Malu banget!

Deru suara mesin mobil perlahan berhenti di depan rumah sekitar pukul dua belas malam, tak lama kemudian derit pintu dan hentakan langkah kasar di lantai masuk ke dalam rumah.

"Pasti mereka sudah pulang," gumamku, sementara Mas Reza sudah tertidur pulas.

Prakk!

Seperti suara sebuah benda dibanting keras ke lantai, tak hanya satu kali tapi berkali-kali.

"Bikin malu! muka aku mau di taroh di mana?" jerit Ratna, suaranya yang nyaring dan mengomel panjang kali lebar membangunkan Bapak mertua.

"Sudahlah, gak usah dipikirin. Semua sudah terjadi," jawab Reno datar.

"Mas Reno sih, kok, sewa tempatnya gak sampai jam dua belas malam?" Sergah Ratna,

"Ya sesuai budget, Rat," pasrah Reno, adik Mas Reza ini berperangai ramah, sekasar apapun Ratna padanya tetap dia menjawab tenang.

"Tapi gak cuma dua jam, emangnya ulang tahun bocah!" adik iparku makin berang.

"Kamu sih, maksa harus di Hotel bintang lima, mikir dong budgetnya berapa, itu juga sudah sudah pake uang Reno dan pinjaman kredit Bapak. " Geram mama menbuat anak bungsunya bungkam.

"Ada apa sih, berisik banget di luar," sambil mengucek matanya, Mas Reza melangkah keluar kamar dan aku mengekor di belakangnya.

Make up tebal di wajah adik iparku masih awet, rambut panjang berwarna pirang yang berkilau sedikit kusut dan diikat ala ekor kuda. Senyum angkuh dan bahagianya tidak lagi sesumringah seperti saat pesta di hotel tadi, kini duduk terpaku dengan wajah kusut.

"Ratna kenapa?" tanya Bapak mertua.

Semua terdiam beberapa saat, Ibu mertua memijit keningnya. Reno sibuk merapikan bungkusan kado yang berserakan di lantai, disusunannya dengan rapi mulai dari ukuran Besar hingga ukuran mini.

Sepertinya Ratna habis mengamuk, raut wajahnya mengerikan dan dress off shoulder seksinya kini ditutupi jaket milik Reno, keadaan di ruang keluarga rada - rada panas di tengah dinginnya malam.

"Ada sedikit salah paham tadi di Hotel," Reno membuka suara.

"Oh," singkat lelaki yang sudah hampir pensiun, beranjak kembali ke kamarnya, wajahnya kini murung.

"Gak apa - apa, kok, Pa. Bukan masalah besar, Papa lanjut istirahat," lanjut Reno datar, Ratna yang mendengar jawaban kakaknya melotot saat mendengar kata "bukan masalah besar".

"Ma, Reno, baiknya istirahat dulu, pasti capek banget." usul Mas Reza, tanpa melihat ke Ratna yang lagi merajuk.

"Tapi Reza, adikmu la - "

"Ratna sudah besar, Mah. Dia tahu harus ngapain. istirahat saja, Ma," potong Mas Reza meminta mamanya agar segera istirahat.

"Lain kali bikin acara sesuai budget saja, kalo gini kan malu sendiri, Emang seberapa penting sih ngerayain ulang tahun. Mikir dong! Jangan cuma mikirin penampilan dan penilaian orang lain, gak ngaruh tahu!" Hardik Mas Reza, geram melihat kelakuan Ratna yang makin menjadi - jadi. Perangai Mas Reza berbanding terbalik dengan Reno, suamiku ini orangnya frontal dan tegas.

"Tapi Kak, maunya kayak sahabat - sahabat aku, Bulan lalu Sheila ngerayain ultahnya di Hotel bintang lima juga, Mirimar malah booking resort. Masa iya saya pasang tenda depan rumah! bisa - bisa mereka gak mau berteman sama aku lagi!" air mata adik Mas Reza mulai berjatuhan di pipinya yang licin dan glowing, dan perlahan membentuk garis tak beraturan berwarna hitam akibat maskara yang mulai luntur.

"Nah, ini nih yang bikin kamu jadi begini. Kamu salah gaul! salah pilih teman!"

"Mereka sahabatku!"

"Sahabat itu menerima keadaan kamu apa adanya, bukan malah maksa ikut - ikutan seperti mereka," suara Mas Reza mulai melemah, tak ketus lagi.

"Tapi aku malu!"

"Malu kenapa? Karena keluarga berpenghasilan pas - pasan?" Mas Reza setengah berbisik agar tidak kedengeran orang tuanya. Menjaga perasaan mereka pastinya.

"Mas! sudahlah, biarkan Ratna istrahat dulu," aku menarik tangan Mas Reza agar kembali bke kamar. Ratna menatapku sinis, tapi aku tak peduli mau suka atau tidak yang jelas aku berada disini karena ikut suami.

Reno memastikan semua pintu sudah terkunci lalu masuk kamarnya, kami pun kembali ke kamar setelah Mas Reza memadamkan lampu ruang keluarga, tinggallah Ratna sendiri di dalam kegelapan.

Tak lama kemudian, pintu kamar Adik iparku itu terdengar dibanting. Rupanya dia juga masuk kamar. Kata Mas Reza, Ratna itu takut gelap. Di ulang tahunnya yang ke dua puluh tidak membuatnya makin dewasa.

***

Tawa cekikikan dari luar terdengar nyaring, rupanya Ratna sudah melupakan kejadian tadi malam. Mama, Reno dan Ratna kini berkumpul di ruang keluarga, mereka sibuk membuka kado.

"Wah, bagus banget nih. Pasti harganya mahal banget," ucap adik iparku kegirangan, sambil memasang perhiasan di tangannya.

"Boleh dong mama pinjam,"

"Boleh banget, Mah."

" Andine, sini. Duduk sini, pinta Mama mertuaku,"

"Iya, Mah," jawabku menuruti perintahnya.

"Bantu bukain, ya," Mama menyodorkan Beberapa Kado yang rata - rata berwarna pink muda, fanta dan mirabella.

"Siap, Ma!" Ratna melirikku dan tersenyum hambar. "Tumben nih tante - tante tersenyum, biasanya juga monyongin mulut kalo liat aku," gumamku dalam hati, ingin rasanya tertawa tapi takut dikira sinting.

"Pelan - pelan ya bukanya, isinya pasti barang mahal," telunjuknya mengarah ke kado di depanku, matanya berkedip pelan.

aku tak menjawab, hanya tersenyum datar.

"Eh, by the way. Kamu kasih kado apa sih semalam?" tanya Ratna memasang muka gemes, bikin aku pengen muntah.

"Buka aja!" singkatku, aku melirik ke Mas Reza. Suamiku menyungging senyum.

"Ehm, paper bagnya yang warna apa ya?" Ratna mencoba mencari diantar tumpukan kado yang lain. "Bantu cari dong!" lanjutnya lagi.

Entah sengaja atau pura-pura tidak liat, tapi paper bag dengan salah satu brand femes busana muslim berada dekat kakinya.

"Buka yang lain aja dulu, entar juga nemu sendiri." jawabku cuek, aku pun pura - pura tak lihat, matanya melirikku dengan malas.

Beberapa isi kado sudah menumpuk di hadapannya, Ratna berdiri dan hendak membawa barang - barang barunya ke kamar. Saat hendak melangkah kakinya tersangkut tali, dan akhirnya terjatuh. Badannya ambruk dan berbagai macam isi kado itu ikut ambyar, perhiasan berupa manik berhamburan menggelinding di lantai.

"Astaga, hati - hati, Rat - " suaraku setengah berteriak,

"Auh, sakit." Dia mengeluh kesakitan, kakinya masih tersangkut tali.

"Kok, bisa jatuh sih," sosor Mama mertua.

"Mas, bantuin," ucapnya memelas pada Mas Reza.

"Tinggal bangun aja kali," ketus Mas Reza.

Dengan sigap Reno membantunya berdiri, lututnya terlihat memar. Suamiku hanya menonton kemanjaan adik bungsunya.

"Mas bantuin tuh," pintaku pada Mas Reza agar membantu adiknya, tapi tetap saja dia tak bergeser sedikit pun dari tempat duduknya, malah makin duduk santai dengan menyilangkan kakinya. Aku menggeleng melihat tingkahnya.

"Ya ampun, kakiku? Oh no, lecet nih. Bekasnya pasti lama baru hilang. Gak mulus lagi nih kaki. Gak bisa lagi pake dress selutut. Padahal dress gue banyak yang baru belum dipakai," suaranya manja, memegang lututnya sambil menangis tapi air matanya tak keluar.

"Dress kurang bahan dipikirin, cih. Itu tandanya kamu disuruh tutup aurat!" Mas Reza mendecih, Ratna meliriknya kesal.

"Tadi itu apa sih yang nyangkut di kakiku," Ratna mengambil tali yang membuatnya tersandung. Tali paper bag berwarna coklat.

"Astaga, dasar sial!" Ratna melemparkan paper bag tersebut.

"Itukan - " suaraku tercekat di kerongkongan melihat Ratna menghempaskan paper bag yang kubeli sebagai kado ultahnya.

"Itu apa?"

"Itu kado dari kami," Mas Reza memungut paper bag itu dan mengembalikan ke adiknya, dengan kasar dia mengambilnya dari tangan kakak tertuanya.

"Emang isinya apaan sih?" Ratna membukanya dengan malas.

Sebuah gamis dan kerudung model terbaru sesuai usianya berwarna pink pastel, warna kesukaannya.

"What! Are you sure?" pekiknya seakan tak percaya, lalu meletakkan kembali dengan kasar baju dan kerudung baru itu ke lantai.

"What's wrong?" sahutku, tak terima melihat Ratna membuang baju itu ke lantai.

"Kalo gak mau, ya gak usah!" ketus Mas Reza memungut baju dan kerudung yang berbahan lembut itu dan memasukkannya kembali ke paper bag.

"Kok, ngasihnya yang kayak gitu. Emang saya ibu - ibu pengajian," ledeknya.

"Mulai sekarang kamu harus belajar menutup aurat," ucap Reno.

"Ih Kak Reno apaan sih? aku gak mau terlihat kampungan!"

"Dasar! Penampilan aja dipikirin, tapi gak tahu dosa," ketus Mas Reza.

"Huss, Mas gak usah kasar gitu dong," protesku pada Mas Reza, meski dalam hati juga perih dicap kampungan.

"Nih anak harus dikasih pelajaran khusus. Pelajaran perbaikan mental," batinku yang berkecamuk melihat tingkahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!