Gadis-Gadis BPJS ( Budget Pas-Pasan Jiwa Sosialita)
[ Mas, Bagi duit, dong ]
Sebuah pesan masuk di aplikasi WhatsApp suamiku, rupanya dari adik ipar, adik perempuan lelaki yang baru seminggu sah menjadi imamku.
[ Sebentar sore ditransfer ya, Dek. kutambah emoji smile dan hug]
Balasku dengan menggunakan WhatsApp lelakiku yang sedang di kamar mandi. Mas Reza juga pasti setuju.
Aku tak keberatan memberi uang yang adik iparku minta, toh dia juga saudaraku. Tak perlu perhitungan padanya.
[ Asyiik, tapi jangan bilang - bilang sama istrimu, sepertinya dia pelit!] balasnya dengan emoji ngakak.
Mataku membulat sempurna melihat pesan masuk yang baru saja masuk. Dadaku menjadi sesak, geram membuat gerahamku mengeras dan wajahku terasa panas, memerah menahan amarah.
"Sabar - sabar, dia mungkin belum mengenalku jadi asal tebak saja," lirihku, sambil menghapus pesannya yang terakhir.
"Kamu kenapa?" tanya suami sambil mengeringkan rambutnya, sepertinya dia menangkap ekspresi wajahku yang hampir saja murka karena kelakuan adiknya.
"Nih, ada pesan dari Ratna," kusodorkan gawai ke tangan kanannya. Keningnya mengkerut melihat pesan yang baru saja dibaca.
"Minta duit lagi," gerutunya.
"Kok, dibalas sih," protes suamiku,
"Memang gak niat mau beri Ratna duit, kali ajah dia memang butuh. Kasih aja, mumpung kita lagi punya duit, itung - itung sedekah," sahutku sambil merapikan tempat tidur yang masih berantakan.
"Sekarang prioritas utama, ya keluarga kecil kita. Apalagi kalau sudah ada anak, pasti makin banyak kebutuhan jadi perlu ada tabungan," ucapnya sambil merangkul pinggangku dari belakang. Aliran darah terasa mengalir deras. Ada desir hangat yang merasuk di dada, apalagi saat dia mengecup rambutku dari belakang.
"Kasih seperlunya saja, terlanjur sudah aku balas," suamiku kembali membuka aplikasi WhatsAppnya, last chat tertulis nama Ratna my sister di situ.
[ Duit? Untuk apa?] pesan dari nomor suamiku terkirim. Centang biru tanda Ratna langsung menerima dan membacanya.
[ Bayar Arisan ] balas Ratna.
[ Arisan mulu! kalo gak punya duit, nda perlu ikut arisan lagi!]
[ Uangnya untuk ibu juga, kok! ] dalih Ratna.
[ Alasan! setiap minta duit pasti jual nama Ibu! ] rupanya begitu si Ratna, bukan kali ini saja meminta uang dengan alasan uang arisannya untuk Ibu mertuaku. Padahal Bapak mertua masih aktif bekerja.
[ Kenapa? istrimu gak setuju? Tuh kan, benar yang saya bilang, dia itu pelit bin medit! ] Balas perempuan lajang itu lagi.
Mas Reza, suamiku langsung mematikan gawainya, mungkin dia tak mau aku melihat pesan yang baru saja Ratna kirim. Namun sudah terlanjur kubaca, serba salah terlihat jelas di raut wajahnya.
"Gak usah dipikirkan kata si Ratna, orangnya memang gitu, asal ceplos. Kita jalan - jalan yuk!" hibur Mas Reza mengambil kunci motor di atas nakas.
***
Motor kami melaju di jalan raya menuju Mall terbesar di kota ini, pohon - pohon di pinggir jalan yang rindang dan cuaca cerah berawan begitu bersahabat siang ini.
Beberapa menit kemudian, kami menuju depan pintu masuk Mall setelah memarkir motor tentunya. Mas Reza menggandeng tanganku, dia semakin terlihat menawan dengan gaya kasual, celana jeans berwarna biru dipadukan dengan kaos putih lengan pendek membuat otot lengannya terlihat seksi ditambah perutnya yang rata hampir sixpack, sedangkan aku simpel memakai kulot berwarna abu basah, blus polos berwarna kuning muda senada dengan warna jilbabku.
Dari kejauhan samar - samar kulihat seseorang mirip Ratna memakai dress selutut berwarna merah turun dari sebuah taxi online depan lobby utama. Mata kami sempat saling bertemu, namun wanita itu segera mengalihkan pandangannya dan terburu - buru melangkah masuk ke dalam Mall.
"Aku pasti salah lihat, mungkin cuma mirip dengan adik iparku. Apalagi aku melihat dari kejauhan, Kalau itu Ratna mana mungkin tidak menyapaku dan Kakaknya," batinku.
***
Aroma roti yang tertata epik di etalase kaca menerobos masuk ke indra penciumanku saat baru saja kami melangkah masuk ke dalam bangunan megah ini. Semburan mesin pendinginan membuat rasa sejuk dan nyaman disetiap inci kulit. Kondisi ini membuat pengunjung betah berlama-lama nongkrong di Mall.
Kami tak ada rencana belanja, kebutuhan bulanan masih tersedia banyak dari sisa persediaan pesta resepsi. Untuk sementara kami masih tinggal di rumahku, tepatnya di rumah orang tuaku. Dalam waktu dekat ini kami berencana untuk mencari rumah kontrakan, agar bisa hidup mandiri.
Setelah puas berkeliling walau sekedar cuci mata, kami menuju toko buku terbesar, ini salah satu tujuan utamaku saat ke Mall. Sama seperti saat masih kuliah dulu, hobby membaca membuatku betah berlama-lama di sini. Sementara Mas Reza sibuk melihat peralatan olahraga yang sedang mengadakan pameran tepat di depan toko buku ini. Lelah berdiri sambil membaca, aku mengantri di kasir untuk membayar beberapa novel dari penulis favoritku.
Bell makan siang sudah berdentang riang dalam perut berkali-kali, aku dan Mas Reza mencoba mencari resto yang sesuai selera dan tentunya cocok di kantong.
Lalu langkah Mas Reza berhenti di salah satu resto terkenal, tatapannya tertuju pada seorang perempuan muda yang mengenakan dress berwarna merah dihiasi perhiasan di leher dan tangannya sedang tertawa haha hihi bersama dua kawannya.
"Mas yakin mau makan di sini?" meski aromanya menggoda selera tapi aku ragu karena pasti semua menu harganya di atas lima puluh ribu, sedangkan kami sudah sepakat untuk berhemat agar bisa segera memiliki rumah sendiri.
"Itu Ratna kan?" aku memicingkan mata, memastikan jika yang kulihat adalah adik iparku. Wanita yang sama di depan pintu Mall tadi. Mas Reza mengangguk membenarkan terkaanku. Lama kami menatapnya tapi Ratna seolah tak melihat kami.
"Bagaimana bisa dia mengabaikan Mas Reza, padahal baru beberapa jam yang lalu dia meminta uang," gumamku, kuyakin Ratna pasti melihat kami. Dia sempat melirik ketika Mas Reza beranjak dari situ.
***
Makanan cepat saji yang femes ini jadi pilihan kami bersantap siang. Dua potong ayam krispi yang masih hangat, nasi pulen dengan harum yang khas, air mineral dan minuman kesukaan rasa kopi dengan toping es krim.
Sejenak kami melupakan masalah tentang Ratna, adik Mas Reza. Dengan lahap menikmati hidangan yang sudah ada di hadapan kami, memang nikmat jika makan pas di saat lapar - laparnya. Apalagi ditemani suami tercinta, meski tak ada adegan suap-suapan tapi serasa dunia milik berdua yang lain cuma ngemper.
Kuseruput minuman moka float kesukaanku hingga hanya menyisakan es batu, tak sengaja mengeluarkan sedikit suara. Untungnya Mas Reza lagi cuci tangan di wastafel, jadi gak kedengeran bunyi nyaring nyeruput es batu tadi. Maklum pengantin baru, masih agak jaim.
Setelah makan kami berencana untuk pulang, tak lupa kubelikan sekotak donut yang juga femes untuk orang di rumah, tampilan dan harum donutnya memang menggoda, meronta ingin dibawa pulang.
Baru beberapa langkah keluar dari Mall menuju tempat parkir motor, lamat - lamat terdengar suara seseorang memanggil - manggil suamiku.
"Mas, Mas Reza - " Pekiknya tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.
"Mas sepertinya ada yang manggil kamu deh," ucapku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
"Ah, gak usah diliat!" Mas Reza mengapit lenganku dan mempercepat langkah kakinya, spontan kuikuti irama langkahnya.
"Mas Reza, Andine ! Mas , Mas Reza. Andine,!"
Suaranya makin nyaring menyebut namaku dan Mas Reza. Tapi suamiku pura-pura tak mendengar. Setengah berlari mengejar kami dengan memakai high heels tentu terasa berat, nafasnya ngos - ngosan tak beraturan, Ratna akhirnya bisa menyusul kami ke basement, tempat parkir motor.
"Mas kok dipanggil-panggil gak nyahut sih?" cercah wanita muda ini dengan mengatur nafasnya yang masih naik turun.
"Oh, maaf gak dengar," Sahut Mas Reza santai sambil memakai helm.
"Mas kenapa sih? Kok, jadi berubah gini?" nada manja keluar dari bibirnya yang berlipstik tebal, melirikku dengan tatapan yang sulit kutebak.
" Loh, bukannya kamu yang gak kenal kita, aku tahu kamu pura-pura tidak lihat Mas dan Andine saat di resto tadi waktu bersama teman-teman sosialitamu itu, memangnya kamu pikir kita bego? " hardik Mas Reza, baru kali ini aku melihatnya sedongkol itu.
"Maaf, Mas tapi tadi aku benar-benar gak tahu," lengan kanannya bergelayut manja di tangan kakaknya meminta permohonan maaf, sementara beberapa paper bag menggantung di lengan kirinya.
"Bisa shopping tapi gak bisa bayar arisan," batinku, aku berdiri di sisi belakang motor, helm di tangan yang sudah siap kupakai namun masih menyaksikan adegan kakak adik ini yang seperti sepasang kekasih yang lagi marahan.
"Mas, jadikan transfer duit buat arisan?" suaranya dibuat mendayu-dayu.
"Loh, kalo gak punya duit, kok bisa shopping?" cerca Mas Reza.
"Ini ditraktir teman loh! mana bisa aku beli barang mahal kayak gini."
"Mana ada orang baik macam itu zaman sekarang!"
"Tapi aku gak bohong, Mas!" rengeknya seperti anak TK minta permen.
"Sudah, pulang sana! Langsung pulang ke rumah ya, jangan keluyuran lagi!" tegas Mas Reza mulai menstater motor.
"Mas, kok gitu sih?" tampaknya Ratna merasa diabaikan, lirikan matanya ke arahku sungguh tidak bersahabat.
"Aku sudah mau jalan ini! Minggir," bentak Mas Reza, Ratna tetap tak bergeming. Masih berdiri di depan motor, tak sedikit pun dia menyapaku walau sekedar basa-basi.
"Dasar adik ipar gak ada akhlak!" gerutuku dalam hati. Andai dia bersikap baik, bisa saja aku sendiri yang memberikannya uang dari rekening pribadiku.
"Ah, sudahlah, forget it," gumamku.
"Mas, aku bawa pulang ini ya buat Ibu!" tiba-tiba saja mengambil sekotak donut yang kutaruh di bagasi depan motorku.
"Eh, itu punya andine," tegas Mas Reza.
"Gak pa - pa, bawa aja buat Ibu," selaku, membiarkan wanita ini mengambil donut itu, Ratna nyelonong pergi tanpa terima kasih.
Akhirnya motor melaju tanpa hambatan, hingga antri di tempat bayar parkir. Di sebelah sana, sebuah mobil jenis mini bus juga berhenti membayar parkir, terdengar suara cekikikan perempuan yang sedang bercanda ria sambil makan donut.
"Itu Abangmu yang ganteng kan?" tunjuk salah satu temannya ke arah Mas Reza. Ratna mengganguk, tak bisa menjawab. Mulutnya penuh dengan donut.
"Jadi itu Kakak iparmu?" temannya bertanya lagi, matanya memindaiku dari atas sampai bawa, sungguh matanya tak beradab.
"Ratna?" mata kami kembali bertemu. Buru - buru dia menutup kaca jendela mobilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Mom's Aish & Elma
lanjut
2021-11-03
0
Mom's Aish & Elma
good
2021-11-03
0