"Mulai sekarang kamu harus belajar memakai baju yang tertutup," nasehat Reno.
"Coba deh, kamu pake baju itu." Reno mengambil baju itu dari tangan Mas Reza, "ini mahal, loh. Liat aja brand artis punya, nih!" tambahnya lagi.
"Apaan sih, Kak Reno. Jangan maksa dong!"
"Ratna, itu sudah kewajiban untuk setiap muslimah, kamu gak mau kan papa berdosa gegara anak perempuannya tidak mau tutup aurat." timpal Mas Reza.
"Nanti lah kalo udah laku, baru mau pake jilbab. Lagian sekarang masih banyak baju - baju aku yang belum ke pake. Kan sayang kalo belum pernah dipakai."
"Nih anak selain otaknya yang mau dicuci tapi juga akidahnya yang mau diisi," gumamku.
"Oh ya, Kak Reno mau gak aku kenalin dengan sahabat aku, yang semalam.ehm, yang pake dress hijau."
"Yang bajunya kurang bahan? Ogah!" ledek Reno, diiringi tawa Mas Reza dan juga aku. Ratna melirikku tak suka.
"Ih, kenalan aja dulu, soal penampilankan bisa diubah yang penting cocok dulu. Mau ya kak?" suara Ratna manja, sambil mengibaskan rambutnya yang panjang dan bergelombang.
"Yang penting sho - le - ha!" tegas Mas Reza.
"Benar tuh kata Mas Reza," timpal Reno.
Aku kembali ke kamar, meninggalkan ketiga bersaudara itu di ruang keluarga. Aku mengemasi barang - barangku, ingin segera kembali ke rumah. Berlama-lama di sini membuatku semakin gerah melihat saudara ipar yang tak punya akhlak.
"Loh, andine. Kok beberes sih?"
"Trus? sampe kapan kita di sini?"
"Ehm, gimana kalo kita nyari kontrakan sekarang, mumpung cuaca lagi sejuk, seperti saat memandang kamu rasanya adem," gombal Mas Reza, aku tersenyum mendengar ucapannya yang terakhir.
Ada sedikit perasaan lega, setidaknya tidak melihat adik Mas Reza yang songong itu seharian.
Sebelum keluar Mas Reza memakai jaket, aku juga menyandang tas model ranselku di punggungku. Baru beberapa langkah kaki melangkah, Ibu mertua menghentikan langkah kami.
"Loh, mau kemana kalian?"
"Mau nyari rumah kontrakan yang dekat kantor mah," sahut Mas Reza mengambil kunci motor diatas bufet.
"Loh, ngapain ngontrak sih. Tinggal di sini saja,"
"Mas Reza menoleh ke arahku," menunggu persetujuanku.
"Terserah Mas Reza saja," jawabku, tak enak menolak depan mertuaku walaupun dalam hati tak sesuai dilisan.
"Nah, gitu dong, biar kita bisa rame tinggal di sini." girang mama suamiku.
"Hari ini tolong bantu Ibu ya," tambah mertuaku lagi.
"Bantu apa mah?" jawabku meletakkan kembali tas.
"Jadi gini, temannya Ratna sebentar mau datang jadi rencana mau masak masakan yang special buat mereka," jelas Ibu mengambil sebuah kertas catatan lalu menyodorkannya padaku.
"Kamu sama Reza beliin ini ya di pasar," tambahnya lagi, sembari meletakkan di tanganku catatan belanjaan yang panjang tanpa memberi uang.
Lama aku berdiri, menunggu Ibu memberikan uang namun dia kembali beraktivitas di dapur.
"Nih sekarang belanjanya, Mah?" kuikuti langkahnya ke dapur.
"Iya, sekarang. Teman-temannya Ratna rencana makan siang di sini, jadi cepet yah," jawabnya tanpa menoleh padaku. "Oh, ya belanjanya di swalayan, jangan di pasar biar," tambahnya lagi.
"Hah? eh, iya Mah. Saya berangkat dulu." Menggaruk - garuk kepala yang tak gatal.
"Jadi maksudnya belanjaan ini kita yang bayar?" bisikku pada Mas Reza. Dia menarik nafas dalam - dalam.
"Yuk, berangkat sekarang nanti keburu siang," ucap suamiku. "Gak pa pa kan, kita bayar dulu, mungkin diganti setelah pulang dari pasar," tambahnya lagi saat sudah hendak melajukan motor.
"Iya, gak pa - pa, Mas." Entah sejak kapan aku mulai merasa perhitungan dengan keluarga suamiku. Seandainya mereka bersikap baik tanpa meminta pun akan kuberikan.
"Kata Ibu kita belanjanya di swalayan, jangan di pasar," aku mengingatkan suamiku.
"Gak usah, di swalayan mahal, mending ke pasar saja,"
"Ya sudah terserah," singkatku
Cuma butuh beberapa menit untuk sampai di pasar, untuk belanja kebutuhan dapur pastinya akan lebih hemat di pasar tradisional. Pasar rakyat ini juga sudah semakin rapi dan bersih tak seperti jaman dulu yang becek, kumuh, kotor dan bau.
Kulihat catatan Ibu mertuaku di tangan lumayan banyak juga, seperti mau mengadakan acara nikahan. Untungnya duit yang kubawa cukup.
Lelah juga berkeliling pasar, mencari satu persatu sesuai yang ada di catatan, kami bergegas balik ke rumah.
***
"Kok, lama amat sih?" ucap Ibu mertua di depan pintu, sepertinya sedari tadi menunggu kami.
"Yang dibeli kan banyak, Mah." jawab Mas Reza mengangkat satu persatu empat kantong belanjaan besar yang berwarna merah.
"Loh, kamu belanjanya di pasar? Kan tadi sudah saya bilang belanjanya di swalayan. Di pasar itu jorok, banyak lalat dan pastinya gak higienis," cerocos Ibu mertuaku mergidik jijik melihat kantong kresek yang diangkut suamiku masuk ke dapur.
Aku pura-pura tak mendengar, lebih baik cepat masuk kamar biar tidak kena omelan ibunya Mas Reza. Akhirnya sudah terkuak bahwa jiwa sosialita Ratna menurun dari ibunya. Buah tak jauh dari pohonnya, untungnya Mas Reza tak meniru perangai Ibu mertuaku, meski kadang ketus tapi setidaknya dia masih realistis.
Baru saja kurebahkan badanku di kasur yang empuk, tiba-tiba pintu kamar di gedor. Dengan cepat kuraih gagang pintu dan membukanya.
"Dipanggil Ibu tuh, di dapur," ucap Ratna dengan ekspresi datar.
"Nih, total belanjaan tadi," catatan dan nota - nota belanjaan kusodorkan ke tangannya.
"Ih, tanya mama saja," dia mengembalikan setumpuk nota itu ke tanganku.
Aku kembali bergegas menuju dapur, setumpuk pekerjaan sudah menunggu. Mas Reza juga tengah asyik membantu ibunya, memotong - motong daging yang akan dijadikan menu utama.
"Kamu kupas ini ya, setelah itu dicuci lalu diblender. Blender ambil di atas sana," pinta Ibu mertua sambil menunjuk sebuah blender yang tersimpan rapi di dalam lemari.
"Iya, mah," singkatku mulai mengerjakan apa yang diperintahkan oleh nyonya besar di rumah ini, sementara Ratna hanya sibuk bermain HP sambil nonton TV.
Melihat pekerjaan dapur yang banyak, Mas Reza menghampiri adiknya yang tengah bermalas-malasan di sofa ruang keluarga.
"Rat, bantuin tuh mama dan Andine di dapur," tegur suamiku yang kini sudah bau daging mentah.
"Hah? di dapur kan sudah ada Andine dan mama," selanya.
"Ya, kamu juga bantuin biar cepat kelar. Jangan cuma leyeh - leyeh di sini. Ini juga acara kamu kan? Ngundang teman kamu makan siang di sini,"
"Iya, sih Mas. Tapi takut kukuku nanti patah kalo masak di dapur," suara manjanya yang menyebalkan terdengar hingga ke dapur.
"Gak usah, Reza. Di sini kan sudah ada mama dan Andine, adikmu biar siap - siap menerima tamu." ucap Ibu mertuaku membela anak bungsunya.
Setelah beberapa jam bergumul dengan pekerjaan dapur, akhirnya aroma rendang mulai tercium, sangat menggugah selera makan. Ibu Mas Reza memang jago masak, sedangkan aku cuma asisten koki.
Beberapa piring cantik yang tersimpan rapi di lemari dikeluarkan oleh mertuaku untuk ditata di meja makan. Seperti mau menjamu tamu istimewa, "jadi penasaran siapa sih tamu istimewanya?" bisikku dalam hati.
Sampai untuk menata makanan di meja makan pun Ratna sama sekali tak membantu, piring - piring di tata sedemikian rupa dan di isi dengan daging rendang berwarna kecoklatan dan ditaburi bawang goreng. Beberapa lauk tambahan juga tak kalah terlihat nikmat di tambah dessert puding coklat yang begitu lezat.
"Eh, makannya jangan di sini, di dapur aja! Takutnya jadi berantakan sebelum tamunya datang," cercah Ibu mertuaku saat Mas Reza hendak duduk untuk makan.
Peluh keringat di kening ditambah nyeri di dada karena melihat perlakuan mertua pada anaknya sendiri. Mas Reza hanya pasrah lalu berdiri dengan malas menuju dapur untuk mengambil nasi dan sisa rendang di panci.
"Buset! makannya banyak amat!" tegur mertuaku lagi melihat piring Mas Reza yang membumbung tinggi.
Bibir Mas Reza menyunggingkan sebelah lalu berjalan ke arah sofa keluarga di ruang tamu.Aku pun heran melihat tingkahnya seperti orang yang tujuh hari tidak makan.
"Sayang, ambil dua sendok ya!" pinta Mas Reza, tanpa kupahami maksudnya tapi aku hanya nurut tanpa banyak bertanya.
"Mas Reza! Makannya banyak amat," celetuk Ratna, matanya melotot melihat isi piring di depannya.
"Lapar tau!" ketusnya." Lapar setelah tenaga dan dompet terkuras," suaranya pelan menyindir Ratna yang asyik dengan smartphonenya. Adiknya itu pura-pura tak dengar, sibuk menerima telpon.
"Ini sendoknya, Mas." Kuletakkan dua sendok itu di atas meja.
Ratna yang hendak mengambil salah satu sendok, dengan sigap diambil duluan oleh kakaknya.
"Ini buat Andine, kalo mau makan ambil sendiri!" tegas Mas Reza.
"Dasar pelit!" balas Ratna.
"Bodoh amat!"
"Andine, makan yuk," menyodorkan salah satu sendok.
Aku baru paham, Mas Reza mengajakku makan sepiring berdua. "Memang pengertian banget suamiku ini." Lirihku. Dia pasti ngerti kalo aku gak akan enak ambil makanan yang ada di meja, Ibu mertua pun tak mempersilahkan aku makan, padahal sejak dari pasar kami belum makan apa - apa.
Kulihat Ratna hanya menelan salivanya berkali-kali melihat kami lahap, apalagi aroma rendang membuat perut makin lapar di waktu menjelang siang ini.
Sesekali kulihat Mas Reza menyunggingkan senyum melihat adiknya makin ngiler.
"Dasar jahil!" gumamku.
Tring - Tring - Tring!
Bel berbunyi, Ratna segera menuju pintu.
"Hai, guys! masuk yuk!" Ratna tersenyum sumringah melihat dua sahabatnya datang.
Dua orang wanita modis dengan kulit putih licin bikin nyamuk terpeleset jika bertengger di kulit mereka, outfit yang kurang bahan dan tas brand ternama melekat di lengannya. Seingatku itu Sheila dan Mirimar, sahabat Ratna.
Beberapa menit duduk di tamu, aku menyadari jika pandangan salah seorang sahabat Ratna tak lepas dari Mas Reza, suamiku yang sedang berada di ruang keluarga. Memang tak ada sekat kedua ruangan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments