The Shadow Fears
Gelap, semuanya gelap. Aku merangkak mencari jalan keluar. Mencari secercah sinar yang menuntunku keluar. Hanya suara napasku
sendiri yang terdengar jelas, seperti di dalam kotak yang tersegel rapat.
Aku hanya berada di dalamnya dan hanya terdengar napasku yang tersengal-sengal. Aku benci gelap dan sama sekali tanpa bias cahaya. Mengapa rumah ini begitu gelap.
Perlahan dan pelan, jangan sampai aku menyentuh sesuatu yang menakutkan. Seakan bayangan itu berada mengepungku dari kiri dan kanan. Dan terparah adalah bayangan yang paling menakutkan dan berwajah mengerikan, berusaha mengejar dari arah belakang.
“Ibu, tolong aku.”
Aku tidak sanggup lagi merangkak lebih jauh, ketakutanku mencekik pernapasan. Hingga aku terjungkal dan hilang kesadaran. Jangan biarkan
bayangan itu menangkapku, kumohon. Berikanlah aku cahaya harapan agar aku bisa keluar dari sini. Tetapi kegelapan ini semakin menarikku kearah yang semakin pekat, lekat dan hampa.
“Enggar, kamu tidak apa-apa Nak? Ayah tolong Enggar.” Sembari berteriak memanggil Ayah. Ayah datang melayangkan tamparan-tamparan kecil ke pipi yang memucat dan memeriksa keadaannya yang tidak bernapas.
Mencoba memompa paru-paru dan memberi napas buatan. Usaha itu berhasil. Bangkit dari dunia lain yang menyeretku.
“Enggar seharusnya kamu tidak memperdaya dirimu dengan ketakutan akan gelap, kamu hampir mati hanya karena gelap. Kamu harus berani
Enggar,” pungkas Ayah yang memarahinya ketika tersadar.
“Enggar kamu tidak apa-apa?” Ibu sangat khawatir sambil memeluknya.
“Enggar takut gelap Bu.” Mendekap lebih dalam kepelukannya.
“Maafkan Ibu Nak, mati lampu tengah malam begini. Ayah dan Ibu tidak sadar karena terlalu nyenyak,” lirih Ibu.
“Ibu, boleh Enggar tidur di kamar bersama Ayah dan Ibu?”
“Enggar, kamu sudah SMP. Masa tidur dengan orangtua. Ya sudah tidur lagi ya, Ibu akan ambilkan lampu darurat, tidak akan gelap lagi
sampai pagi.”
“Bagaimana jika baterenya habis Bu?”
“Tidak, Ibu sudah colok sangat lama.”
Memandang wajah Ibu yang sedang merapihkan sisi tempat tidurku. Aku melihat wajahnya yang letih dan kuyu.
“Ibu, apa Ayah marah padaku? Karena aku penakut?”
“Ayah tidak marah Enggar, hanya khawatir padamu. Ketakutanmu ini berlebihan karena di keluarga kita belum pernah ada yang takut seperti ini karena sesuatu hal.”
“Jadi aku aneh ya Bu?”
“Sedikit. Mudah-mudahan semakin besar kamu akan menghilangkan ketakutanmu itu.”
Ibu meninggalkanku di kamar yang semakin dingin itu. Dan pertengkaran itu dimulai … bapak tidak senang tidurnya terganggu karena sikap yang berlebihan menurutnya, ketakutan terhadap gelap.
“Kau terlalu memanjakannya. Ini semua salahmu, sampai kapan dia akan ketakutan seperti ini!”
suaranya meninggi melebihi suara petir yang menggelegar dilangit memecah angkasa.
“Kenapa menyalahkanku terus, kau yang terlalu keras dan menganggap ini kelemahan. Tidak semua anak bisa sekuatmu!” ibu tidak terima dan membalasnya.
“Kelemahan itu menurun darimu, itu sudah sangat jelas seperti adik laki-lakimu yang sampai hari ini masih saja menumpang.” Sembari keluar dari kamar.
“Apa? Tega sekali kau mengungkitnya dan … adikku tidak bersalah, dia lemah berpikir ... sudahlah kau hanya akan semakin membuatku kehilangan rasa kantuk.” Ibu membanting pintu itu.
Sedangkan aku mendengarkan semua pertengkaran itu dengan jelas. Seringkali mereka bertengkar hanya karena kelemahan ini. Semua salahku yang tidak bisa menghilangkan ketakutan terbesar akan gelap.
Menutup kedua telinga dan berpura-pura tidak mendengar apa-apa.
Aku kembali tidur dengan selimut yang dibalurkan menutupi tubuh yang menggigil dan berkeringat dingin. Diluar turun hujan sangat deras dan petir yang menyalak dengan dahsyatnya. Membuatku semakin bergidik ketakutan dan merasakan dinding-dinding yang memunculkan bayangan paling mengerikan,
Detik-detik jam dinding yang berdetak mengikuti alunan musik horor ditelingaku, hingga akhirnya menarik selimut menutup kepala. Mata yang mengintip keadaan dibalik selimut, berjaga-jaga jika ada yang mencoba menangkap. Sebuah pemotong kertas yang kupegang erat, sekiranya ada yang mendekat. Aku tidak segan untuk membela diri.
***
Part 1: Penguntit
Tahun 1985-an
Berjalan ke sekolah bersama temanku Dian. Teman sepermainan karena rumah kami bertetangga dan sekolah kami sejak taman kanak-kanak hingga sekarang selalu bersama-sama.
Entah mengapa aku selalu bersamanya dan tidak pernah bertengkar mengenai apapun. Dian orang yang lincah dan menyenangkan. Teman yang banyak bicara sedangkan aku lebih senang mendengarkan.
Pagi itu seperti biasa aku menghampiri rumah Dian untuk berangkat kesekolah bersama-sama. Dan setiap pagi dan sepulang sekolah aku harus melewati rumah Pak Abi yang membuatku tidak nyaman. Aku berusaha untuk tidak menoleh atau melihat kearah rumahnya, hanya jika terpaksa disapa oleh Ibu Abi yang memanggil namaku. Sekedar berbasa-basi melempar senyuman.
Sebenarnya aku hanya tidak ingin dibicarakan
tetangga sebagai anak yang kurang sopan jika aku tidak membalas sapaannya. Jika itu aku lakukan, pasti Ibu akan mendengar dari obrolan tetangga hingga aku akan dimarahinya. Aku hanya ingin kedamaian tanpa keributan ketika aku pulang dari
sekolah.
Seperdetik lagi langkahku akan menginjak wilayah aspal depan rumahnya. Aku hanya menunduk dan pura-pura tidak melihat. Namun, entah selalu ada bisikan yang membuatku ingin menoleh. Sudut mataku menangkap sesuatu yang bergerak mencurigakan dijendelanya. Akhirnya aku menoleh dengan keraguan. Aku melihat tirai
jendelanya tersibak dan ada sosok yang paling memuakkan muncul disana. Pak Abi dengan senyumannya yang licik seakan mengejekku.
Sontak aku membuang muka dan berlari kecil agar lebih cepat sampai kerumah Dian yang berada disebelahnya. Tanpa basa-basi aku
langsung membuka pagar dan masuk kedalam rumahnya dan memanggil Dian dengan keras.
“Ada apa sih teriak-teriak begitu?”
“Tidak apa-apa, aku tadi dikejar anjing gila.”
“Masa? Mana anjingnya?”
“Yah, sudah pergilah.” Dengan santainya berdalih.
Oh!
Dian membalasnya dengan kepercayaan penuh atas ucapanku.
Kamipun berjalan kaki hingga kedepan perumahan. Ketika memasuki belokan pertama dari blok rumahku, selalu saja aku merasa merinding. Rasanya seperti ada yang mengawasi, ada yang mengikuti. Akupun merasa ada derap
langkah yang terdengar. Aku yakin seseorang itu mengikutiku.
“Eh, dari tadi kenapa sih nengok kebelakang terus?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa, cuma rasanya ….” Aku ragu mengucapkannya.
“Seperti ada yang ngikutin yah?” Dian ingin menegaskan.
“Iya, koq kamu tahu, kamu merasakan juga kan?”
“Tidak. Aku cuma bikin kamu senang saja hihi.”
“Dasar kamu yah, isengin aku terus!”
“Habis kamu tuh kaya curigaan terus, memangnya artis ada yang ngikutin hehe.”
“Ih, kamu. Bukan begitu. Aku takut kalau ada orang jahat!”
“Ya sudah kalau ada orang jahat, kita keroyok
bareng-bareng, bagaimana?”
“Memang kamu berani?”
“Tidak juga sih hehe.”
“Huhu … dasar!”
Lalu kami naik angkot dan setelah menunggu agak lama, menanti hingga angkot ini segera penuh. Datang seorang laki-laki berseragam SMA
menaiki angkutan yang sama. Aku sering melihatnya didalam angkutan ini. Pasti
setelah kami naik, setelahnya laki-laki ini yang naik. Tetapi anaknya sangat cuek dan tidak pernah menyapa bahkan tersenyum. Tapi aku sering memergokinya sedang melihat kearahku dan memperhatikan, namun aku tidak menggubrisnya.
Kehilangan Barang Pribadi.
Ketika pulang sekolah biasanya aku langsung pulang tidak keluyuran kemana-mana.
Jika ada teman yang ingin mengajak untuk bermain, biasanya aku selalu menawarkan rumahku untuk dijadikan tempat tujuan. Aku tidak ingin berada di luar rumah berjam-jam
dan pulang dengan berjalan sendirian.
Aku merasakan kengerian dengan hanya membayangkannya saja. Bahkan Ibu menyukai jika ada teman-teman yang berkunjung
kerumahku.
Biasanya Ibu bersemangat untuk mengeluarkan seluruh stok cemilan yang ada. Terkadang memasakkan kami hidangan ataupun memanggilkan tukang dagangan yang lewat depan rumah.
Namun, sepertinya teman-teman bosan jika di rumahku terus. Akhirnya aku tidak pernah ikut jika mereka ada rencana bermain. Lagipula aku
tidak terlalu bisa mengerti percakapan mereka. Aku hanya tersenyum, mendengarkan dan tertawa sedikit jika ada yang lucu. Selebihnya hanya diam
saja. Seperti itulah aku.
Hingga suatu siang aku menyadari sesuatu, celana dalam dan minisetku tidak ada dilaci pakaian dalam. Aku mencarinya keseluruh lemari
pakaian dan dijemuran belakang tidak ada. Padahal pakaian dalam itu sangat kusukai karena itu pakaian dalam termahal yang pernah dibelikan Ibu. Sangat nyaman dan sangat indah kupakai.
“Ibu. Ibu, apa Ibu melihat pakaian dalamku yang berwarna pink itu?”
“Tidak. Ibu tidak lihat. Lagipula pakaian itu tidak
pernah kamu kenakan, padahal Ibu membelikannya dengan harga yang mahal.”
“I-iya. Aku hanya memakainya sesekali dikamar. A-aku hanya sayang untuk mengenakannya keluar,” Padahal aku sangat malu untuk mengenakannya, itu terlalu indah dan aku takut orang lain melihat keindahan itu.
“Coba tanya mbok Darni sana!”
“Mbok tadi pagi cuci kepunyaan mbak Enggar. Mbok tinggal sebentar untuk membalik gorengan, eh koq waktu disetrika tidak ada dijemuran.”
“Berarti diambil orang Mbok?”
“Kayanya mbak Enggar, mbok juga kurang tahu,”
“Ya sudah Mbok,” ujarku berpikir keras. Apa mungkin ada orang yang mengambilnya?
Rasanya aneh sekali baru kali ini aku kehilangan barang pribadi. Padahal sebelumnya belum pernah ada kejadian seperti ini. Lagipula mbok
Darni tidak mungkin mengambilnya, untuk apa, anaknya bertubuh besar semua tidak mungkin cukup memakainya.
Mbok Darni tidak pernah berbohong apalagi melakukan pencurian dirumah ini. Aku percaya pasti ada orang lain yang mengambilnya.
***
Setiap tengah malam ketika jam burung hantu diruang tengah berbunyi.
Kukuk!
Kukuk!
Kukuk!
Selalu saja datang langkah kaki yang mendekati
pekarangan rumah. Aku yakin ada orang di luar jendela kamarku. Derapnya sama seperti malam-malam sebelumnya. Bahkan suara napasnya yang menghela seperti menahan sesuatu.
Aku pernah mengintipnya dari jendela namun hanya sosok gelap seperti bayangan yang kulihat. Makanya aku selalu menyalakan lampu kamar
dan tidur dalam keadaan menyala, meskipun itu pada siang hari. Bayangan gelap itu seperti menungguku atau seperti inginkan diriku.
Aku pernah mengatakan ini kepada Ayah, namun bayangan itu tidak ada apalagi sesosok manusia. Aku tidak pernah lagi menceritakannya kepada
Ayah dan Ibu karena mereka sudah menganggapku sangat berlebihan. Aku hanya bersembunyi didalam selimut hingga tertidur.
***
Pencet Like, Rate 5, Vote, Tambahkan ke favorit kalian dan komen yang sopan ya )
Dukung aku di kontes #ceritaseram
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Sang
titip jalan pulang ya Thor 😁😁
2022-03-19
0
Rinuz Nahak Helly
keren kalo jdi film thriller
2022-03-14
0
muawanah98_
kayanya seru ceritanya, lanjut
2021-09-20
1