Terdengar suara petir beberapa kali menggelegar di telinga, hingga yang kesekian membuatku ketakutan. Suara hujan tidak bisa memasuki dinding-dinding yang tebal ini. Sosok menakutkan itu mendatangiku perlahan seakan menjelma dalam bayangan. Memojokkan hingga terpojok pada sudut yang sulit melarikan diri. Aku ketakutan setengah mati, sosok itu ingin menangkapku.
Aku hanya bisa membayangkan mati di tangannya atau melawan. Mengumpulkan keberanian sekuat tenaga dan melawannya.
Kuambil pemotong kertas yang tertajam dari benda diantaranya, kuberikan sayatan di wajahnya, bayangan itu menghilang.
Tiba-tiba bayangan itu menjadi semakin besar dan memunculkan wujud yang semakin menyeramkan.
Wajahnya sungguh menakutkan dengan tangan yang penuh darah dan kuku-kuku yang tajam. Sosok itu mencekik hingga meronta kesakitan.
Aku tidak bisa bernapas.
Sekali lagi pemotong kertas ini dihujamkan keperutnya dan berlari menjauhinya.
Aku berlari mencoba membuka kenop pintu itu, dengan napas yang terbatas dan jantung
yang berdebar seakan ingin lepas.
Menoleh kebelakang sosok itu bangun lagi dan semakin kuat. Membuka pintu dengan paksa dan berlari keluar.
Di luar sedang hujan deras terpaksa membasahi seluruh tubuh, aku berteriak minta tolong dengan kencang. Tidak ada yang mendengar, tetap berlari hingga kelelahan.
Berlarilah terus jangan sampai sosok menakutkan itu menangkapku.
Aku melihat ada rumah yang terbuka pintunya dan kumasuki segera. Kukunci pintu itu agar sosok itu tidak dapat mengejar. Sambil mengatur napas agar sedikit lega.
Menyandarkan diri yang lemas kepada pintu yang tertutup. Dalam gelap memandang sekeliling, dimanakah aku berada.
Ruangan gelap ini sangat menakutkan, aku tidak suka dengan gelap. Namun, sepertinya aku mengenal bagian rumah ini, rasanya pernah kesini waktu kecil.
Aku mengingatnya.
Saat itu aku melewati rumah ini dan Pak Abi memanggil namaku, merayuku untuk masuk dan membawakan buku cerita untuk mengetes bacaanku.
Aku sudah menolaknya, hanya saja Pak Abi mengatakan sesuatu yang membuatku gusar.
“Mamamu bilang kamu sampai sekarang belum bisa baca, coba sini om kasih lihat apa benar
kamu sudah lancar bacanya?”
Karena perkataannya membuatku ingin menunjukkan kalau aku sudah bisa membaca.
Pak Abi menaruh buku bacaan itu dilantai, aku mengikutinya dan mulai membaca. Lalu. aku
ditindihnya dan perbuatan kejinya, aku masih ingat.
Tidaaaakkk!
Pergiiiii!
“Aku tidak ingin mengingatnya!” tersungkur kelantai.
Aku menangis, menjerit dan menangis karena akhirnya ingatan ini muncul kembali. Setelah sekian tahun aku menguburnya didasar memori terkelam. Aku ingin membuangnya dan tidak mengingatnya lagi.
Aku membencinya, bahkan ketika dirinya bertamu kerumah bersama istrinya dan mencoba menjabat tanganku. Jika aku menolak untuk bersalaman, orangtuaku akan menegur, menganggap sebagain anak yang tidak tahu sopan santun. Padahal dialah orang yang sudah menghancurkanku.
Bagaimana perasaanku saat itu, sangat hancur. Muak melihat senyuman palsunya. Mereka tidak tahu jika aku sedang berjuang untuk melupakannya.
Di belakangku terdengar ada yang memanggil namaku. Aku menolehnya. Ternyata Pak Abi yang
berdiri di sana, dengan wajah yang menua dengan tongkat jalannya.
“Sedang apa kamu disini?”
Aku hanya berlari kearah pintu ingin meninggalkannya disana.
“Tunggu, apakah kamu mau membantuku untuk duduk,” rayunya.
Aku ragu dan tetap terdiam memaku membelakanginya.
“Tolonglah, kasihan dengan orangtua sepertiku!”
Akhirnya hatiku terketuk dan merasa kasihan dengannya yang tidak sanggup berjalan sendiri. Dirinya sudah tua dan tidak mungkin bisa melakukan hal-hal keji yang pernah dilakukannya padaku.
Aku mendekatinya dan mencoba membopohnya kesebuah kursi. Matanya menatapku dengan senyuman yang aku tidak mau melihatnya. Senyuman kemenangan yang membuatku sangat jijik.
“Kamu sudah besar dan tambah cantik!”
Mendengarnya mengatakan itu, aku melepasnya dengan kasar kedalam tempat duduk itu. Aku
meninggalkannya dalam kegelapan.
“Kamu mau membacakan cerita untukku?” sembari tersenyum ciri khasnya yang licik.
Aku mendengar tawanya.
Langkahku terhenti seakan langit ini runtuh. “Bajingan” itu sengaja melakukannya untuk
membuatku lebih tersiksa.
Amarahku memuncak, aku mendekatinya dengan cepat dan mengambil tongkatnya dengan paksa, memukul kepalanya dengan itu. Hingga orangtua itu terjatuh kelantai menahan kesakitannya. Tongkat itu terbelah rusak parah.
Braaaag!
Aku pikir luka dikepalanya akan membuatnya pingsan, ternyata .…
“Hahaha.” ******** itu tertawa dengan puas.
“Kenapa kau tertawa dasar ******** tengik.” sahutku emosi.
“Aku yakin kamu kesini karena menyukainya, karena merindukannya hahaha!”
Emosiku tidak terbendung lagi dan mencari sesuatu untuk melukainya. Aku melihat pemotong kertas yang sama diatas meja kayu itu. Aku mengambilnya dan tanpa segan-segan mengenai wajahnya.
“Sakit, jangan-jangan kamu lakukan itu, wajah ini sangat berharga hahaha.”
Pemotong kertas itu semakin bekerja diluar kendali diriku. Melukai seluruh tubuhnya tidak ada tempat yang tidak ada luka sayatan. Hingga mengalir darah dari luka-luka itu. Aku melihatnya meminta pertolongan. Sedangkan aku hanya
melihatnya kesakitan dengan tertawaan.
“Mana tawamu, mana?” sembari menendang bagian tubuhnya yang sudah lemas berlumuran
darah
Hingga akhirnya aku meninggalkannya dalam keadaan mengenaskan. Mati sendirian.
***
Hari sudah pagi dan aku terbangun karena suara pintu yang diketuk keras oleh seseorang diluar. Mimpi buruk tadi malam sangat membuatku
keletihan.
Sepertinya aku harus memasang benda yang bisa menangkal mimpi buruk, mungkin itu akan berhasil untukku.
“Enggar buka pintunya, Enggar cepat buka pintunya!”
“Ada apa sih masih pukul 05.00 pagi sudah
berteriak-teriak,” ucapku. Memicingkan mata, menoleh pada jam dinding yang berdetak.
Aku membiarkan suara ketukan itu berhenti dengan sendirinya. Aku sangat lelah dan masih ingin tidur setengah jam lagi, baru akan pergi ke kantor. Namun, ada pikiran yang membuatku teralihkan dan tidak bisa melanjutkan tidur.
“Ya ampun, enggak tahu apa Enggar tadi malam mimpi buruk dan tidak bisa tidur.”
Aku beranjak dari ranjang itu dan membuka pintu. Ibu dan Ayah tidak ada disana. Udara dingin semakin kurasakan karena pintu depan terbuka lebar.
“Apa-apaan ini, pintu dibiarkan terbuka seperti ini,
kalau ada rampok bagaimana?” sahutku yang langsung menutup pintu dan mengarah ke meja makan.
Aku mengambil pouch besar yang berisi air putih dan dituangkan kedalam gelas kaca. Aku sangat haus dan sedikit terasa sakit di tenggorokan. Kuteguk air itu dan tidak mulus masuk kekerongkongan.
Ada yang sakit di leherku, mungkin ini radang tenggorokan. Aku harus ke apotik sebelum berangkat kerja untuk menyembuhkannya.
Terdengar ramai diluar, seperti orang-orang yang berdatangan entah darimana. Aku menjadi penasaran apa yang terjadi sebenarnya.
Ada apa sih?
Sembari melihat keadaan yang sudah ramai dengan kerumunan.
Aku mendatangi tempat yang penuh kerumunan orang dengan piyama berwarna coklat dengan motif karakter boneka beruang yang masih
kukenakan. Tiba-tiba Ibu dari kejauhan mendekatiku.
“Enggar kamu masuk saja enggak usah lihat,” Ibu yang sedikit panik dan ketakutan.
“Memang kenapa sih Bu, tadi aku dibangunin.”
Ibu membawaku sedikit menjauh dari kerumunan dan mencoba menjelaskan kejadian.
“Pak Abi tetangga kita dibunuh tadi malam.”
“Apa?” sontak aku terkejut dan tidak percaya.
“Makanya sekarang kamu pulang saja, siap-siap kekantor, nanti kamu berangkatnya memutar yah!”
Aku hanya terdiam tidak percaya. Terlebih aku melihat Dian temanku dan Mbak Suci dibawa dengan kawalan polisi kedalam mobil.
Peristiwa ini terulang lagi, mengingatkanku pada kejadian kemarin Pak Warih yang dibawa oleh pihak berwajib.
Mimpi burukku menjadi kenyataan.
“Oh tidak apa yang terjadi dengan Dian, Bu?”
“Ibu juga tidak tahu, mungkin dijadikan saksi atau
tersangka, Ibu juga tidak tahu. Sudah sana kamu pulang.”
Memandang Dian dalam mobil polisi dan menoleh kearahku terpancar rasa ketakutan dari sorot matanya. Aku tidak sanggup membayangkannya.
Dian teman kecilku dan tidak mungkin melakukan hal sekeji itu.
“Enggar tanganmu kenapa berdarah?”
Aku terkejut dan melihat ada darah di tanganku.
“Ah ini karena aku memotong kertas dan mengenai tangan.”
“Oh, obati sana dan pulanglah. Ibu mau menemani Ibunya Dian sebentar, pasti sangat syok melihat anaknya dibawa polisi.”
Aku berlalu dan tidak menoleh lagi. Aku berpikir keras darimana noda darah ini berasal. Mencoba mengingat kejadian tadi malam, dan aku tidak bisa mengingatnya. Aku hanya merasa lelah dan tertidur di kamarku sepanjang malam.
“Mungkin aku mimisan tadi malam tanpa sadar.”
***
Korban bernama Abimanyu Sasongko, usia 52 tahun, pensiunan perusahaan swasta, istri telah meninggal lima tahun yang lalu akibat kanker Rahim, tidak memiliki keturunan.
“Apa yang kamu cari Detektif?” sahut Bima, pasangan kerjanya yang masih sering memanggil Dean dengan julukan detektif, sejak bersama-sama terjerumus dalam divisi kriminal berat.
Bima adalah partner Dean sejak tiga tahun lalu, mereka ditugaskan berpasangan. Namun, kecerdasannya memecahkan kasus, Dean mendapatkan promosi jabatan dan pangkat yang lebih tinggi ketimbang Bima.
Tetapi, tetap saja Bima sering memanggilnya detektif. Dean yang memimpin seluruh kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah sektoral pinggiran hingga perkotaan.
Sambil melihat kearah kerumunan yang sedang melihat tempat kejadian.
“Biasanya seorang pembunuh akan hadir diantara kerumunan.” Kapten Dean melihat kesegala arah.
Kapten Dean seseorang yang selalu mengedepankan nalurinya untuk menuntaskan kasus demi kasus. Pengalamannya dalam mencari seorang pembunuh sudah tidak diragukan lagi.
Banyak yang sudah mendekam dipenjara hanya dalam hitungan hari bahkan jam. Namun, kali ini Dean merasakan kasus ini belum pernah membuatnya berpikir sekeras ini.
“Benarkah?” sahut Bima sembari melihat-lihat kearah kerumunan itu.
“Kapten lapor semua sudah beres.”
“Saksi pertama kali yang menemukan korban?” Dean bertanya pada polisi yang mengamankan tempat kejadian dan memeriksa saksi.
Dean masih saja mencari di tengah kerumunan.
“Sudah diamankan,” jawab polisi itu.
“Lalu yang satunya lagi?”
Wanita yang menangis histeris.
Membuat Dean menaruh kecurigaan yang besar terhadapnya.
“Dia sedikit mencurigakan Kapten, tidak ada hubungan apa-apa tetapi menangis histeris ketika tahu yang menjadi korban adalah Pak Abi tetangganya.”
Instingmu cukup baik sersan.
“Ok kabari secepatnya hasil otopsi, kemungkinan ini bermotif dendam. Jangan sampai ada yang terlewat! Paham?”
“Siap Kapten!”
Semua jajaran kepolisian meninggalkan tempat kejadian yang sudah dipasang “garis polisi”. Rumah Pak Abi tidak boleh dimasuki siapapun
karena masih dalam tahap penyidikan.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Adik-adik, jika ada tanda seperti ini atau garis polisi itu artinya tidak boleh ada yang masuk kesini, paham yah, jika ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi, mengerti?” polisi yang mencoba memberikan edukasi.
“Huhu … lagipula siapa yang mau masuk kedalam sana setelah ada kejadian pembunuhan, nanti
hantunya pak Abi muncul hihihi … takut,” seru salah satu warga.
Biasanya rumah itu akan menjadi angker, pandangan masyarakat kebanyakan.
“Ada-ada saja Ibu ini hehehe,” balas Polisi itu. Sambil lalu menggelengkan kepala.
***
Kubasuh tubuh ini dengan air yang mengalir dari shower diatas kepalaku. Merasakan dinginnya hingga ke ujung kaki. Sejenak aku terbebas dari pikiran yang membebani.
Beberapa hari yang kian rumit kulalui. Entah mengapa bertubi-tubi kejadian seperti ini. Senior dan teman masa kecilku terjeruji, dalam lembah yang dalam dan sunyi.
Aku menutup mata dan berharap ini hanya mimpi buruk dan akan segera bangun. Tiba-tiba air mati dan tidak mengalir dari shower.
“Ibu airnya enggak mengalir, habis!”
Aku mencoba menyalakan lagi dan airnya mengalir kembali. Air yang bercampur darah, mengguyuri kepala. Tidak sadar hingga tubuhku
dipenuhi olehnya.
Lantai yang memerah kehitaman hampir menenggelamkanku.
“Ibu tolong aku!”
Mencoba membuka pintu namun darah ini semakin membalutku seperti tali pengekang. Aku terjerat kedasar lantai dengan tubuh yang kesakitan. Sosok menyeramkan itu menyiksaku hingga leher ini ingin putus.
“Enggar, kamu kenapa?” Ibu yang menemukanku dilantai dingin dan basah itu.
Aku melihat sekeliling dan mencermati satu permatu keadaan. Tidak ada darah dan wujud sosok menyeramkan itu. Leherku tidak terjerat sama sekali.
“A-aku terpeleset Bu,maaf sudah membuatmu kaget.”
“Hati-hati dong sayang,” lirih Ibu.
Aku segera berlari kekamar dengan balutan handuk seadanya. Menutup pintu rapat-rapat dan berusaha menenangkan diri. Aku duduk diatas ranjang berusaha berpikir, apa yang sudah merasukiku.
Mungkinkah aku sudah gila dan berhalusinasi. Sebaiknya aku bergegas berpakaian dan pergi kekantor.
Sepertinya kejadian beberapa hari ini mempengaruhiku, itu penjelasanku saat ini.
Datang kekantor seperti biasa aku paling pagi. Terlihat lengang kantor pagi ini, mungkin karena belum ada pejabat pengganti yang akan menduduki posisi mereka yang tertangkap. Kulangkahkan kaki menaiki lift kelantai delapan seorang diri.
Memasuki pintu yang otomatis terbuka sendiri, lorong resepsionis ruangan manager berada disebelah kiri. Sedangkan ruang perpustakaan yang berpintu transparan itu berada lurus setelah pintu otomatis.
Dari kejauhan aku melihat ada seseorang disana yang sedang berada di tempat dudukku. Memasukinya dan seseorang itu sedang asyik
mengetik sesuatu di atas komputerku.
“Siapa kamu?”
“Ah, kamu pasti Enggar? Kenalkan aku Edgar!”
“Kenapa kamu menggunakan komputerku?” sembari mengambil alih komputer darinya
“Ah, maaf tapi aku sudah diizinkan oleh bagian General Affair untuk melakukan pekerjaanku selagi kamu belum datang.”
“Aku belum diberi password untuk menggunakan komputer, jika tidak percaya sebaiknya kamu menghubungi bagian GA.”
Aku terdiam sebentar dan memandangnya.
“Baiklah aku percaya padamu dan kuperingatkan ini terakhir kalinya kamu menggunakan komputerku. Tunggu saja hingga passwordmu
ada, sebelumnya lakukan hal lain seperti merapihkan rak buku dan dokumen berdasarkan koleksi dan pengkodeannya, sisanya biar aku saja.”
“Baiklah, terima kasih aku akan senang berada disini.”
Beberapa hari ini perpustakaan terkesan lebih ramai, karena Edgar orang yang suka bicara. Sedangkan Pak Warih belum tergantikan posisinya.
Pak Wahyu hanya sesekali datang karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan. Hanya menanti sampai masa pensiunnya sekitar dua bulan lagi.
Edgar memasang musik dari ponselnya dengan pengeras suara. Aku sudah memperingatinya bahwa ini perpustakaan. Tidak diperbolehkan
mengeraskan suara, tapi Edgar tidak mendengarkanku.
“Edgar, kecilkan dan sebaiknya kamu menggunakan headset-mu,” bisikku padanya.
“Disini tidak ada orang, lagipula tidak ada yang pernah kesini!”
“Kumohon Edgar, jika nanti Manager datang aku yang akan disalahkan.”
“Kalau begitu kita bersembunyi saja didalam ruang rahasia itu,” sambungnya.
Sembari menarik tangan dan mengajakku berdansa
“A-aku tidak bisa berdansa.”
“Tenanglah, ikuti saja alunan musiknya, semua akan baik-baik saja.”
Gerakanku sangat kaku, namun Edgar selalu menuntunku dan tersenyum. Edgar sangat baik mengajarkanku hal baru yang belum pernah
kulakukan.
“Lihat kamu sudah menjadi ahli!”
“Ah, kamu hanya menyenangkan hatiku saja.”
Gerakannya berubah menjadi bervariasi, Edgar memutar tanganku agar tubuhku ikuti kemauannya.
Tertawa, berdansa dan sedikit menyanyi, ternyata sangat menyenangkan. Aku cukup kelelahan sampai berkeringat, hingga
musik itu selesai Edgar mendekapku dalam pelukannya.
Aku terkejut.
Aku memandangnya yang sedang memandangku, senyumannya sangat manis. Dengan bola mata yang sangat jernih dan berwarna coklat.
“B-baiklah Edgar terima kasih.” Aku menjadi canggung tiba-tiba.
“Sama-sama senior, lain kali aku akan mengajarkan gerakan lain.”
Heem!
Aku hanya berdehem antara setuju dan tidak setuju dengannya.
Melanjutkan pekerjaan dengan menambah koleksi dokumen arsip pada rak yang cukup tinggi. Aku biasa melakukannya karena tangga yang bergeser ini memang diperuntukkan mencapai buku, dokumen yang sulit dijangkau.
Edgar membantuku mengambilkan arsipnya yang sudah diberi kode, sedangkan aku yang menaruhnya dirak.
“Oya Edgar sebelum bekerja disini, kamu dimana?”
“Hmm, aku bekerja paruh waktu dibeberapa perusahaan, tidak ada yang menetap.”
“Benarkah, mengapa?”
“Hmm, karena itu sangat membosankan!”
“Benarkah, aku pikir kamu orang yang sangat teliti dan tidak mudah bosan.”
“Hahaha!”
“Kalau orangtuamu tinggal dimana?”
“Orangtuaku sudah tiada.”
“Maaf, aku tidak tahu.”
“Tidak apa-apa, itu sudah lama. Kalau orangtuamu?”
“Aku masih tinggal dengan orangtuaku sejak aku kecil.”
Tiba-tiba tangga ini bergoyang dan membuat sepatuku terselip dan aku hampir jatuh kelantai. Edgar menahan berat tubuhku agar tidak terjatuh.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Kakiku terselip diantara anak tangga, sepertinya
terkilir sedikit.”
“Jangan bergerak, aku akan mengeluarkannya.”
Edgar menarik kakiku perlahan sambil menahan berat tubuhku, kupikir dia sangat kuat.
“Aku rasa tidak begitu sakit aku masih bisa berjalan.”
“Sepertinya tangga ini sudah tua dan engsel gesernya harus segera diperbaiki, dan baut-bautnya mulai kendor. Aku akan memberitahu seseorang untuk memperbaikinya.”
***
Dukung cerita The Shadow Fears ya di kontes #ceritaseram
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
senja
Edgar bukan polisi kan?
2022-04-02
0
senja
kasian, masih berharap sm Ibunya
2022-04-02
0
senja
miris banget, orang tua kayak jaga image tanpa peduli buah hatinya, anaknya yg dibesarkan n dinantikan kek gak ada harganya dibanding image yg bermuka dua
2022-04-02
0