BAB 1B

Semua kelas sepuluh berkumpul ditengah lapangan yang teriknya minta ampun. Sedari pagi, kami digambar oleh kakak kelas. Apalagi seluruh kelas XI dan XII berada di luar semua. Mungkin hari ini sengaja diberi jam kosong untuk melihat adik kelasnya. Sekaligus juga untuk memalukan kami.

Keringat bercucuran membasahi tubuhku. Rasanya aku haus sekali. Aku ingin minta izin untuk minum. Tapi setelah melihat salah satu temanku tadi meminta izin, aku langsung mengurung niatku itu. Dia sempat disuruh untuk bergoyang selama sepuluh menit dulu baru boleh minum. Mungkin jika hanya ditonton oleh teman-temannya dan kakak OSIS itu bukan masalah. Tapi ini itu masalahnya banyak sekali anak kelas sebelas dan duabelas yang melihat. Bahkan mereka mengerumuni lapangan yang berada di tengah-tengah sekolah ini. Sungguh memalukan.

Aku tidak mau dipermalukan seperti itu.

"Itu Kak Jin, kan?"

"Omegaat, ternyata dilihat dari dekat ganteng banget, ya? Nggak nyesel gue sekolah disini."

"Ya Tuhan, ganteng bangettt."

Suara-suara itu berasal dari belakangku. Mereka semua bersuara hanya karena munculnya satu cowok dengan topi berwarna putih itu. Ku akui cowok itu memang ganteng. Tapi tetap saja, dia tak membuatku tertarik.

"Itu namanya Kak Jin, Nad. Dia yang paling ganteng di STANDAR. Sebenarnya banyak, sih, cowok yang ganteng disini. Tapi dia itu diurutan nomor satu. Kak Jin itu juga anggota dari Stigma," ucap Zelo panjang. Dia menjelaskan tentang Kak Jin tanpa ku minta. Aku tak heran jika Zelo bisa tahu semua itu. Jangankan berita satu sekolah, berita diluar sekolah pun Zelo bisa mengetahuinya. Itu semua karena dia memang memiliki banyak teman.

Mendengar kata Stigma, alisku terangkat satu.

"Stigma itu apaan?" tanyaku pada Zelo.

Zelo berpikir sambil mengetuk-ngetukkan tangannya di dagunya. "Gue nggak tahu arti sebenarnya, sih. Cuma, yang gue tahu Stigma itu kumpulan dari cowok-cowok ganteng di STANDAR. Oh, iya. Gue pernah google sih, tapi artinya nggak baik. Bahkan tuh, ya, semua anak STANDAR kalau lo tanyain artinya Stigma nggak akan ada yang tahu. Cuma anggota Stigma aja yang tahu."

"Ya udahlah, nggak penting."

"Iihhh penting tahu," seru Zelo tepat di telingaku.

Aku mendorong Zelo untuk tidak dekat denganku. Dia hanya membalasku dengan mengulurkan lidahnya.

"Namanya beneran Jin? Kok lucu, ya?" tanyaku lagi. Pasalnya aku tiba-tiba penasaran. Zelo tertawa pelan sambil mencubit pipiku. "Tuh, kan. Gue bilang juga apa. Lo pasti masih butuh gue buat tanya-tanya."

Kini, giliran aku yang mencubit lengan Zelo hingga dia meringis kesakitan. "Udah ih! Buruan jawab."

"Iya, iya. Jin itu cuma singkatan dari namanya. Lo nggak tahu, sih. Namanya Kak Jin itu susah banget buat diucapin. Kalau lo mau tahu nama aslinya, temuin dia. Terus baca name tag-nya."

Sesulit itukah namanya?

Aku jadi semakin penasaran. Aku harus bertemu dengan Kak Jin setelah ini. Tidak ada cara lain supaya aku tahu nama aslinya. Jika ku tanyakan pada Kak Savalas pasti dia juga tidak akan tahu.

"Dek, kalau mau cerita didepan aja sana!"

Aku dan Zelo menoleh ke belakang bersamaan. Ternyata kami ditegur oleh salah satu anggota OSIS. Ah, ini semua Zelo yang memulai. Gara-gara dia menceritakan tentang Kak Jin aku jadi banyak bertanya seperti ini. Harusnya aku diam saja dari tadi untuk cari aman. Sungguh, aku tidak ingin dipermalukan seperti yang lain. Meskipun aku tak kenal dengan kakak kelasku yang sedang menonton kami, tetap saja rasa malu itu akan terbawa sampai nanti.

"Ke depan gue bilang!!" ujar anggota OSIS itu lagi. Dia bersedekap dada sambil menunjukkan wajah ketusnya.

"Pada tuli apa gimana, sih?!"

Zelo mencolekku, aku bingung harus bagaimana. Kalau aku menuruti perintah anggota OSIS itu, sudah pasti aku akan dipermalukan. Tapi kalau aku tidak menuruti, aku juga akan dibuat malu. Ah, keduanya sama-sama akan membuatku malu. Tidak ada jalan aman sekarang.

"Pada bisu, ya?! Maju, Dek!!"

"Kak Jin, mereka berdua ngobrol dari tadi," lagi dan lagi. Salah satu anggota OSIS yang menegurku dengan Zelo itu malah mengadukanku kepada Kak Jin.

Kak Jin yang semula ada di barisan depan, sekarang mulai mendekat kepadaku. Dia membawa sebotol air mineral di tangan kanannya. Sebelum berjalan menghampiriku, Kak Jin mengambil air mineral itu dari kardus yang berada di sampingnya.

Kak Jin memberikan sebotol air mineral itu kepadaku. "Mengobrol perlu tenaga, kan?"

Dengan ragu aku mengambil air mineral itu dari tangan Kak Jin. Selain haus, aku memang sudah lelah. Makanya, aku butuh minuman sekarang.

"Jin, dia itu---"

"Kak Raden silahkan ke depan, biar ini saya yang urus," ucap Kak Jin dengan bahasa yang formal.

Orang yang bernama Raden itu mengercutkan bibirnya. Lantas pergi begitu saja.

"Kenapa nggak diminum?" tanyanya setelah Kak Raden pergi.

Aku terkejut. "Nggak. Ini mau diminum. Makasih, ya, Kak."

Kak Jin tak menjawab. Dia hanya tersenyum. Aku membuka botol air mineral itu dan melogoknya hingga tinggal setengah. Sementara Zelo terus menarik seragamku. Aku langsung memberikan sebotol air itu kepada Zelo.

Tiba-tiba aku teringat akan nama asli Kak Jin. Aku menyipitkan mataku, lalu membaca name tag-nya dengan mudah karena ia tidak menggunakan jas sama seperti anggota OSIS yang lain.

Jiozhen Iseok Nagendra

Hanya Nagendra saja yang mudah dibacanya.

"Susah ya baca nama gue?" Kak Jin menatapku.

Bagaimana dia tahu jika aku sedang membaca nama panjangnya?

Apa hanya perasaanku saja jika hari ini semuanya terasa aneh?

Tetapi, ucapan Kak Jin itu langsung membuatku terdiam. Ingin sekali aku berkata; iya, Kak, susah. Tapi sayang, aku tak seberani itu untuk menjawab.

"Panggil gue 'Kak Jin', Nadisha."

____

Rasanya aku ingin mengadu atas keluhanku hari ini. Tetapi aku tak tahu harus mengadu kepada siapa. Sekarang aku sendirian menuju ke kantin. Sedangkan Zelo, anak itu sedang berada di UKS sekarang. Dia berada di UKS juga karena aku. Aku juga yang ceroboh memberikannya air mineral bekasku tadi. Padahal aku tahu jika Zelo tidak bisa meminum atau memakan sesuatu yang sudah berbekas. Hal itu selalu membuat Zelo sakit sesudahnya.

Karena rasa ingin tahuku atas nama panjang Kak Jin, aku sampai lupa akan hal itu.

Beruntung saja sakitnya Zelo tak separah biasanya. Namun, setelah ku pikir-pikir, penyakitnya itu memang aneh juga. Setahuku tidak ada jenis penyakit yang seperti itu. Atau mungkin, aku yang tidak tahu. Tapi aku tidak peduli lagi. Yang penting aku tidak akan mengulangi lagi kecerobohanku itu. Aku harus lebih berhati-hati.

Kantin STANDAR jauh dari kata luar biasa. Ku kira kantinnya seperti kantin-kantin pada umumnya. Tetapi aku salah menduga. Bisa aku bilang bahwa ini sangat-sangat megah. Aku sampai berpikir semua bangunan yang ada di STANDAR ini memang seperti hotel bintang lima. Pantas saja banyak sekali orang yang ingin masuk ke sekolah ini. Selain uang SPP yang sama seperti lainnya, fasilitasnya juga lengkap.

Meskipun begitu, untuk masuk di sekolah ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi yang melalui jalur beasiswa seperti Kakakku. Wah, jangan tanya sulitnya seperti apa. Aku saja yang masuk di STANDAR tanpa jalur beasiswa saja rasanya ingin mengurungkan niatku untuk bisa masuk di sini. Akan tetapi, karena orangtuaku sangat percaya jika aku bisa masuk di STANDAR, mau tidak mau aku belajar dengan keras untuk ikut tes ujian masuknya.

Setelah aku pikir-pikir, masuk STANDAR sama seperti masuk di Universitas yang paling terkenal.

Walaupun begitu, jangan berpikir bahwa murid-muridnya ramah, baik, dan tidak nakal. Karena kenyataannya jauh dari kata itu. Dulu, sebelum aku masuk di STANDAR, aku sempat browsing di internet tentang sekolah ini. Sekolah yang selalu mendapat akreditasi A lima kali berturut-turut.

Kau tahu?

Setiap aku mendengar hal-hal baik dari suatu sekolah, aku langsung menyimpulkan bahwa semua hal yang berada di dalamnya juga baik. Termasuk juga siswa-siswinya.

Tapi aku berharap, ini adalah yang terakhir kalinya aku berpikir semacam itu.

Aku berhenti melangkah. Ada seorang cowok yang menghadangiku sekarang. Dia berbaring di sebuah kursi panjang yang letaknya menutupi jalan menuju ke kantin. Aku rasa, kursi yang dia pakai untuk berbaring adalah kursi yang dia ambil dari kantin. Cowok itu menutup matanya. Aku pikir dia sedang tidur sekarang. Namun, saat aku ingin melangkahinya, ia membuka matanya. Membuatku terkejut dan salah tingkah.

Bagaimana ini?

Ku kira dia tidur, tapi ternyata tidak.

Ya Tuhan, harus bagaimana aku sekarang? Bagaimana kalau dia tahu bahwa tadi aku akan melangkahinya?

Siapapun yang kasihan padaku, tolong aku dari cowok ini.

Iris mata cowok ini menatapku tajam. Dia bangun dari posisi berbaringnya. Cowok itu memutar badannya menghadap kepadaku. Kelakuannya sangat membuatku semakin merasa terpojok. Harusnya tadi aku berbalik arah saja. Mengurungkan niat untuk ke kantin.

"Nggak pernah diajarin tata krama untuk nggak melangkahi orang yang lebih tua dari lo, ya?" ucap cowok itu dengan datar.

Ku akui dia memang sangat putih. Bahkan lebih putih dari aku. Entah terbuat dari apa kulitnya itu sampai seputih itu. Aku akui juga dia memang ganteng. Tapi sayang. Wajah datarnya itu membuat semua pujianku hilang seketika. Aku tidak tahu, kalimat yang ia lontarkan barusan itu pertanyaan atau kah menyindirku. Aku tidak bisa membedakan hal itu sekarang. Semuanya langsung merujuk kepada hal negatif.

"Nggak, bukan begitu, Kak. Gue pikir lo---" cowok itu menyela ucapanku. "Nggak diajarin juga tata krama ngomong sama orang yang lebih tua?"

"Bukan begitu, Kak. Gue---eh, aku...," tatapannya selalu tajam kepadaku ketika aku ingin membalas ucapannya. Aku selalu gagal untuk berbicara yang benar ketika ditatap tajam seperti itu. Seolah-olah hal yang akan aku katakan sudah pasti salah. Padahal aku sama sekali belum mengucapkan maksudku.

Cowok itu memiringkan kepalanya. Meskupun begitu, tatapan tajamnya tetap tidak berubah. Apalagi wajah datarnya itu, sama sekali tidak ada perubahan. "Nggak pernah belajar tata krama ngomong yang baik, ya? Lo sekolah sejak kecil buat apa coba kalau ngomong aja nggak bener," katanya menyisit hati.

Aduh. Kenapa cowok ini selalu membuatku merasa yang bersalah, sih?

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak berani menatap cowok itu lama-lama. Semakin aku menatapnya, dia semakin menyeramkan.

"Kalau ada orang ngomong itu ditatap matanya. Jangan buang muka. Lo bener-bener bodoh, Dis."

Mendengar kata 'bodoh' dan 'Dis' aku langsung menoleh. Menatap cowok itu dengan kebingungan. Di satu sisi aku sakit hati karena dia menghinaku bodoh. Aku memang tidak pandai. Tapi bukan berarti aku bodoh. Rasanya aku ingin mencakar bibirnya itu. Tapi apa boleh buat. Aku hanyalah seorang Nadisha yang takut pada apapun. Ralat. Aku bukan penakut. Aku hanya belum berani saja. Nanti kalau aku sudah berani, aku akan membalasnya.

"Nggak sopan!" kata cowok itu sebelum akhirnya pergi dari hadapanku. Aku bisa menghela napas lega. Akan tetapi, perkataannya yang terakhir membuatku kesal.

Kata-katanya jahat sekali, ya, Tuhan.

Terpopuler

Comments

Putri Adinda

Putri Adinda

ini kenapa semua cowok di standar kenal nadisha semua si

2020-06-19

0

nur widayanti

nur widayanti

semangat author

2020-06-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!