Bena
VISUAL
1. Kak Savalas
2. Kak Jin
3. Kak Nehan
4. Kak Syden
5. Kak Maven
6. Kak Lesham
7. Kak Vante
8. Jastin
A/N:
Diurutin dari yang tertua. Kenapa nggak ada visual 'Nadisha'? Karena nggak ada yg cocok. So, anggap aja kamu yang baca sebagai Nadisha-nya [kalo cewek]
HAPPY READING!
BANTU KOREKSI TYPO, YA!
JIKA SUKA BOLEH DI-LIKE💜
_________________________________
BRAKK...
"Aduh sakitt!! Mama, huaa," teriakku di dalam kamar sambil memegangi keningku yang terjedot tembok barusan. Tidak ada orang lain lagi selain Mama yang bisa kuteriaku seperti itu. Bayangkan saja, Papaku masih bekerja di jam segini. Sedangkan Kakakku, ah, lebih baik jangan tanya soal dia. Aku sedang bertengkar dengannya beberapa jam yang lalu. Masalahnya sepele. Hanya karena aku meminjam kaos kaki bergambar beruang miliknya. Padahal aku hanya meminjam sebelah saja. Tidak semuanya. Memang dasar, Kakakku yang super pelit.
Pintu kamarku langsung terbuka dengan cukup keras. Siapa lagi pelakunya jika bukan Mamaku sendiri. Orang hanya aku dan Mama yang sedang berada di rumah.
Jangan tanya soal pembantu. Karena aku tidak memilikinya. Sebetulnya jika memiliki pembantu aku sangat menginginkannya. Ya, aku akan terbantu jika ada orang yang bisa ku minta tolong. Sayangnya, Mama tidak mengijinkan jika Papa mencari pembantu untuk membantu Mama mengurus pekerjaan rumah. Kalau sudah Mama yang melarang. Apa boleh buat. Semua pasrah.
"Tuh, kan. Sudah berapa kali Mama bilang, kalau lagi teleponan jangan naik-naik kursi, Nad. Jatuh, kan, akibatnya. Ngeyel, sih." Bukannya membantuku berdiri atau bertanya 'Nad, kamu nggak apa-apa?' tetapi Mama malah lebih dulu mengomeliku. Iya, aku tahu aku yang salah. Namun, bisa kan jika aku dibantu dulu. Seenggaknya sampai keningku tidak nyeri lagi.
Mama menghela napasnya, lalu mendekatiku dan membantuku berdiri.
"Ya, maaf. Habisnya sinyal di kamar aku jelek, sih, Ma. Mau nggak mau aku ya harus naik kursi dulu biar bagus sinyalnya," ungkapku jujur. Memang kenyataannya begitu. Aku saja sampai terheran-heran. Mengapa hanya kamarku saja tempat yang selalu susah sinyal. Padahal di kamar Mama-Papa, Kak Savalas, semuanya bagus. Entah ada apa di dalam kamarku sampai sinyal saja sering menghilang.
Mama hanya menggeleng. "Masalah sinyal lagi? Kamu kan bisa teleponan di ruang lain, Nadisha. Nggak harus di kamar."
"Iya, Mama."
"Ya, udah. Kamu jaga rumah, ya. Mama mau keluar sebentar," ucap Mama sambil mengelus rambutku. Aku menoleh, kaget. "Emang Mama mau ke mana?" tanyaku penasaran.
Tidak biasa-biasanya Mama keluar rumah di siang hari seperti ini.
"Mama ada urusan sama Tante Muditta," jawab Mama. Tante Muditta itu Mamanya Kak Maven, Maven Hoseok nama lengkapnya. Akhir-akhir ini Mama sering bertemu dengan Tante Muditta. Katanya sih sedang membahas masalah bisnis. Tapi aku tidak tahu apa itu benar atau tidak.
"Oh. Nanti kalau pulang jangan lupa bawa something, ya, Ma."
"Iya kalau inget. Ya, udah. Mama pergi dulu, ya. Itu kening dijaga biar nggak kejedot lagi."
Aku hanya tersenyum miris sambil memegang keningku.
Kini hanya terlihat punggung Mama saja yang kian menghilang secara perlahan.
Tiba-tiba ponselku berdering, ada sebuah pesan masuk. Dengan cepat aku langsung membacanya.
Nadisha Radka, lo nggak usah kesenengen gitu deh. Cuma setahun aja nggak mungkin ngebuat Kak Nehan suka sama lo.
Aku menggercutkan bibirku setelah membaca itu. Apa-apaan ini? Seharusnya Zelo mendukungku untuk mengejar Kak Nehan. Bukannya malah menjatuhkan rasa percaya diriku.
Kak Nehan itu gebetanku. Sudah lama aku menyukainya. Bahkan sejak SMP kelas tujuh. Waktu itu kami berada dalam satu sekolah. Kebetulan juga, masuk SMA ini Papa menempatkanku di sekolah yang ternyata Kak Nehan juga sekolah di sana. Sungguh, aku sangat senang mengetahui hal itu. Aku jadi memiliki kesempatan untuk mengejar Kak Nehan. Dan aku sangat berharap semoga Kak Nehan memiliki perasaan yang sama denganku.
Sementara Zelo, dia itu sahabatku sejak kecil. Selain sahabat, dia juga sepupuku. Entahlah, dari kecil aku sulit bergaul. Tidak seperti Zelo yang mudah akrab dengan orang lain. Apalagi orang yang baru dikenalnya. Karena itu, sejak kecil sampai sekarang temanku ya hanya Zelo saja. Mungkin memang ada banyak teman lain. Akan tetapi aku tidak yakin apa mereka mengakuiku sebagai temannya.
Aku mengetik balasan untuk Zelo.
Lo temen bukan sih?! Sukanya bikin gue punya niat buat mundur aja. Berjuang aja belum. Masa udah mundur, sih!
Tidak menunggu waktu lama, sedetik setelah pesanku terkirim, Zelo langsung membalasnya. Dia memang sangat cepat dalam hal membalas pesan. Kecepatan mengetiknya super kilat.
MENURUT LO?!!! EH, NAD. GUE BUKANNYA PUNYA NIATAN BIKIN LO MUNDUR YA. JANGAN ASAL NUDUH, DEH. GUE ITU EMANG BERDOANYA BIAR LO NGGAK SUKA LAGI SAMA NEHAN. NGERTI KAGAK SIH
Mambaca pesan itu, aku tidak tahu harus membalas apa.
Hanya satu kalimat yang bisa ku katakan sekarang; namanya aja Zelo, masa orangnya nggak bisa selo.
______
Ini adalah pagi pertamaku di sekolah baruku. Masa-masa orientasi sekolah akan di mulai hari ini. Aku merasa dag-dig-dug-der sekarang. Ya, bukannya apa-apa. Setiap kali aku mendengar kata MOS, pikiranku langsung tertuju kepada hal-hal yang kurang mengenakkan. Bukan seperti yang kulihat di televisi ataupun mendengar omongan orang tentang kegiatan MOS. Akan tetapi, aku pernah merasakan secara langsung kegiatan itu. Walaupun sekarang namanya bukan lagi MOS tetapi PLS---Pengenalan Lingkungan Sekolah----namun tetap saja ini membuatku was-was sendiri. Meski namanya sudah berbeda, tapi belum tentu kegiatannya juga berbeda. Ku dengar dari Kak Savalas semalam, kegiatan PLS dan MOS tak ada bedanya. Sama-sama masih mengandung unsur dimalu-maluin depan orang banyak.
Entah aku tidak tahu jika di sekolah lain. Tetapi jika di SMA Tanda Darma atau yang sering di singkat STANDAR, katanya masih menganut sistem seperti dulu. Tapi aku berharap, semoga nanti aku tidak terkena masalah dengan kakak-kakak OSIS. Aku ingin hidup tenang di sekolah baruku.
Sekarang aku ada di teras rumah. Sedang memakai kaos kaki sambil menunggu Kak Savalas yang sibuk menjadwal buku. Sejak semalam kakakku itu sama sekali tidak masuk ke kamarnya. Karena itu, pagi-pagi begini dia harus menjadwal bukunya. Seperti biasa, Kak Savalas selalu menonton pertandingan sepak bola dengan Papa sampai jam tiga pagi.
Oh, iya. Mulai hari ini dan setahun seterusnya, aku akan berangkat sekolah bersama Kak Savalas.
"Sha, lo kalau diajak kenalan sama cowok jangan mau," cetus Kak Savalas yang baru saja muncul. Memang hanya dia satu-satunya orang yang memanggilku dengan 'Sha' sendiri. Tapi tak apa. Mungkin itu termasuk dalam nama kesayangan.
"Emang kenapa?" tanyaku bingung.
Kak Savalas hanya menggeleng. "Nggak apa-apa. Pokoknya inget pesan Kakak. Jangan mau diajak kenalan sama cowok."
Aneh.
Kenapa tiba-tiba Kak Savalas melarangku untuk berkenalan dengan cowok. Padahal tidak ada angin juga tidak ada hujan.
"Ya tapi kenapa, Kak? Harus ada alasannya, dong."
"Udah. Nurut aja sama gue," balasnya biasa.
"Aneh. Ya udah deh, iya."
"Pinter."
Meskipun aku berkata iya. Namun tetap saja di dalam hati aku sangat penasaran. Ah, ada-ada saja Kak Savalas. Tidak biasanya dia melarangku seperti ini. Tanpa alasan pula.
Setelah itu, kami berdua berangkat ke sekolah. Dengan keadaan Kak Savalas yang tenang dan tentram. Mungkin sudah sejahtera dirinya. Sementara aku? Aku masih penasaran dengan maksud ucapan Kak Savalas tadi. Tidak mungkin kan dia melarang tanpa ada alasan? Ku rasa dia sedang menyembungikan sesuatu.
Suatu saat, aku pasti akan tahu dengan apa yang Kak Savalas sembunyikan dariku. Mungkin untuk saat ini aku memang tidak tahu. Tapi kebohongan tidak akan bertahan lama bukan?
Aku akan selalu siap untuk tahu itu.
Motor Kak Savalas berhenti di depan gerbang STANDAR. Ini bukan karena bensinnya habis, kan? Soalnya tadi pagi Papa sudah mengisi bensin Kak Savalas sampai tumpah-tumpah.
"Kok berhenti sih, Kak?" tanyaku. Aku melihat Kak Savalas sedang memperhatikan sekelilingnya.
Lalu dia menoleh ke belakang. "Kakak nganternya sampai disini aja biar lo olahraga sedikit. Pulang sekolah tunggu Kakak di halte."
"Kenapa harus di halte? Gue kan nggak mau naik angkutan umum, Kak," tolakku.
"Kalau lo nurut sama gue itu akan lebih baik. Udah. Sana masuk," suruhnya.
Aku tak menjawab sepatah katapun. Jujur saja. Kakakku memang aneh. Tapi bukan hanya sekadar aneh, namun juga menyebalkan tingkat tinggi. Sikap Kak Savalas yang begini lah yang membuatku semakin penasaran dengan apa yang disembunyikannya itu. Andai saja aku bisa membaca pikiran orang lain. Mungkin aku tidak akan sepenasaran ini. Tapi mau bagaimana lagi. Semua itu hanyalah andai-andaiku saja yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Aku turun dari motor Kak Savalas. Sebelum aku menyalaminya, dia sudah lebih dulu masuk ke dalam. Meninggalkan aku sendirian. Apa itu yang dinamakan Kakak?
Ah, ya sudahlah.
Aku tidak memikirkan itu terlalu jauh. Kuhembuskan napasku dengan kasar. Lalu mulai melangkah masuk ke dalam sekolah. Banyak siswa-siswi berhamburan datang ke sekolah. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh kurang dua menit. Pantas saja banyak yang tergesa-gesa. Ternyata mereka takut telat. Sama sepertiku. Suka berangkat ke sekolah jam tujuh mepet tapi takut terlambat. Memang pemikiran yang salah.
Ini pertama kalinya aku masuk ke STANDAR sebagai salah satu siswinya.
Dulu aku pernah masuk ke STANDAR. Tetapi hanya untuk mengantar Kakakku saja untuk mewakili lomba tingkat Nasional di bidang Matematika. Ketahui saja bahwa Kakakku itu memang pintar. Berbeda denganku. Otakku tak begitu mulus seperti Kakakku. Padahal kami keluar dari rahim yang sama. Perlakuan orangtua pun juga sama. Tapi tetap saja aku jauh dibawah Kak Savalas.
Meskipun begitu, aku tak merasa ada sedikitpun rasa iri kepadanya. Aku tidak begitu berambisi untuk menjadi seperti Kak Savalas. Selagi Mama-Papa tidak mengharuskan aku untuk seperti Kak Savalas, aku masih merasa biasa saja. Aku cukup beruntung orangtuaku tidak begitu mengharuskan anak-anaknya untuk berprestasi. Mereka membebaskan kami. Aku senang. Itu artinya aku tidak perlu memaksakan diriku untuk belajar dengan keras agar seperti Kak Savalas. Hal ini memang sederhana. Tetapi kebebasan untuk tidak harus berprestasi itu adalah kebahagiaan tersendiri.
Bahkan, banyak juga teman-temanku yang diwajibkan orangtuanya untuk berprestasi. Selalu menunjukkan nilai yang bagus-bagus di raport. Terkadang, aku kasihan juga dengan mereka. Setiap ada kabar tentang ujian atau ulangan, mereka langsung khawatir dan was-was. Takut tidak bisa mengerjakan soal dan mendapat nilai yang buruk. Dan berakhir dengan kemarahan orangtua. Atau mungkin bisa jadi dengan disitanya ponsel. Bagiku, itu sungguh menyeramkan. Aku tak tahu harus bagaimana jika hal itu terjadi padaku.
"Nadisha, kan?"
Aku menoleh ke sumber suara. Ada seorang cowok berdiri di depanku sekarang. Aku terdiam.
"Nadisha, bukan?" tanyanya mengulangi.
Aku langsung tersadar dari lamunanku seraya mengangguk. Tapi, bagaimana bisa dia tahu namaku?
Bahkan aku belum berkenalan dengan siapapun. Termasuk manusia yang berjenis cowok. Karena Kakakku memang melarang itu.
Dia mengulurkan tangannya kepadaku. "Gue Lesham," ucapnya sambil tersenyum.
Aku harus bagaimana?
Kulihat dari badge kelas, dia adalah anak kelas sebelas. Itu artinya dia adalah Kakak kelasku, kan?
Tidak enak jika aku tidak membalas uluran tangannya. Tapi aku teringat akan pesan dari Kak Savalas. Ah, tapi aku tidak peduli dengan itu karena alasannya kurang jelas. Lalu kubalas uluran tangan cowok yang bernama Lesham itu.
"Dari mana Kakak tahu kalau nama gue Nadisha?" tanyaku selanjutnya. Tetapi dia hanya tersenyum, wajahnya penuh dengan ilusi. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Kak Lesham malah menyeriangiku dengan semangat empat lima.
"Kak. Jawab gue," ujarku lagi sambil melepaskan tanganku dari genggamannya.
Kak Lesham maju selangkah ke depanku. "Semoga lo betah, ya," ucapnya begitu saja dan pergi dari hadapanku.
Aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Putri Adinda
ceritanya bagus, tapi narasinya kepanjangan..menurutku ya
2020-06-19
0
BELIMBING
ceritanya bagus thor.. semangat ya..
mampir juga di karya aku ALTER EGO.
2020-04-06
1
Kimberly Florensia
Next episodenya thor ditunggu.. 😍 jangan lupa mampir juga ya di my devil cry😊
2020-04-06
1