Love is not a game nor the marriage.
Prinsip ini yang selalu Jemima pegang. Ketika dia menikah, dia harus menikah karena cinta. Tetapi kenyataan berkata sebaliknya. Kali ini dia terpaksa menikah tanpa cinta.
Jemima mematut dirinya di cermin. Gaun pengantinnya sangat cantik. Berwarna keemasan tanpa hiasan. She wants it to be simple. And she got it.
Hari ini jadwal fitting gaun pengantin. Pernikahannya tinggal dua minggu lagi.
"You look beautiful." Astrid masuk ke kamar ganti tanpa permisi.
Jemima menatap sahabatnya dari cermin.
" I know." Mereka berdua tertawa.
" So—Two more weeks, Je."
Jemima tersenyum kecut menyadari kegelisahan wanita yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP itu.
" I'll be okay, Astrid." Jemima menepuk bahu sahabatnya dan berjalan keluar bilik.
"Oh. You look so beautiful, Darling." Madam Griffin berjalan ke arahnya. Ia memutar-mutar tubuh Jemima.
"Apa ada yang kurang?" tanya wanita itu.
"Tidak. Aku menyukainya. It just—perfect."
Jemima melihat Astrid menggelengkan kepalanya tak percaya. Mungkin ia kesal mendengar jawabannya.
"Well. Alek juga mengatakan hal yang sama. Dia menyukai jasnya."
Mendengar nama calon suaminya disebut membuat Jemima menghela napas. Sampai saat ini mereka belum pernah bertemu. Tidak juga saling berkirim pesan.
"Jadi—dia juga sudah mencoba pakaiannya?" Sebisa mungkin Jemima berusaha tenang saat menanyakannya. Padahal sejak nama lelaki itu disebut, jantungnya seakan menggedor-gedor ingin keluar.
"Ay!" Madam Griffin menjawabnya sembari memeriksa gaunnya.
"Jadi dia juga sudah mencobanya di London. I see." Jemima bergumam pada dirinya sendiri.
"London?" Madam Griffin menghentikan pekerjaannya dan menatap Jemima dengan kening berkerut. "Dia mencobanya di sini. Tadi pagi lebih tepatnya. Dia tiba sejak semalam di Jakarta."
——
Mereka berdua duduk di meja sudut Coffee Bean. Jemima dengan secangkir hazelnut panas dan Astrid dengan iced americano. Keduanya sama-sama tinggal separuh.
"Kenapa memaksakan diri, Je?" Astrid mencoba bertanya dengan halus. Tapi, Jemima tahu, wanita di hadapannya ini sedang meredam emosi.
"Because I have to."
"No. You don't ! Kau hanya tinggal memilih. Jelaskan pada orangtuamu. Mereka pasti mengerti."
Jemima menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Masalahnya tidak sesederhana itu, Astrid."
"Yes, it is. Kalau masalahnya berkaitan dengan pekerjaan Ayahmu. Kita bisa mencarikan pekerjaan lain."
"Astrid—kumohon."
"Kau tidak pernah sepasrah ini. Meskipun itu berurusan dengan orang tuamu."
Jemima menutup kedua telinganya. Dia tidak ingin Astrid memengaruhi pilihannya.
"Ada yang kau sembunyikan, Je."
Astrid tahu. Jemima selalu saja tidak bisa berbohong darinya. She knows her too deep.
"Hanya perasaanmu, Astrid." Jemima masih saja mencoba menutupi.
"Kau benar-benar tidak akan memberitahuku, Je? Hanya segini arti persahabatan kita bagimu?"
Astrid memberesi barang-barangnya. Dia sudah berdiri ketika Jemima tiba-tiba saja mencekal lengannya. Memintanya untuk duduk kembali.
"Ya. Ada sesuatu yang tidak aku ceritakan kepadamu."
——
Malam ini malam terakhir mereka berdua di London. Hampir semua tempat di sudut kota ini sudah mereka kunjungi.
Tengah malam, Jemima dan Astrid baru akan kembali ke hotel. Mereka menyewa hotel di sekitar Westminster.
Astrid mengajak Jemima berjalan lebih cepat. Dia kelelahan dan ingin segera merebahkan tubuh di kasur hotel.
Beberapa blok sebelum hotel, Jemima mengatakan dia ingin mampir sebentar di mini market.
"Ada sesuatu yang harus kubeli, Astrid. Kembali saja ke hotel terlebih dulu. Nanti aku menyusul."
Jemima menyerahkan key card kamar mereka ke Astrid. Berhubung Astrid sudah sangat kelelahan ia pun mengangguk dan meninggalkan Jemima.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Jemima keluar mini market dan kembali ke hotel. Beberapa saat setelah dia keluar dari mini market, seorang laki-laki menabraknya.
"Hei! Hati-hati kalau berjalan." Jemima berjongkok memunguti barang-barangnya yang berserakan.
"Tolong. Tolong aku." Jemima mendongak dan keget melihat wajah lelaki itu babak belur.
"Ya Tuhan. Ke—kenapa dengan wajahmu?" Jemima melihat ke kiri kanannya. Tidak ada siapa-siapa. Insting kewaspadaan dalam dirinya tiba-tiba muncul.
"Mereka memukuliku. Mereka ingin membunuhku."
Jemima menelan ludah. Dia harus segera pergi dari sini. Pelan-pelan dia berjalan mundur meninggalkan lelaki asing ini.
"Jangan lari ke arah sana. Mereka akan membunuhmu juga. Mereka itu mafia. Mereka pembunuh!"
"Okay. I think this is too much,Sir."
Mafia. Yang benar saja. Orang ini pasti sudah gila.
Jemima tidak menggubris lelaki asing itu dan setengah berlari kembali ke hotel. Baru beberapa langkah dan dia kembali bertabrakan dengan orang lain.
Jemima tidak berani melihat. Dia meminta maaf sambil menundukkan pandangan. Saat ini dia benar-benar ingin kembali ke hotel.
"Kau menghalangi jalan kami, Nona." Suara itu bukan berasal dari seseorang di hadapannya.
Akhirnya, Jemima memberanikan diri mendongak--lagi.
Ya Tuhan. Ya Tuhan. Ya Tuhan.
Untuk pertama kalinya, hanya dalam waktu beberapa menit, dia menyebut nama Tuhan berkali-kali.
Matanya menangkap lima sosok lelaki berjas hitam. Semua lelaki ini juga memakai kacamata hitam.
"Dia sudah pergi."
Satu suara datang lagi dari arah belakang. Enam. Kini jumlah mereka enam. Jemima membeku. Kakinya seakan tidak bisa digerakkan.
"You are lucky this time, Young Lady. Kalau tidak--mungkin saat ini kau sudah terluka."
Mulut Jemima menganga. Kali ini bukan suara lelaki yang dia dengar. Wanita. Yang baru saja berbicara adalah wanita. Dan dia mengenali suara itu.
Wanita yang selama beberapa hari ini bertemu secara tidak sengaja dengannya. Madam Rowena.
——
"Dia seorang mafia?!"
"Ssttt." Jemima langsung membungkam mulut Astrid. "Jangan keras-keras, Astrid."
Astrid sewot dan langsung menyingkirkan tangan Jemima.
"Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku? Satu tahun, Je. Satu tahun!"
"Kau sudah tidur saat aku kembali ke kamar hotel. Lagipula--aku merasa kejadian malam itu bukanlah sesuatu yang penting untuk diceritakan."
"Demi Tuhan, Jemima!! Tidak penting kau bilang? Wanita itu—ingin menikahkanmu dengan cucunya."
Astrid mengacak rambutnya frustasi. Dia lalu meneguk kopinya sampai tandas.
"Think, Jemima. Think! Siapa tahu semua ini ada kaitannya dengan kejadian malam itu?"
"Aku pun berpikir demikian. Karena itulah aku tidak berani menolak pernikahan ini."
Jemima menghela napas, kemudian melanjutkan ucapannya.
"Kau tahu apa yang kurasakan ketika 'wanita itu' yang datang ke rumahku untuk melamar? Kejadian satu tahun lalu berkelebat di pikiranku dan aku menjadi paranoid. Aku takut jika menolak, keluargaku yang akan terluka."
Jemima mengatakannya dengan suara lirih namun sarat emosi. Dua butir bening bahkan sudah muncul di kedua sudut matanya.
"Apa yang harus aku lakukan, Astrid?"
"Dia mengancammu?"
"Tidak. Tidak secara verbal. Tapi matanya menyiratkan ancaman itu ."
——
Di belakang meja Jemima, seorang pria menatap kedua wanita itu dengan tertarik. Pria itu memperhatikan gerak-gerik Jemima dan Astrid sejak mereka berdua duduk.
Dengan jarak yang tidak terlalu jauh, dia bahkan bisa mendengar semua peecakapan mereka.
"Kau mengenal mereka?" tanya teman pria itu yang sudah duduk di hadapannya.
Pria itu mengedikkan bahu dan menyesap kopinya perlahan.
"Atau jangan-jangan kau tertarik pada salah satu dari mereka?" Kali ini pria yang ditanya hanya tertawa.
"Well, I guess it's time to go." Pria itu menghabiskan kopinya dengan cepat dan segera beranjak dari kursi. Meninggalkan temannya yang protes karena secangkir kopi yang belum ia habiskan.
Sebelum benar-benar pergi, pria itu sekali lagi melihat ke arah meja yang masih diduduki Jemima dan Astrid. Dengan senyum misterius, pria itu dan temannya pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
ARA
Nenek hebring😁😁😁
2020-09-28
1
Virgo Girl
Pinisirin dgn profil Bang Alex nya. Moga2 bibit unggul punya ya Thor....
2020-09-05
1
istri sahnya Chanyeol
ini novel penuh dngn banyak rahasia
2020-08-12
1