Rambut putihnya terlihat lebih bersih dari sebelumnya dan seorang gadis memperhatikannya dari kejauhan, di tengah lapangan depan tiang bendera mereka berdiri. Sampai sore hari mereka mesti harus diam di sana, kalaupun pingsan sekalipun mereka takkan dibiarkan untuk istirahat. Itulah hukuman untuk mereka.
Artha terlihat kelelahan karena darahnya terkuras habis setelah menggunakan kekuatan khususnya, ia bisa membuat senjata dari darahnya tapi karena dia masih belum menguasai kekuatan sepenuhnya ia kelelahan. Kekurangan darah.
Artha menoleh ke samping, "Makan malam hari ini apa ?"
"Tahu dan sayur bayam, bukannya kamu yang biasanya memasak kenapa malah bertanya."
"Apa kau suka daun singkong ? Katanya itu bisa menambah darah, katanya."
"Kurasa aku akan mencobanya.. itupun kalau kau bisa memasaknya," balasnya sambil tersenyum dan penuh keringat. Keduanya mulai memasuki batas, matahari begitu panas sampai tingkat dimana telur sekalipun bisa matang. Sekarang mereka dijemur di panas terik matahari yang luar biasa panasnya.
Kaki mereka terlihat gemetaran lemas, tak lama Satriaji mulai roboh lalu bertekuk lutut tidak bisa menahan panasnya terik matahari. Seseorang datang berjalan dengan pelan, keduanya mengangkat wajah melihat kepala sekolah sedang berjalan menuju mereka berdua.
Dia berdiri di depan wajah Satriaji sambil mengelap kacamatanya. Lalu berkata, "mengapa kau melakukan hal semacam itu ? Padahal aku mengharapkan kalau kau orang yang paling kuat di sekolah ini."
"Saya merasa.." lirihnya pelan kembali tertunduk.
"Saya yang mengeluarkan kekuatan,.. dia sama sekali tidak melakukan hal yang salah. Kenapa bapak tidak membiarkannya pergi ke kelas saja ?" Tanya Artha memotong perkataan temannya. Pria tinggi agak gemuk menaruh kacamatanya dalam kotak, ia mengangguk dan membawa Satriaji ke kelasnya meninggalkannya sendirian.
Sambil ditarik kepala sekolah Satriaji sesekali menoleh ke belakang, akibat karena dia orang paling kuat di sini mendapatkan perlakukan khusus. Berbeda dengan Artha yang hanya kekuatan normal saja, tapi dikategorikan sebagai yang terlemah karena kekuatannya itu membentuk darah menjadi senjata yang diinginkan.
Walau dia punya kekuatan besar sekalipun, selama beberapa tahun ini ia hanya berada di belakang punggungnya dan berlindung saja. Tak pernah sekalipun ia melihat Artha mundur, kecuali kalau benar-benar keadaan terburuk.
"Seperti ****** ******** yang masuk ke dalam oven," ujarnya dalam hati. Sambil merasa letih ia meninggalkan temannya penuh dengan perasaan bersalah, sedangkan Artha jauh di belakang mengigit jarinya menghisap darahnya sendiri. Tak lama kemudian tubuhnya mengeluarkan asap dan asap itu berubah jadi dirinya.
Mengambil kesempatan untuk pergi, ia digantikan oleh bayangan dirinya yang pastinya hanya akan bertahan dua jam saja. Dia berjalan di halaman sekolah terhuyung-huyung, mengetahui kalau sinar matahari takkan sepanas itu dia yakin kalau ada yang melakukannya sengaja.
Dia duduk di bawah pohon merasakan pusing, tanpa disadarinya ia mulai terpejam dan tertidur...
***
Jam pulang sekolah berdering cukup keras semua guru pun keluar dari kelas begitu juga dengan para murid, ketika Satriaji bergegas untuk menjemput Artha ada banyak murid datang padanya. Mereka berbisik dekat daun telinganya.
"Jangan berteman dengannya, kau berada di kelas A jangan sampai lupakan itu."
"Ya itu benar... Kita tidak selemah dia."
"Apa yang kalian katakan, aku tidak peduli, permisi! Tolong minggir!" Ujarnya menyingkirkan mereka. Salah satu orang memegang tangannya menghentikan langkah kakinya, semua teman sekelasnya mulai membicarakan betapa buruknya kelakukan semua murid di kelas C termasuk menjelek-jelekkan nama Artha di depan mukanya.
Sorot mata Satriaji mengeras, terarah pada mereka semua yang bicara langsung membatu tidak mengatakan apapun. Hendak ingin membuka mulutnya seorang lelaki mendatanginya, tangannya hampir meraih pundaknya namun Satriaji jongkok menghindarinya dan cepat berdiri untuk menyundul dagunya.
"Sial! Apa maksudmu ha ?!" Teriaknya. Tangannya mencengkram kerah baju, Satriaji yang mulai emosi dan menggenggam kedua tangannya menaikan kekuatannya perlahan. Orang ini jelas segera menjauh, akan tetapi tangannya berkata lain tanpa ampun tangannya berdarah dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
Seakan-akan tulangnya itu sekarang hanya sebuah kain, orang ini kaget dengan apa yang terjadi pada kedua tangannya. Menggerakan jari kelingking saja dia tidak bisa.
Tanpa mempedulikan kata-katanya Satriaji berlari keluar dari kelas, melihat para guru menghalangi jalan ia melemparkan pena keluar dari gerbang sekolah. Tubuhnya menghilang sekejap mata, berada di depan gerbang dia berpindah tempat dan segera mengambil pena miliknya. Dia bergegas lagi menuju asrama laki-laki.
"Di lapangan dia tidak ada,.. aku rasa harusnya dia sudah pulang." Dalam hati ia berkata.
Setelah lama akhirnya berlari, ia sampai di depan pintu kamarnya lalu membuka pintu tidak melihat siapapun di sini. Merasa kalau dia ada di dapur Satriaji pergi ke dapur, tidak melihat siapapun dan hanya ada piring di atas meja dengan sebuah kertas di atasnya seperti sebuah surat.
Menghela napas lega karena orang yang ada dalam pikirannya baik-baik saja, dia duduk di meja makan menatap piring berisi makanan. Masih merasa bersalah tentang sebelumnya, ia tidak mengatakan apapun dan pergi meninggalkannya begitu saja.
Suara decak jam memecahkan keheningan dalam ruangan, baginya tinggal di asrama tidaklah buruk namun itu berbeda jika tidak ada orang bodoh di sampingnya. Merasa sendirian karena teman-temannya tidak ada, Satriaji berpikir untuk ikut ke salah satu klub atau apapun itu agar punya kegiatan.
"Aku tidak pandai dalam berbagai hal.." keluhnya mengeluh. Tangannya sibuk mengetuk-ngetuk meja, mendengarkan suara langkah kaki yang berisik dari luar dan suara bising mereka yang sedang tertawa terbahak-bahak.
Pada bibirnya terdapat gambar pahitnya hidup dan kepedaran hati secara bersamaan, jelas sekali kalau ia sedang menahan rasa sedih yang amat dalam. Segalanya dimiliki olehnya, tapi karena itulah dia kehilangan semuanya. Kini, ia berdiri beranjak dari tempat duduknya keluar dari kamarnya.
Mencari-cari Adly sepanjang hari, namun masih belum menemukannya di sekitaran sekolah tidak ada keberadaannya sekalipun. Sampai ia menghabiskan setengah energinya, tetap, dia tidak menemukan teman sekamarnya membuat dirinya takut terjadi apa-apa padanya.
"Perkebunan.. mungkin saja, dia di sana!" Ujarnya dalam hati. Ia bergegas, memakai Teleport terus menerus hingga sampai di depan perkebunan melihat kalau seorang pria tua sedang memetik daun-daun singkong muda. Dan tidak ada seorangpun di sini terkecuali dirinya.
Menyerah untuk mencarinya Fauzan berjalan kembali ke asrama dengan perasaan cemas, saat berjalan beberapa langkah ponselnya bergetar dalam saku celananya. Dia meraih ponselnya, melihat Vlad menelepon nomornya dan dua mengangkatnya.
"Halo.."
"Ya, ada apa ?"
"Artha, dia ada di sini.. tapi ada yang aneh."
"Aneh ? .. dimana dia sekarang ?"
"Di gudang sekolah, dia sedang menggigit tangan seorang gadis meminum darahnya. Seperti vampir,.. padahal aku sering diejek vampir olehnya sekarang dia yang seperti vampir, ironi sekali."
"Aku akan ke sana!" Katanya terdengar cemas. Sambil memikirkan gudang. Tubuhnya memudar, meninggalkan cahaya biru dan partikel putih berterbangan di area sekitar. Langsung dalam sekejap, ia sampai di dekat gudang melihat Vlad yang tengah mengintip dari jendela.
Satriaji menghampirinya, namun tidak mengatakan apapun ketika melihat kalau apa yang dikatakan Vlad sebelumnya adalah kenyataan. Dan gadis yang sedang duduk bersama Artha, orang yang mempermainkannya pagi hari yaitu saat keduanya ingin mencuri pisau tapi mendapatkan yang palsu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments