*Bayangan masa lalu seringkali mengikuti kemanapun aku pergi. Sejauh pun aku melangkah, ingatan itu akan menjadi bayang-bayang yang
tidak akan keluar.
Pikiran yang mencoba paksa untuk melupakannya, akan semakin menjajah hingga binasa. Menghancurkan jati diriku perlahan hingga kosong. Menjadikanku seseorang yang berbeda, yang bukan kehendakku menginginkannya.
Aku hanya bisa memilih untuk memberontak atau berubah menjadi monster, seperti keinginan alam bawah sadar*.
***
Tahun 1980-an
Ketika bel pulang berbunyi nyaring, semua murid keluar serentak dari kelasnya masing-masing. Bel itu seperti suara kebebasan untuk mereka. Masih di kelas tiga sekolah dasar dengan seragam putih dan rok merah menutupi lutut. Dengan lugunya
menyusuri lorong antar kelas dengan tas ransel berwarna pink dengan karakter The Snoopy. Dari belakang seorang teman memanggilnya sejak tadi.
“Enggar, tunggu!”
“Apa?” Enggar berbalik.
“Aku bawa karet, kita lompat tali yuk.”
“Tapi aku harus pulang Dian.”
“Sebentar saja lagipula rumah kita deketan!”
“Hmm … baiklah, sebentar saja yah!”
“Asyik!”
Beberapa teman sudah menunggu di dekat kelas satu untuk bermain lompat tali. Kelas satu dekat dengan gerbang utama sekolah. Mereka berempat asyik bermain secara bergantian. Lalu ada seorang pemuda dengan sepeda roda duanya mendekati mereka yang masuk dari gerbang. Pemuda itu mungkin masih tingkat menengah pertama.
Diatas sepedanya dengan kaki satu di atas tanah dan satunya berada dipedal dan tangan yang melipat diatas dada, seraya menebar senyum kearah anak-anak yang sedang asyik bermain. Anak-anak itu tidak peduli dengan kehadirannya, hingga seorang anak yang memperhatikannya dengan teliti.
“Enggar, kakak itu lihatin kamu terus dari tadi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu.”
Enggar hanya memandangnya sekilas dan melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Enggar hanya berbalik dan meneruskan bermain.
“Kita pulang yuk!”
“Ayuk,” jawab semuanya
“Aku mau ke kamar kecil dulu yah, sudah kebelet nih,” sahut Enggar.
“Ya sudah sana kita tunggu disini yah.”
Enggar berjalan kearah belakang kantin yang berdekatan dengan kamar mandi sekolah.
Enggar tidak mencurigai apapun, dirinya tidak tahu jika pemuda itu mengikutinya dibelakang. Setelah keluar dari kamar mandi, tiba-tiba pemuda itu dengan cepat menyergapnya dan menyingkap rok merahnya dengan paksa dan mendorongnya
kelantai.
Enggar hanya kebingungan dengan kejadian itu. Tidak tahu apa yang terjadi, hingga dirinya merasakan tidak nyaman, mulai menangis. Tangisannya yang kencang hingga seseorang datang. Pemuda itu melesat dengan cepat dan terjatuh hingga penutup kepalanya menyingkap, terlihat ada noda putih di tengkuknya. Pemuda itu melarikan diri dengan sepedanya.
“Kenapa nangis, kenapa?” seorang wanita datang menolongnya.
Enggar hanya bisa menangis. Syok, bingung apa yang harus diucapkan. Wanita itu membawanya masuk kerumah dan memberinya minum teh hangat. Enggar tetap bungkam. Setelah tangisannya reda wanita itu mengantar Enggar kepada temannya yang masih menunggunya.
“Enggar darimana saja, aku sudah bosan disini.”
Masih berbekas noda tangisan diwajahnya.
“Enggar kamu kenapa, koq nangis?” tanya Dian.
Enggar hanya menggelengkan kepala. Enggar tetap bungkam hingga sampai di pintu rumahnya. Enggar terlalu lelah hanya bisa berbaring diatas kasur busa yang tipis di depan televisi. Pintu rumah tidak pernah terkunci karena pada jaman itu jarang ada tindak kejahatan. Mama belum pulang bekerja begitu juga dengan Papa,
sedangkan mbok Darni sudah pulang.
Di atas kasur lipat tipis itu Enggar mengurai lelahnya menjadi mimpi. Tidurnya tidak nyenyak,
tetapi kelelahan yang membuatnya tidak bisa bangun. Enggar bermimpi pemuda itu datang lagi melewati pintu rumahnya yang tidak terkunci dan memandanginya yang sedang terlelap. Melihat sekujur tubuhnya yang mungil, terlihat jelas kakinya yang terbuka.
Pemuda itu tergiur dan mendekatinya, namun entah mengapa ada rasa kasihan dengan anak
kecil itu. Dia hanya membelai rambutnya dan menyentuh bibirnya, lalu mengecupnya. Enggar merasa terganggu dan merasakan sesuatu yang nyata. Enggar terbangun merasakan basah di bibirnya, lalu mengikuti sosok yang berlari kearah pintu dan melihat dari jendela, pemuda bersepeda itu telah menggerayanginya sekali lagi.
"Kamu cantik sekali."
Enggar langsung mengunci pintu itu rapat-rapat dan masuk kedalam kamar Mama dan menguncinya. Entah apa yang harus diceritakan kepada Mama. Enggar tidak sabar menunggu kepulangannya.
Ketika sore menjelang, suara Mama mencoba membuka pintu, namun terkunci.
“Enggar Mama pulang, buka pintunya.”
Dengan tidak sabar Enggar segera membuka pintu itu dan berniat menceritakan semuanya.
“Mah, tadi ada laki-laki masuk rumah kita naik sepeda, terus Enggar diciumnya!”
“Hehe .…” Mama hanya tersenyum mendengarnya.
Mama sibuk menaruh tas dan melepas sepatu pada tempatnya.
Anak ini sedang puber.
“Mah, benar Enggar tidak bohong!”
“Benar Enggar, coba dilihat apa ada yang hilang.” sahut Mama dan sembari mengecek kotak perhiasan dan barang elektronik lainnya.
“Mah, laki-laki itu mencium Enggar!”
“Masa Enggar, kamu tidak sedang berkhayal kan, mungkin itu hanya mimpi.”
Mendengar jawaban darinya hati Enggar seakan teriris, merasa tidak dipercaya dan tidak dibela. Sejak hari itu Enggar tidak pernah menceritakan apapun yang terjadi dalam hidupnya. Enggar merasa tidak ada yang bisa mempercayai perkataannya. Tidak ada yang bisa dipercaya. Enggar tidak menceritakan apa yang sebelumnya terjadi di sekolah, karena itu akan sia-sia saja.
Malam harinya Enggar mendengar Mama bercerita dengan Papa tentang yang diceritakan
Enggar tadi sore. Enggar semakin kecewa karena Mama berkesimpulan bahwa dirinya sedang pubertas. Enggar hanya bisa menangis di kamarnya yang dingin. Seakan kehilangan kehormatannya dengan mudah, kehilangan jati dirinya yang dicap sebagai pembohong, direnggut jiwanya dengan istilah pubertas.
Sebenarnya ada hal yang terjadi disekolah, dan itu menyakitiku. Entah apa yang telah terjadi padaku tadi siang, pengalaman yang sangat menyeramkan. Aku menangis dan semakin menangis mendengar reaksimu setenang itu. Aku bisa mendengarmu dari ventilasi pintu kamarmu yang terhubung dengan ruang cucian. Di tempat inilah aku sering menyendiri agar tidak diketahui ketika aku meneteskan airmata. Kuurungkan niatku untuk menceritakannya.
***
Pencet Like, Rate5, Vote, Tambahkan ke favorit kalian dan komen yang sopan ya )
Dukung The Shadow Fears dalam kontes #ceritaseram
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
muawanah98_
next
2021-09-20
1
Alifa Paramitha
baru baca sampe sini aja udh bikin penasaran sama ceritanya. love thor♥️😁
2021-06-01
0
Spenticom.com ♡
stalkerrrrrr
2021-02-18
0