"Assalamualaikum!" Nadya mengucapkan salam seraya duduk di kursi teras dan melepas sepatunya.
"Bund!" Nadya mengetuk pintu depan karena Bunda Maya yang tak ada di ruang depan.
Mungkinkah bunda kandung Nadya itu sedang pergi keluar.
"Bunda!" Panggil Nadya sekali lagi seraya mencoba membuka knop pintu yang ternyata dikunci sang bunda dari dalam.
"Ish! Bunda kemana sih? Perut udah keroncongan juga," gumam Nadya sedikit menggerutu.
"Walaikum salam! Udah pulang kamu, Nad?" Jawab Bunda Maya akhirnya seraya membuka pintu depan, tepat saat cacing-cacing di dalam perut Nadya akan melakukan demo besar-besaran.
"Bunda darimana, sih? Tidur siang?" Tanya Nadya seraya mencium punggung tangan sang Bunda.
"Mana ada? Bunda lagi di toilet, panggilan alam," jawab Bunda Maya yang malah terkikik. Bunda Maya sudah duduk lagi di belakang mesin jahit dan memulai pekerjaannya.
Sementara Nadya langsung mengambil baju ganti di kamar dan pergi mandi sekalian karena memang sudah sore. Nadya akan mandi kilat saja sebelum memberi makan cacing-cacing di perutnya.
****
"Bund!" Panggil Nadya dari ruang makan yang menyatu dengan dapur, saat Bunda Maya baru selesai menjahit satu daster.
"Apa, Nad?" Sahut Bunda Maya seraya menghentikan aktivitas menjahitnya.
"Tahu isi Nadya kemana, Bund? Perasaan tadi pagi masih banyak." Tanya Nadya seraya membawa piring berisi nasi dan sayur bayam ke hadapan Bunda Maya.
"Dibawa pulang semua sama Pak Teddy. Ternyata beliau suka tahu isi juga seperti kamu, Nad!" Jawab Bunda Maya seraha terkekeh. Berbeda dengan Nadya yang kini merengut.
"Trus Nadya makan pakai apa, dong, Bund? Itu kan tahu isi kesukaannya Nadya!"
"Pakai telur mata sapi kan bisa! Tadi udah Bunda gorengin," jawab Bunda Maya santai.
"Ish! Orang mau tahu isi malah disuruh makan telur mata kebo," gerutu Nadya bersungut-sungut seraya kembali ke dapur.
"Nanti Bunda bikinin lagi tahu isinya, Nad! Tapi kamu belanja bahannya dulu ke Bude sayur!" Seru Bunda Maya pada sang putri.
"Nanti, Bund! Nadya masih capek!" Jawab Nadya ikut-ikutan berseru pada sang Bunda dari dapur.
Begitulah Nadya dan Bunda Maya. Percakapan sehari-hari mereka memang lebih mirip sahabat, ketimbang ibu dan anak. Meskipun hanya tinggal berdua di rumah sederhana ini, namun Maya merasa senang karena Nadya selalu bisa membuat hari-hari Maya penuh canda tawa.
Nadya memang tak pernah mengenal Ayahnya, yang sudah berpulang saat Nadya masih berada di dalam kandungan. Pagi itu, saat Maya hendak memberitahu Mas Yoga tentang kehamilannya, ayah kandung Nadya itu malah mengalami kecelakaan di depan kampus dan langsung tewas di tempat.
Tentu saja hal itu menjadi sebuah pukulan untuk Maya, mengingat statusnya yang bahkan belum menikah dengan Yoga.
Tadinya, Yoga memang berjanji akan menikahi Maya setelah Maya diwisuda. Namu gaya berpacaran Maya dan Yoga sudah sangat kebablasan, karena bukan sekali dua kali saja Yoga menginap di kost-an Maya.
Mereka juga sudah kerap melakukan hubungan suami istri, dengan dalih saling mencintai dan kelak akan menikah, lalu membangun rumah tangga bersama.
Namun nyatanya, takdir tak pernah berpihak pada Maya. Yoga meninggal sebelum pria itu tahu kalau Maya sedang mengandung anaknya. Dan Maya akhirnya harus menjadi seorang ibu tunggal selama tujuh belas tahun terakhir. Berjuang membesarkan Nadya seorang diri, serta memainkan peran sebagai Bunda sekaligus Ayah untuk Nadya.
Keluarga Yoga tak pernah menerima Maya dan menuduh kalau kehamilan Maya saat itu hanyalah sebuah akal-akalan Maya untuk memeras uang dari keluarga Maya.
Sementara dari keluarga Maya sendiri, bapak ibunya juga marah besar dan mengusir Maya dari rumah. Hingga beberapa bulan Maya hidup sendiri dan bekerja apa saja demi bisa bertahan bersama bayi di dalam kandungannya.
Lalu kabar terakhir yang menghampiri Maya lagi-lagi adalah sebuah kabar pilu.
Kedua orangtua Maya meninggal bersamaan dalam sebuah kecelakaan, saat mereka sedang mencari Maya.
Dunia Maya rasanya benar-benar runtuh saat itu.
Kalau saja tidak ingat dengan perutnya yang sudah membesar, serta calon bayi yang tumbuh di rahimnya, mungkin Maya benar-benar akan menyusul Mas Yoga dan kedua orang tuanya kala itu.
Beruntung Maya masih bisa berpikir jernih kala itu, meskipun rasa bersalah di hatinya tak juga hilang hingga kini dan masih kerap menghantui mimpi-mimpi Maya.
"Dor!"
Kikikan dari Nadya kembali membuyarkan lamunan Maya.
"Bunda melamun terus! Mikirin apa, sih, Bund?" Tanya Nadya kepo seraya mengalungkan kedua lengannya di leher sang bunda.
"Mikirin jahitan. Kapan selesai gitu," jawab Bunda Maya asal.
"Bukannya baru tadi pagi diambil? Mana bisa langsung jadi semuanya? Memang sulap?" Cibir Nadya seraya membolak-balik potongan kain yang hendak di jahit bunda Maya.
"Ya, kali aja bisa. Mungkin kamu mau bantuin Bunda," ujar Bunda Maya seraya terkekeh.
"Tugas Nadya banyak, Bund!" Jawab Nadya mencari alasan.
"Trus tadi kainnya udah dapat?" Bunda Maya mengalihkan pembicaraan.
"Dapat dong!" Jawab Nadya penuh semangat sambil berlari ke kamar. Tak berselang lama, remaja tujuh belas tahun tersebut sudah kembali lagi menghampiri sang bunda.
"Ini kembaliannya, Bund!" Ucap Nadya seraya mengangsurkan sisa uang lima puluh ribuan pada Bunda Maya.
"Kok tumben sisa banyak? Kamu beli kain apa?" Tanya Bunda Maya mengernyit heran.
"Kain buat piyama sama gamis lah, Bund!" Jawab Nadya seraya menunjukkan kain yang tadi ia beli pada Bunda Maya.
"Bagus kainnya. Berapa per meter?"
"Sepuluh ribu yang kain katun. Kain buat gamisnya lima belas ribu."
"Udah gitu yang jual ganteng kayak artis, Bund!" Cerita Nadya dengan mata berbinar.
"Masih kecil, udah ngerti aja cowok ganteng!" Bunda Maya mengusap kepala Nadya dan sedikit terselip rasa takut di hatinya.
Tentu saja Bunda Maya takut kalau Nadya mengikuti jejak kelamnya di masa lalu. Apalagi di usia Nadya saat ini yang terbilang labil dan mudah terpengaruh pergaulan sekitarnya, membuat Bunda Maya benar-benar mengawasi Nadya dan lingkup pergaulannya.
"Nadya udah gede, Bund! Udah mau dapat KTP bentar lagi!" Ucap Nadya yang tak mau lagi dipanggil anak kecil oleh sang Bunda.
"Tetap saja, kau itu adalah putri kecilnya Bunda!" Bunda Maya mendekap Nadya dengan erat.
Ibu dan anak itu berdekapan cukup lama.
"Tadi katanya mau beli bahan buat tahu isi. Nggak jadi?" Tanya Bunda Maya mengingatkan Nadya.
"Eh, iya!"
"Pake uang ini aja berarti, ya!" Celetuk Nadya seraya mengambil kembali uang lima puluh ribuan yang tadi ia berikan pada sang bunda.
"Beli tahu sama wortel saja, Nad! Kubisnya masih ada di kulkas," pesan Bunda Maya pada Nadya yang sudah melenggang ke teras dan memakai sendal jepit motif beruangnya.
"Siap, Bunda!"
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Ashika ruhab
ternyata Bu Maya hamil sebelum menikah...😔 semoga anaknya GK meniru perbuatan ibunya... takut nya kalau zina akan turun-temurun ke anak cucu...😔🤦
2022-01-29
0
Reni Apriliani
suami akupun sama, ayahnya meninggal ketika ibu mertuaku hamil. jadi blm pernah bertemu dan melihat. jaman dulu jrg ada foto, jd blm pernah melihat sama skali.
2021-12-21
0
Alicia Rasendriya
Latar belakang cerita ini sangat berbeda dengan cerita Bunda Dewi yang lainnya,ini seperti kebanyakan yang terjadi di masyarakat dan nama kotanya juga jelas...jdi ingat Masa lalu pas menimba ilmu di Yogyakarta 🥰🥰
2021-11-29
0