Sesampai dirumah mewah miliknya, Bramantio menghempaskan pantatnya ke sofa yang ada di ruang tamu.
Wajahnya terlihat menunjukkan kebingungan, dia tak mengerti kenapa Guntur mati.
Siapa yang membunuh Guntur? Dia memegang kepalanya, mengurut urut keningnya, merasakan pusing, Masayu duduk di samping Bramantio.
"Siapa yang membunuh Guntur ? Apa maksudnya meletakkan mayatnya di hotelku? Ujar Bramantio.
"Seperti disengaja, agar acara peresmian hotel berantakan." Bramantio kesal.
Masayu menggenggam tangan suaminya, berusaha memberinya ketenangan.
"Aku harus cari tau, siapa pembunuhnya, dan apa motifnya membunuh Guntur!" Ujar Bramantio geram.
"Apa pak Guntur selama ini ada musuh pah ?" Tanya Masayu pada Bramantio yang meliriknya lalu tersenyum getir.
"Ya pasti ada Ma, pebisnis seperti kami pasti banyak musuh yang menjadi lawan karena tidak senang dengan keberhasilan kami selama ini." Ujar Bramantio.
"Apa diantara lawan bisnis kalian yang membunuhnya ?" Ujar Masayu, Bramantio terdiam.
Dia melirik kembali wajah istrinya, berfikir sejenak. kemudian dia menarik nafasnya.
"Bisa jadi Ma, Papah juga belum yakin, tapi pasti papah segera tau siapa pelakunya." Ujar Bramantio menatap tajam menahan amarahnya.
"Jangan bertindak diluar batas pah, kalo tau siapa pelakunya, lebih baik serahkan ke polisi, biar polisi yang mengurusnya." Ujar Masayu pada suaminya.
Dia khawatir, suaminya bertindak gegabah dan main hukum rimba lagi seperti yang sudah sudah dia lakukan.
Masayu tahu sepak terjang suaminya itu, Bramantio tidak akan segan segan main kekerasan guna mendapatkan apa yang menjadi keinginan dan incarannya.
Dia tak perduli jika harus menyingkirkan orang orang yang menghalangi langkahnya dalam menjalankan bisnisnya.
Apalagi sahabat baiknya mati di bunuh, tentunya Bramantio tidak akan diam begitu saja, dia akan mengerahkan anak buahnya, untuk memburu pembunuh Guntur.
"Aku gak bisa hanya diam saja Ma, apa yang dilakukan pembunuh itu pada Guntur, aku harus membalasnya, bagaimanapun caranya !" Ujar Bramantio geram.
"Tapi pah..." Ujar Masayu dengan wajah khawatir menatap suaminya.
"Jangan ikut campur urusanku Ma. Aku lebih tau bagaimana menyelesaikan masalah ini !" Ujar Bramantio memotong pembicaraan istrinya.
Wajahnya terlihat marah, dia tak senang istrinya meminta dia untuk melibatkan kepolisian.
"Tinggalkan papah sendiri Ma.Tolong." Ujar Bramantio memejamkan matanya dan merebahkan kepalanya pada senderan sofa.
Masayu menghela nafas, dia berdiri, lalu melangkah pergi meninggalkan Bramantio sendiri di ruangan itu.
Siang itu, terlihat Maya berdiri didepan kasir sebuah Mini Market, dia membayar belanjaan.
Setelah membayar, kasir memberikan tas plastik berisi belanjaan pada Maya yang lantas segera berbalik keluar dari dalam Mini Market.
Di depan pintu keluar, dia berpapasan dengan Gavlin yang hendak masuk ke dalam Mini Market, mereka bertabrakan.
Maya kesal, saat dia melihat Gavlin berdiri dihadapannya, dia tak jadi marah karena ternyata Gavlin yang menabraknya. Gavlin tersenyum melihat Maya.
"Ketemu lagi kita." Ujar Gavlin tersenyum pada Maya yang cuek membuka pintu lalu keluar dari dalam Mini Market.
Gavlin lalu berbalik dan dia melihat ke arah Maya yang sedang berjalan keluar.
"Hei Jelek ! Gimana mobilmu ?" Tanya Gavlin teriak.
Mendengar perkataan Gavlin, langkah Maya terhenti, raut wajahnya berubah menjadi marah.
Dia kesal karena Gavlin mengatai dia "Jelek", Maya segera berbalik menghadap pada Gavlin yang berjalan keluar dari mini market mendekati Maya.
"Apa kamu bilang ? coba bilang sekali lagi, aku pengen denger." Ujar Maya dengan wajah menahan marah.
Dia menatap tajam Gavlin yang tersenyum berdiri dihadapannya dengan sikap tenang.
"Aku bilaaangg, ka...muu... Jelek !" Ujar Gavlin secara perlahan seperti mengeja mengucapkan kalimat pada Maya.
Maya langsung melotot matanya menatap wajah ganteng Gavlin yang tersenyum menahan tawa.
Gavlin melihat ekspresi wajah Maya yang marah, dia menahan tawa, karena melihat wajah Maya lucu saat marah.
"Kamu kira kamu keren, jadi seenaknya bilang aku jelek ?" Ucap Maya dengan sikap menantang Gavlin.
"Kata orang sih gitu, udah delapan ribu delapan ratus delapan puluh delapan orang yang bilang aku keren." Ujar Gavlin.
Dengan sikap tenang dan tersenyum Gavlin menatap wajah Maya yang terlihat mencibir.
"Diiih, kepedean." Ujar Maya lalu berbalik hendak meninggalkan Gavlin.
"Eeh, mobil kamu gimana ?" Tanya Gavlin lagi.
"Udah ku meseumkan di garasi kantor !" Ujar Maya menjawab pertanyaan Gavlin dengan sikap cuek tak berbalik melihat Gavlin.
Dia terus jalan terburu buru pergi meninggalkan Gavlin yang tertawa melihat sikap Maya itu.
Setelah sedikit jauh Maya dari pandangannya, Gavlin pun melangkah mengikuti ke arah Maya pergi.
Maya yang menyusuri trotoar jalanan, melewati ruko ruko dengan menenteng tas plastik belanjaannya, tidak menyadari jika Gavlin mengikutinya dari belakang.
Gavlin berjalan dibelakang dengan menjaga jarak, agar Maya tidak tahu kalau dia mengikutinya.
Gavlin ingin tahu dimana rumah Maya, karena dia sering melihat Maya datang belanja ke Mini Market tempat yang dia juga biasa belanja untuk keperluan dirinya.
Maya berhenti di pinggir jalan raya, menunggu mobil mobil yang banyak melintas dijalanan.
Maya melirik lampu lalu lintas yang masih belum berubah dari hijau ke merah.
Gavlin yang posisinya sudah dekat dengan Maya bersembunyi di balik gardu listrik yang ada di pinggir jalan itu.
Gavlin terus mengarahkan pandangannya pada Maya yang terlihat berdiri menunggu dengan sikap cueknya.
Saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah, Maya cepat melangkah dijalur penyebrangan.
Gavlin mengikutinya, namun wajah Gavlin berubah kaget, dia melihat dari arah lain sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
Mobil itu melaju ke arah Maya yang berjalan di garis jalur penyebrangan khusus orang.
Melihat hal itu, reflek dan dengan cepat Gavlin berlari mengejar Maya.
Gavlin segera menangkap dan memeluk tubuh Maya erat, membawa Maya untuk menghindar dari mobil yang melaju kencang.
Mobil dengan kecepatan tinggi melintas melewati Gavlin dan Maya yang terjatuh di aspal jalanan.
Maya dapat diselamatkan Gavlin, sedikit saja Gavlin terlambat menolongnya, nyawa Maya akan melayang dilindas mobil.
Di atas aspal jalanan, terlihat tubuh Gavlin berada di bawah, dan posisi tubuh Maya berada diatas tubuh Gavlin.
Maya menatap wajah Gavlin, dia diam sejenak, wajah mereka yang begitu dekat membuat Maya terdiam.
Jantungnya berdegup cepat, Gavlin menatap wajah Maya dengan tatapan yang membuat hati Maya luluh saat itu, Gavlin tersenyum menatapnya.
"Hampir saja kamu ditabrak." Ujar Gavlin tersenyum.
Maya tersadar dari lamunannya, dia lalu cepat bangun dan berdiri, melepaskan dirinya yang menindih tubuh Gavlin.
Mobil mobil yang berhenti mendadak karena kejadian itu, lalu melaju meninggalkan Gavlin dan Maya.
Gavlin dan Maya cepat berdiri, mereka berdua berjalan ke pinggir jalan, berdiri diatas trotoar.
"Ada yang terluka ?" Tanya Gavlin menatap Maya, ada rasa khawatir pada kondisi Maya.
"Gak apa apa kok, cuma dikit syock aja, kaget." Ujar Maya membersihkan bajunya yang kotor.
"Terima kasih ya udah nolong aku." Ujar Maya tersenyum ramah menatap Gavlin yang hanya mengangguk santai.
Mata Maya tertuju pada siku lengan kiri Gavlin, wajahnya kaget melihat siku Gavlin terluka dan berdarah.
"Kamu terluka. Maaf ya." Ujar Maya merasa bersalah pada Gavlin.
"Gak apa, santai aja, nanti juga sembuh." Ujar Gavlin dengan sikap tenang dan senyumannya.
"Iya, biar gimana juga harus di obati, biar gak infeksi." Ujar Maya.
"Ikut aku." Ajak Maya pada Gavlin yang berdiri diam , dia bingung menatap wajah Maya.
"Ayo, malah bengong kayak kucing lapar gitu." Ujar Maya menatap wajah Gavlin yang bingung.
"Kemana ?" Tanya Gavlin.
"Kerumahku, aku akan mengobatimu, di rumah aku ada obat obat luka." Ujar Maya pada Gavlin.
Maya melangkah, dia berjalan sementara Gavlin masih berdiri diam ditempatnya.
Melihat Gavlin masih diam, Maya mendekatinya lalu menarik tangan Gavlin.
Mau tak mau karena Maya menarik paksa dirinya, dia pun mengikuti Maya. Mereka berjalan menuju rumah Maya.
Sesampainya di rumah Maya, Maya menyuruh Gavlin masuk, dengan ragu ragu dia masuk ke dalam rumah kelas menengah itu.
Didalam rumah, Gavlin berdiri terpaku menatap seluruh ruangan, dia sedikit grogi, merasa canggung, karena sebelumnya tidak pernah datang kerumah seorang gadis.
"Heei, hobimu bengong ya ." Ujar Maya tertawa melihat Gavlin yang berdiri tercenung , Gavlin tersadar.
"Eeh, maaf, aku gak pernah main kerumah cewek." Ujar Gavlin.
"Ealaah, cuek aja lagi. Kayak apaan aja. Duduk deh, tunggu ya, aku ambil obat obatan dulu." Ujar Maya cuek.
Gavlin mengangguk kikuk, dia lalu duduk di sebuah sofa yang ada diruang tamu rumah Maya itu.
Sementara Maya masuk kedalam ruangan lain meninggalkan Gavlin duduk sendirian masih menatap seluruh ruangan rumah itu.
Tak berapa lama kemudian, Maya datang sudah berganti pakaian rumah dengan membawa kaleng bekas biskuit, didalamnya ada bermacam macam obat obatan.
"Sorri kelamaan, aku mandi dulu." Ujar Maya lalu duduk disamping Gavlin.
Dia lalu mengambil obat tetes luka khusus mencegah infeksi, lalu meneteskan botol obat luka pada lengan Gavlin yang terluka.
Gavlin diam tak bereaksi saat obat diteteskan ke lukanya. Maya lalu mengambil perban, dia membalut luka Gavlin.
Gavlin hanya diam menatap wajah Maya yang terlihat serius mengobatinya.
"Beres deeh." Ujar Maya selesai mengobati luka Gavlin, Gavlin melihat perban yang menutupi lukanya, dia tersenyum.
"Makasih ya." Ujar Gavlin menatap wajah Maya yang mengangguk tersenyum.
Maya merapikan obat obatan, memasukkan kembali kedalam kaleng yang ada diatas meja ruang tamu, menutup kaleng tersebut.
"Kita belum kenalan, boleh tau nama kamu ?" Tanya Maya menatap wajah Gavlin.
"Aku Gavlin Hernandes, panggil aja Gavlin." Ujar Gavlin.
"Wooow, turunan bule ya ?" Ujar Maya tertawa, Gavlin tertawa kecil.
"Nggak kok, aku asli Indonesia, gak ada darah bule. Cuma gak tau aja, aku dikasih nama sama orang tua angkatku itu." Ujar Gavlin.
"Dulu aku tinggal di amsterdam, di adopsi."
Ujar Gavlin memberi penjelasan pada Maya yang kaget mendengar bahwa Gavlin di adopsi.
"Oh gitu, maaf ya, aku gak tau." Ujar Maya.
"Gak masalah, nyantai aja. aku baru setahun balik ke sini, orang tua angkatku tetap dinegaranya." Ujar Gavlin.
"Itu sebabnya kamu kerja jadi supir pribadi pak Bramantio dan keluarganya ?" Ujar Maya.
"Kok kamu tau ?" Tanya Gavlin, dia heran Maya bisa tahu pekerjaannya.
"Ya taulah, aku kan pernah liat kamu ngantar pak Bramantio ke kantornya, waktu di acara peresmian hotelnya juga." Ujar Maya tersenyum pada Gavlin.
"Oh, pantesan tau." Ujar Gavlin tertawa.
"Kamu belum kasih tau nama kamu?" Ujar Gavlin pada Maya.
"Aku Maya Anggreini, panggil aja Maya. sama seperti kamu, aku juga di adopsi sama papahku sekarang, pak Bastian namanya." Ujar Maya.
"Tapi Ayahku itu lebih dikenal dengan julukan Gatot, Gatot kaca." Ujar Maya tersenyum menatap wajah Gavlin.
"Sama dong kita berarti." Ujar Gavlin, Maya mengangguk.
Mereka tertawa, terlihat suasana ceria diantara mereka, kedekatan mulai terjalin antara Gavlin dan Maya.
Gavlin menatap dalam wajah cantik nan ayu Maya, saat dia di dekat Maya dan menatapnya, ada rasa yang begitu beda dirasakannya.
Dia begitu merasa nyaman dan mendapatkan ketenangan saat bersama Maya.
Gavlin tidak mengerti kenapa dirinya bisa merasakan hal seperti itu.
Di tempat lain, di sebuah perkampungan, suasana malam yang hening dan dingin membuat situasi terlihat mencekam.
Sekelebat bayangan melesat terbang, melompat lalu berdiri di balik sebuah pohon besar.
Sosok bayangan itu menutupi seluruh tubuhnya hingga tidak ada yang tahu siapa dirinya.
Sorot matanya tajam menatap kerumah rumah warga, ada amarah tampak jelas dari sorot matanya itu.
Dia seperti menunggu saat waktu yang tepat untuk menjalankan aksinya.
Lolongan suara anjing terdengar keras, menambah suasana semakin mencekam.
Sosok bayangan itu lalu pergi dari tempatnya bersembunyi, Suasana perkampungan kembali sepi sunyi.
Setengah jam berlalu, sosok bayangan misterius berlari ke arah sebuah rumah warga.
Dengan cepat menerobos masuk kedalam rumah, di dalam rumah dengan gerak cepat dia menggorok leher Joko, warga yang saat itu sedang tertidur dikamarnya.
Joko sendirian didalam rumah itu, setelah Joko mati, sosok bayangan orang misterius menggotong mayat Joko, membawanya keluar, pergi meninggalkan rumah itu.
Hari telah berganti pagi, saat itu sang matahari baru saja muncul menunjukkan keindahan cahayanya, menerangi perkampungan dengan sinarnya.
Tiba tiba terdengar suara teriakan histeris dari salah seorang warga yang sedang berjalan di jalanan perkampungan itu hendak ke ladangnya.
Dia berdiri ditempatnya, tubuhnya kaku dan gemetar, matanya melotot kearah atas pohon pohon besar yang ada diperkampungan itu.
Para warga warga yang mendengar teriakan Kusno, warga yang teriak itu segera keluar dari dalam rumah masing masing, berlari ke arah suara Kusno teriak histeris.
Warga warga segera berdatangan karena pagi pagi buta merasa terganggu dengan teriakan Kusno itu.
"Ada apa sih, pagi pagi teriak teriak gak jelas !" Ujar seorang warga yang kesal dan menggerutu.
Warga warga berkumpul di dekat Kusno yang berdiri dengan tubuh gemetar ketakutan.
"Ada apa sih pak Kusno? ngagetin aja !" Ujar seorang warga.
"Iya nih, pagi buta udah bikin geger." Ujar warga lainnya pada Kusno yang lantas menggerakkan tangannya, mengangkat dan jari telunjuknya mengarah ke atas pohon.
"Kamu kenapa No ?" Tanya warga tiga, seorang pria yang lebih tua dari Kusno bertanya dan menepuk bahu Kusno .
"Ii...iiituu...liaat..." Ujar Kusno menunjuk ke atas pohon dengan wajah yang ketakutan.
Warga warga melihat kearah pohon yang ditunjuk Kusno, sontak dan serentak warga warga kaget.
Warga warga pada teriak histeris saat melihat apa yang ada di atas pohon yang ditunjuk Kusno.
"Ada mayaaaat, tolllooongggg, mayaaaaaat !! Pembunuhan, tolooonnng !!" Teriak warga satu ketakutan.
Mereka semua yang ada ditempat itu berdiri terpaku ditempatnya masing masing, wajah mereka kaget dan ada yang menunjukkan ketakutan.
Para warga dan Kusno melihat diatas pohon ada mayat Joko, warga tetangga mereka tergantung di salah satu pohon besar.
Selain mayat Joko, di atas dua pohon besar yang ada di dekat pohon tempat mayat Joko tergantung ada mayat lain.
Kusno dan para warga warga melihat dua mayat warga mereka tergantung dengan kondisi yang sama seperti Joko, sudah mati.
Seketika, Kusno yang menemukan ketiga mayat itu tergantung di atas pohon terkulai duduk ditanah.
Kakinya lemas, dia tak sanggup lagi berdiri, Seketika saja, kampung mereka menjadi geger.
Digemparkan dengan adanya tiga mayat yang tergantung diatas pohon.
Mereka tak menyangka, kampung yang selama ini terasa nyaman, terjadi pembunuhan.
Dan mereka tak pernah menyangka jika Joko, Amir, Mudin , ketiga mayat yang tergantung , mati dibunuh.
Para warga bertanya tanya, kenapa mereka dibunuh, siapa yang sudah tega membunuh ketiga orang tersebut ?
Dari sorot mata para warga itu terlihat ada rasa saling curiga diantara mereka masing masing.
Mereka ingin mencari tahu siapa yang sudah membunuh ketiga orang itu dengan sadis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 318 Episodes
Comments
Yuuna
mas Yanto kah yg bunuh?
2022-04-25
1
Amunk Rtd
sehebat itukah si yanto....mantap
2022-01-31
1
Rikhi Candra
mantap
2021-12-20
1