Berjalan keluar dimalam hari, terasa sangat gelap dan sunyi. Meskipun masih banyak orang-orang dan kendaraan yang melewati jalan ini, aku merasa seperti ada yang mengikuti, ternyata bayanganku sendiri begitu menakutkan. Sesosok yang tidak pernah kukenal ataupun kuajak bicara. Entah mengapa selama ini mengikutiku, yang tidak pernah memberinya keuntungan apa-apa.
Kenapa kau masih setia, berjalan di belakangku. Menemani kemanapun aku pergi. Namun, aku cukup kecewa padamu yang tidak bisa melindungi
disaat orang-orang jahat itu mengambilnya. Apa untungnya untukku dan apa untungnya untukmu. Jangan selalu mengikutiku jika tidak bisa membantuku.
“Enyahlah!”
“Mulai hari ini, kau tidak diperlukan lagi. Jadi
menyingkirlah dari sisiku.” Sambil menunjuk pada bayanganku sendiri.
Aku tidak peduli dengan pandanganmu, dan cara melihatmu tentang kelakuanku ini. Biarkan semua orang menganggapku gila daripada tidak dianggap sama sekali. Mana yang lebih kasihan, tidak ada atau ada. Tentu saja aku ingin dianggap ada daripada tidak ada. Ada dan tiada, ada dan tiada, ada dan tiada.
Hingga mereka yang melihat hanya menjauh dari dirinya dan beranggapan aneh.
Wanita itu sudah gila.
***
Keesokan harinya.
Aku sudah sampai di kantor pagi sekali, namun ternyata tidak sepagi itu. Ketika memasuki pintu utama sudah ramai dengan orang-orang berpakaian khusus dengan label nama, persis dengan orang yang tadi malam menyita kantong-kantong kertas itu. Situasi sangat membingungkan karena semua terlihat sibuk dan panik. Meskipun aku tahu semua orang di gedung ini sudah mendapatkan bocoran bahwa hari
ini akan ada audit besar-besaran.
Ada yang memangil nama disaat pikiranku sedang kosong. Orang itu yang tadi malam
ada di perpustakaan. Memanggil dengan gestur memerintahkanku untuk mendatanginya. Jemarinya menunjukku dan memerintahkan untuk mendekat. Aku berjalan seperti terhipnotis mengikutinya. Aku menoleh kearah Pak Warih yang di bawa oleh beberapa orang kedalam mobil mereka.
Bulu kudukku merinding melihatnya, apakah aku yang selanjutnya.
Masuk kedalam lift bersama dua orang yang menjaga dengan senjata laras panjang berseragam seperti polisi khusus lengkap dengan helm anti pelurunya dan dua orang di depanku berpakaian rapih dengan label nama yang tidak asing lagi bagiku. Mereka terlihat menakutkan. Sepanjang menaiki lift ke lantai lima tidak ada suara ataupun gesture di antaranya. Aku merasa terintimidasi dalam situasi sekarang ini.
Aku diperintah mengikutinya kesebuah ruangan rapat. Di sana aku melihat beberapa direksi dan kepala cabang serta wajah yang kukenali. “Pak Hari” sudah terduduk seperti pesakitan. Mereka sedang dicecar pertanyaan dan menjawab dengan wajah ketakutan. Aku tidak dibiarkan satu ruangan dengan mereka. Entah mengapa mereka sengaja membawaku untuk melewatinya. Mungkin agar mereka bisa melihatku sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki.
Kunci dari rahasia penting.
Aku mencoba berpikir keras, apa maksud mereka membawaku. Sedangkan aku hanya seorang
perpustakawan. Di mana seseorang yang tidak punya posisi penting apalagi terlibat dalam permasalahan perusahaan. Aku hanya seseorang yang terlupakan bahkan tidak pernah diajak makan siang ataupun ketika perayaan kantor.
Ruangan yang dituju adalah ruang asisten yang lebih kecil. Ruangan itu disulap menjadi ruangan investigasi dengan meja berhadap-hadapan seperti ruang investigasi dalam film aksi. Hanya saja ruangan itu tanpa kaca dan tanpa ruangan gelap disebelahnya. Akhirnya aku diperintahkan untuk duduk disana, sendirian.
Udara seakan lembab dan dingin, bahkan lebih dingin. Aku rasa mereka sengaja melakukannya karena ini akan membuatku semakin gugup dan mereka bisa dengan mudah melihat perilakuku yang jujur atau sebaliknya.
Aku tidak bisa menutupi kegalauanku, hingga kaki dan tangan ini bergetar hebat. Bahkan aku ingin menangis sedari tadi.
Aku hanya ingin segera pulang dan melupakan kejadian ini. Bisakah mereka tidak mendiamkanku lebih lama lagi. Aku hanya ingin menyelesaikan secepatnya. Tiba-tiba lampu ruang yang persis diatas kepala mati dan menyala sendiri, mati
dan menyala beberapa kali. “Mati”.
Dari balik cahaya gelap itu terdengar suara yang menyeramkan, seakan memanggil namaku.
“Enggaarr …,” berbisik jelas.
“Pembohong, Enggar pembohong … hihihi.”
“Siapa kau?” panggilan itu seakan mengelilingiku.
Aku mencari suara itu.
“Aku bukan pembohong!” aku berteriak pada suara bisikkan itu.
*Dasar pembohong!
Pembohong!
Kamu pembohong*!
Semakin jelas kurasakan, suara itu berada di kolong meja ini, seakan menungguku untuk
menyapa. Kakiku bergetar, aku takut melihat kebawah.
Kupejamkan mata rapat-rapat, ada yang menatapku di balik meja ini. Suara napasnya terasa terdengar, aku tahu ada sesuatu di balik meja ini. Aku bisa merasakannya, semua bulu kudukku merinding.
Bayangan hitam dan mata yang merah menyala seakan tertawa menantiku untuk di tangkapnya.
“Hihihi” suara itu mentertawakanku. Aku mencoba membuka mata dan melihat ada apa di sana. Aku melihatnya dan ternyata tidak ada apa-apa.
Mungkin ini karena aku sangat ketakutan sembari mencoba mengatur napas.
Apa yang mereka inginkan dariku?
Mencoba mengatur napas perlahan untuk kesekian kalinya.
Setelah setengah jam menunggu akhirnya seseorang dengan jas biru gelap memasuki ruangan yang beku ini. Wajahnya tidak menyeramkan, tidak seperti bayanganku.
“Maaf sudah menunggu lama.”
Aku menggigil kedinginan.
“Apa kamu kedinginan?”
“I-iya.” sembari meringkuk diantara kedua lengan yang bersidekap di atas dada.
Lalu penyidik itu mengecilkan suhu dari pendingin ruangan dan kembali duduk di depanku.
Pasti saat ini dia sedang memainkan peran menjadi penyidik yang baik.
“Kamu Enggar, karyawan paruh waktu, sudah bekerja selama dua tahun, bekerja dari shif
pagi pukul 07.00 hingga pukul 03.00, benar?” bertanya tegas.
“Iya.”
“Siapa lagi yang bertugas diruangan perpustakaan?”
“Ada Pak Wahyu dan Pak Warih, senior saya.”
“Kemarin, kalian bertiga hadir?”
“Hanya Pak Wahyu yang izin sakit.”
“Kenapa setelah shif kamu selesai masih diperpus?” pertanyaan yang tiba-tiba.
Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan membuatku terkejut.
Serangan mendadak.
“S-saya … saya.”
Penyidik tersenyum licik seakan sudah menangkapku dalam perangkapnya.
“Saya membantu pak Warih untuk menghancurkan dokumen pak!”
“Dokumen apa itu?” sambil meletakkan kedua lengannya diatas meja dan menatap lurus padaku.
Jantungku berdebar tidak menentu, seakan tubuhku menjadi panas akibat aliran darah yang
memompa dengan cepat.
“Saya, tidak tahu pak.”
“Jangan bohong!”
Aku benci orang yang mencapku sebagai pembohong.
Aku menatap matanya dengan penuh kebencian, menundukkan kepala dan menatapnya sekali lagi.
AKU BUKAN PEMBOHONG.
“Hei jawab! Ditanya melamun,” cecar penyidik internal itu.
“Saya, saya tidak bohong pak, saya hanya diperintahkan untuk memusnahkan dokumen tanpa membaca dan melihatnya.”
Penyidik itu diam sejenak sambil memandang mataku seakan menelanjangi. Seakan ingin
melihat diriku lebih dalam, apakah aku berbohong atau tidak. Lalu mengambil dan membuka laptop yang di bawanya, memperlihatkan adegan yang tertangkap kamera pengintai.
Aku tidak tahu jika ada kamera yang merekam seperti itu.
Oh tidak aku dan pak Warih yang sedang memusnahkan dokumen.
“I-iya itu memang saya yang sedang memusnahkan dokumen itu, apa salah saya?”
Lagi-lagi penyidik itu tersenyum licik sambil menekan tombol mempercepat gambar pada layar dan memberhentikan digambar yang diinginkan.
“Lihat, kamu telah berbohong, kamu sudah membaca sesuatu pada dokumen ini,” keringat dingin mengucur, aku tidak bisa berpikir dan membuat seluruh mulutku terasa mengering.
“Aku tidak berbohong, aku tidak tahu apa-apa soal itu.”
“Cepat katakan apa yang sudah kamu ketahui dari dokumen itu, jika tidak kamu akan bernasib sama seperti pak Warih!”
Penyidik ini mengganti perannya menjadi penyidik jahat, aku tidak suka.
Tidak, aku melihat pak Warih dibawa oleh mereka, aku tidak mau dimasukkan ke penjara.
“Aku tidak yakin apakah yang aku lihat akan berkaitan.”
“Katakan saja apa yang sudah kamu lihat, biar kami yang memutuskan itu berkaitan atau
tidak.”
“Cepat katakan, jika tidak .…” Dengan nada suara mengancam.
Aku hanya memberikan nama-nama yang kuingat ada di dalam pembukuan itu. Setelah itu aku boleh pulang dan tidak bekerja untuk hari ini. Keluar
dari ruangan itu, semua mata memandangku seakan-akan tahu apa yang sudah berlaku padaku.
Pandangan yang menjijikkan dan merasa marah, aku bisa merasakan tatapan itu. Aku hanya berlalu dengan cepat keluar dari kantor ini dan ingin segera pulang.
***
Hari ini sungguh mengerikan, aku tidak menyangka bahwa interogasi akan seperti itu.
Sangat menegangkan, terlebih aku merasa terpojok dan seperti pelaku kejahatan.
Sebenarnya apa yang terjadi, mereka menyelidiki apa. Aku sangat penasaran dengan nasib direksi dan kepala cabang serta yang ada dibawahnya. Bahkan nasib pak Warih yang ditangkap mereka.
Mendekati rumah terlihat dari kejauhan Ayah dan Ibu sudah menungguku sejak lama. Aku tidak menyangka mereka akan menyambutku seperti ini.
“Enggar kamu tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa Bu, Pak, memang ada apa?”
“Loh, kamu tidak tahu?”
“Pak Hari dan jajaran direksi ditangkap karena sudah menyembunyikan pajak peusahaan
dan mencucinya dibeberapa anak perusahaan di Singapura.”
Aku baru tahu yang terjadi sekarang, ternyata soal ini dan nama-nama yang ada didaftar yang kusebutkan adalah nama-nama yang mendapatkan kucuran uang dari pajak yang tidak dibayarkan.
“Enggar koq kamu malah melamun?”
“Enggak apa bu, pak, aku kedalam dulu, mau istirahat, capek.”
“Ya sudah sana, makan dulu baru istirahat.”
***
Dukung The Shadow Fears di kontes #ceritaseram
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
senja
7pagi smpe 3pagi kah? wah
2022-04-02
0
Dwight
Luar biasa!
Ceritanya super keren.
Berharap tulisan lebih rapi.
2020-08-04
2
Agustus2019
nanti aku mampir lagi Kam soalnya aku ga suka kalau cuma like tanpa baca, kaka udah cape2 buat cerita. nanti lagi ya ka. semangat terussss
2020-07-11
4