The Wedding

Satu hari menjelang pernikahan. Jemima melihat orang berlalu-lalang di sekitar rumahnya. Mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahannya besok.

Aneh, ya. Besok dia menikah. Tapi, tidak pernah sekalipun dia bertemu dengan calon suaminya. Padahal beberapa kali dia mendengar Alek sedang berada di Jakarta.

"This--gonna be a big marriage." Jemima tertawa mendengar pujian Astrid.

"Nenek itu yang membayar semua biaya pernikahan. Aku tinggal duduk manis dan menuruti semua ucapannya. Just like her slave."

"Hey. Are you okay?" Astrid menepuk pundaknya pelan.

"I am okay. Lama-lama aku sudah terbiasa dengan ini semua."

"Terbiasa. Kau benar. Aku juga merasa seperti itu. Terbiasa menemanimu melalui semua yang bersifat rahasia ini." Kedua tangan Astrid memberikan tanda kutip pada kata 'rahasia'.

"Ya. Dan aku berterimakasih untuk itu semua."

Jemima memeluk Astrid dari samping. Selama ini Astrid sudah menjadi teman terbaik untuknya.

"Kita akan lihat, bagaimana rupa dari calon suamimu besok."

Ya. Besok. Dia akan tahu seperti apa Alek itu.

——

Sepeninggal Astrid, Jemima hanya berdiam diri di kamarnya. Membuatnya lebih banyak berpikir tentang langkah besar yang akan dia ambil besok.

Dia tidak pernah bisa merasa nyaman dengan Madam Rowena. Sebaik apapun wanita itu kepada keluarganya, hanya ketakutanlah yang dia rasa setiap kali bertemu dengannya.

Tapi, ketakutan terbesarnya adalah—Dia tidak tahu siapa Alek. Tidak pernah bertemu dengannya. Tidak tahu seperti apa sifatnya. Tidak tahu pekerjaan lelaki itu apa. Sama sekali tidak tahu-menahu tentang calon suaminya.

Yang dia tahu hanya nama. Hanya nama!

Jemima tidak bisa membayangkan dirinya menikah dengan orang asing. Menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang hanya untuk sekedar menyapanya saja tidak mau.

Seolah-olah dia ini mainan. Hiburan bagi mereka yang lebih punya kekuasaan. Mereka bahkan tidak pernah memikirkan perasaannya.

"Kau cukup bertemu aku saja. Karena kau--hanya akan bertemu cucuku ketika hari pernikahan kalian tiba ."

Kalimat yang diucapkan dengan begitu angkuhnya ketika Jemima meminta dipertemukan dengan Alek. Bahkan, selembar foto pun tidak diberikan saat dia memaksa ingin mengenal wajah Alek.

Dia seperti orang kesetanan. Mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan Alek dan keluarganya. Tapi, di internet ada begitu banyak nama Alek tersebar. Dan Jemima bahkan tidak tahu nama keluarga mereka.

Mereka seakan sengaja menutup akses informasi tentang keluarga mereka. Kenihilan ini membuat Jemima semakin frustrasi.

Pernah suatu ketika Jemima berada di titik terendah. Ketakutan atas kehidupan pernikahan seperti apa yang akan dihadapinya menggerogoti pikirannya.

Jemima mengunci diri di kontrakannya seharian. Menangis sekencang-kencangnya seperti orang gila. Meluapkan emosi yang tidak bisa dia tunjukkan di hadapan orang tuanya.

Tapi kemudian, keluarganyalah yang membuatnya tersadar. Wajah Ayah dan Ibunya membayang memberi kekuatan.

Dia teringat senyum bahagia Ibunya atas pernikahan ini. Dia ingat ketika Ayahnya mengetuk pintu kamarnya tengah malam dan membagi kekhawatirannya.

Dan itulah sumber kekuatannya. Satu-satunya alasan yang bisa membuatnya bertahan.

Sama seperti waktu itu. Besok—dia pasti akan bisa melalui ini semua. Karena sumber kekuatannya ada di sana.

——

"Are you ready?"

Jemima memejamkan mata untuk berdoa. Sebelum akhirnya mengangguk mantap dan menyambut uluran tangan Astrid.

Sekali lagi dia melihat tampilan dirinya di cermin sebelum beranjak. Setidaknya dia tidak terlihat seperti pengantin wanita yang tertekan.

"Ayo." Jemima menggenggam erat tangan Astrid.

Ayah ibunya sudah menunggu di luar. Dia tidak ingin terlambat.

Baru saja sampai di depan pintu kamarnya, Jemima berhenti tiba-tiba. Semakin lama detak jantungnya semakin cepat. Napasnya memburu. Tubuhnya bergetar hebat dan mukanya terlihat pucat.

"Astaga, Je. Are you alright?"

Jemima mengatur napas. Mencoba meredakan gemetar hebat yang melanda tubuhnya.

"I can't do this. I can't do this, Astrid. Tolong aku." Tubuhnya limbung. Untung saja Astrid cepat menangkap dan menyandarkannya ke dinding.

"Tenang, Je. Tenang... Atur napasmu." Astrid berusaha menenangkan. "Pernikahanmu akan dimulai kurang dari lima belas menit lagi."

Jemima menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia tiba-tiba saja kehilangan kepercayaan diri. Sementara pernikahannya sudah mendekati menit-menit terakhir.

Mungkin semalam dia sudah berpikir begitu banyaknya hingga tidak tidur. Meyakinkan diri berulang-ulang bahwa dia pasti bisa. Tapi setelah segala sesuatunya berada di depan mata, tiba-tiba saja dia merasa takut.

"Aku takut, Astrid. Takut sekali." Jemima menutupi wajahnya dengan telapak tangan. "Apa yang harus aku lakukan?" Dan dia mulai terisak. Raut kecewa kedua orang tuanya seakan sudah menghantuinya.

"Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup ikuti saja alurnya. Dan semua akan baik-baik saja."

Kali ini bukan Astrid yang berbicara. Jemima menghentikan isakannya dan mengangkat wajahnya pelan.

Seorang lelaki dengan mata sehijau zamrud berdiri di hadapannya. Rambutnya ikal kecokelatan. Gurat-gurat keras di rahangnya menandakan lelaki ini seorang pekerja keras.

Jemima terpesona. Sampai-sampai dia tidak bisa mendengar langkah kaki lelaki itu mendekat.

Tatapan lelaki itu menusuk matanya. Jemima bisa merasakan ketika tangan lelaki itu menghapus jejak air mata di wajahnya.

"We will do it together."

Lelaki itu kini menggenggam tangannya. Menarik tubuhnya untuk berdiri tegak. Dan kemudian menggandengnya menuju pintu pernikahan.

——

Dia sudah menikah.

Mereka sudah menikah.

Jemima melihat dari kejauhan lelaki yang saat ini sedang bercengkerama dengan para tamu. Lelaki yang menggenggam erat tangannya selama prosesi sakral tadi berlangsung dan tidak melepaskannya.

"Dia cukup tampan." Jemima menoleh dan mendapati Astrid memberinya satu gelas minuman berwarna merah.

"Bersulang untuk pernikahanmu, Je. Selamat, kau seorang istri sekarang."

Mereka mendentingkan gelas dan meneguk cairan berwarna merah itu sampai tandas.

"Kau baik-baik saja sekarang?" Astrid mengambil gelas kosong dari tangan Jemima dan menyerahkannya kepada pelayan yang sedang lewat.

"Setidaknya aku sudah tidak gemetaran."

"Dan ini semua karena dia." Tatapan mata Astrid beralih ke sosok yang sejak tadi Jemima pandangi.

"Ya. Harus kuakui dia berhasil membuatku merasa—nyaman."

"Aku bisa melihat itu, Je. Semoga saja rasa nyaman itu akan berlangsung selamanya."

"Tentu saja. Aku bisa pastikan itu." Tiba-tiba saja lelaki yang mereka bicarakan sudah ada di samping mereka.

"Aku bisa pastikan bahwa istriku—akan selalu merasa nyaman di dekatku."

Lelaki itu—tanpa aba-aba menarik tubuh Jemima mendekat. Dan langsung mencium bibirnya dengan mesra.

Terpopuler

Comments

ARA

ARA

untung ganteng ya Ke..jadi ga nyesel" amat😁😁😁

2020-09-28

2

Rizky Dawiyah

Rizky Dawiyah

visual nya dong ..

2020-02-14

2

Tri Indry Yanti

Tri Indry Yanti

main cipok aja bang alex neeh🤣🤣

2020-02-12

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!