupun rencana kamu lho. Kamu ini udah kelas duabelas. Harus punya rencana yang matang. Meskipun baru awal," tanya Papa kepada Kak Savalas. Aku senang. Karena akhirnya topik itu sudah berpindah sekarang. Lumayan. Aku tidak harus berpikir banyak mengenai semalam.

Soal rencana Kak Savalas setelah lulus dari STANDAR. Papa memang sering menanyakannya kepada Kak Savalas. Tapi Kak Savalas yang masih belum bisa memberi jawaban yang pasti kepada Papa. Hal itu semakin membuat Papa gencar untuk terus bertanya. Sedangkan Mama hanya mengikuti Papa saja. Mama tidak terlalu memperdulikan itu sebenarnya. Tapi bila Papa sudah memastikan, Mama akan ikut menyetujuinya.

Wajar. Lagipula Kak Savalas anak yang pintar. Sayang jika kepintarannya tidak diasah lebih lanjut. Percuma sekolahnya sampai di jenjang SMA.

"Sava mau kuliah manajemen, Pa." Kata Kak Savalas penuh keyakinan. Aku berhenti makan dan membulatkan mataku lebar-lebar. Aku tidak salah dengar kan barusan? Kak Savalas ingin kuliah jurusan manajemen.

Aku benar-benar terkejut mendengarnya. "Kakak seriusan?" tanyaku.

Kak Savalas memandangku sambil menaikkan satu alisnya. "Nggak usah ikut-ikut. Belum umur," katanya mengejek.

"Ish!" Aku mengercutkan bibirku dan kembali makan.

"Kamu serius, Sav?" Bukan Papa yang bertanya. Melainkan Mama. Sepertinya Mama sama sepertiku. Terkejut. Sekaligus tidak percaya dengan apa yang Kak Savalas ucapkan barusan.

Papa tersenyum kepada Kak Savalas. "Papa dukung kamu kalau itu memang pilihan kamu."

"Makasih, Pa." Hanya itu respon yang Kak Savalas keluarkan. Sama sekali tidak bersemangat.

"Memangnya Kakak mau kuliah di mana?" Aku kembali angkat suara. Jujur. Aku tidak bisa diam jika rasa penasaranku belum terbayar sepenuhnya. Ya, meskipun tadi aku jengkel. Tapi sekarang sudah tidak. Aku memang labil. Sedikit-dikit marah. Sedikit-sedikit sudah tidak.

Kak Savalas memberiku segelas susunya. "Nggak usah kepo juga," ujarnya. Lagi.

Aku ingin sekali mengguyurnya dengan susu yang diberikannya barusan. Punya Kakak satu tapi kerjaannya selalu membuatku naik darah.

"Tapi Mama juga kepo lho, Sav. Seenggaknya kalau kamu bilang, Papa sama Mama bisa siap-siap dari sekarang." Mama tidak jadi meneruskan sarapannya. Ia lebih tertarik pada Kak Savalas sekarang.

Papa tenang. Mendapat satu jawaban saja sudah menbuat Papa tidak khawatir lagi.

"Sava nggak harus jawab sekarang, kan?" tanya Kak Savalas. "Sava berangkat dulu, Ma, Pa. Dan lo, gue tunggu di luar." Aku tidak merespon.

Setelah itu Kak Savalas salim dengan Mama dan Papa. Lalu pergi dan menungguku di luar. Aku tidak gugup. Biarkan saja dia menungguku di luar. Salah sendiri telah mengabaikanku. Wajar bila aku marah sekarang.

"Kalau kamu gimana, Nad?" Mama tidak berhenti bertanya.

"Emang gimana? Nadisha masih kelas sepuluh. Belum umur kalau kata Kak Savalas," jawabku sambil menyengir. Papa menoleh dan mengacak-acak rambutku. "Papa nggak akan menanyakan sekarang. Nadisha sekolah aja yang rajin. Udah. Susul Kakak kamu gih."

"Iyaaaa," balasku. Akupun langsung bangkit dari dudukku. "Nadisha berangkat dulu yaa," pamitku sambil menyalami keduanya.

Terpopuler

Comments

Sasa (fb. Sasa Sungkar)

Sasa (fb. Sasa Sungkar)

seru thor..
aq mampir 3 bab dl ya..
udh aq like like..
ntar aq baca lagi nyicil 😁
.
.
ditunggu feedback nya 🤗

2020-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!