Adiwangsa berjalan mendekati sang putri, kemudian ia mulai mengitari sang putri dengan tatapan mengintimidasi.
Sebelum ia mengungkapkan sebuah kalimat yang akan mengundang nestapa bagi Fayra. Kalimat yang sepenuhnya akan membuat Fayra berpikir ulang untuk masa depannya.
"Fayra ...?!"
"I-iya, Pa. A-apa?" jawab Fayra gugup teramat gugup dan masih nekat bertanya.
"Tahu kenapa, Papa dengan sabar menunggu kamu pulang dan bahkan sampai tertidur di sofa, hum?!" tanyanya penuh penekanan.
"Ti-tidak, Pa!" jawabnya lagi dengan masih setia pada mode gugupnya.
"Kembalikan semua fasilitas yang Papa berikan padamu. Kunci mobil, semua kartu ATM mu dan ponsel mu. Cepat, keluarkan semuanya, Fayra!!" hardik Adiwangsa pada putri manjanya itu.
"Ta-tapi, Pa ...,"
"Kamu masih mau melawan Papa, hah?!" hardik Adiwangsa lagi.
Dengan berat hati Fayra memberikan semua itu pada papanya. Lalu, dia pun berlari ke atas untuk segera menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Namun, lagi-lagi Adiwangsa menghentikan langkah Fayra.
"Jika, kamu masih menginginkan semua ini. Maka, tinggalkan apa yang seharusnya kamu tinggalkan! Mengerti, kamu?!" bentakan yang penuh ancaman pun terlontarkan pada sang putri terkasih.
"Ma-maksud Papa apa, hah?! Aku sama sekali tidak mengerti! Pulang-pulang aku di marahi, semua fasilitas aku di cabut dan sekarang ... apa lagi, Pa?!" pekik Fayra yang masih belum mengerti duduk persoalan yang tengah di bicarakan oleh sang ayah.
"Hal apa yang hari ini kamu unggah di laman sosial media kamu, hah?! Maka, hal itulah yang harus kamu hindari! Apa sekarang kamu sudah, paham?!" jerit Adiwangsa lagi dan lagi.
"Kenapa Papa bisa tahu? Papa selama ini tidak pernah mengikuti akun sosial media ku. Lalu, dari mana ia tahu?!" Fayra bingung sendiri di dalam hatinya.
"Da-dari mana Papa tahu semua itu?"
"Tidak penting! Yang terpenting adalah kamu harus menjauhinya. Itu saja tugas kamu. Jika memang kamu masih ingin semua fasilitas kamu Papa berikan kembali," ucap Adiwangsa tanpa ragu-ragu.
"Nggak, Pa! Aku tidak akan pernah putus dari Ervin!" ucap tandas Fayra yang langsung pergi ke kamarnya.
"Fayra ...! Fayra ...!!" pekikan Adiwangsa yang tak di hiraukan sama sekali oleh sang putri.
...*****...
Di kediaman keluarga Erwin Adicandra ...
Tak jauh berbeda dengan apa yang di alami oleh Fayra. Ervin juga mendapatkan hukuman yang sama. Tapi, dia masih bisa memakai ponselnya. Sebab, akan terlalu merepotkan bila ada rekan bisnisnya Ervin yang menghubunginya nanti.
"Ervin, mulai detik ini jauhi anak dari rival Papa! Apa kamu mengerti, Ervin?!" ancam Erwin pada putra semata wayangnya dengan tegas.
"Tapi, Pa ... aku cinta sama Fayra, Pa! Aku nggak mungkin bisa hidup tanpanya, Pa ...!" terang Ervin yang penuh keyakinan.
"Tutup mulutmu itu, Vin! Papa tidak sudi punya menantu dari musuh bebuyutan Papa, Vin! Selamanya itu tidak akan pernah, Vin! Camkan itu baik-baik di otak kamu!" Erwin pun langsung melenggang pergi saja. Tanpa ingin lagi berdebat hebat dengan sang putra satu-satunya.
"Pa ...! Pa ...! Ah, sial!!" sesal Ervin saat semuanya tak sesuai dengan keinginannya.
Dia pun mencoba untuk menghubungi sang kekasih.
Nihil!
Ponsel Fayra sama sekali tidak aktif. Sebab, Adiwangsa telah me-non aktifkan ponsel sang putri. Jadi, alhasil mereka tak bisa lagi saling mengabari.
...*****...
Kilau-kilau cahaya matahari yang memancarkan sinar terangnya, menelusup masuk ke dalam ruang kamar Fayra. Gadis cantik itu belum lagi bangun dari alam mimpinya. Sebab, kemarin malam ia menangis sesenggukan hampir Shubuh.
Tentu saja saat ini rasa kantuknya masih menguasai diri. Matanya seakan tak sanggup untuk di buka. Beberapakali ia coba untuk mengedip-ngedipkan matanya, namun hasilnya tetap sama. Ia tak sanggup untuk membuka matanya lebar-lebar.
"Fayra Sayang ...! Bangun, Nak! Bukankah, kamu harus pergi ke kantor, hum?" ucap Hazna yang sudah mulai membangunkan sang putri dari alam mimpi.
"Ma, Fay malas ke kantor. Semua fasilitas Fay di sita sama papa. Jadi, kenapa Fay masih harus ke kantor untuk menangani tugas-tugas Fay, Ma? Fay mau tidur lagi aja, ya Ma? Boleh, 'kan, Ma ...?!" tanya Fayra yang masih setia menutup rapat matanya.
"Anak gadis nggak boleh tidur sampai siang. Pamali, Sayang!" ucap tegas Hazna mengingatkan putrinya itu.
"Siapa bilang Fay mau tidur sampai siang, hum? Mama salah! Fay mau tidur sampai besok!" ucap Fayra seenaknya saja.
"Eh ... eh ... eh ...! Kok malah kamu makin ngaco begitu, sih, Nak? Di larang sampai siang ini kok, malah bilang sampai besok. Ayo, buruan bangun! Nanti, keburu papamu datang ke sini, loh, Fay!" Hazna tetap berusaha untuk membangunkan Fayra yang sulit sekali di atur.
Benar saja!
Adiwangsa datang ke kamar Fayra dan berkata, "Kalau kamu masih ingin hidup. Maka, bangun sekarang! Karena semua orang yang ada di sini juga tidak akan melayani kebutuhan kamu lagi. Mengerti?! Ayo, Sayang! Tinggalkan anak yang tidak mau patuh pada perintah orang tuanya!" titah Adiwangsa tanpa ragu sama sekali.
"Ta-tapi, Mas ...! Fayra ...,"
"Sudah! Biarkan saja anak itu! Dia sudah besar, dia tahu apa yang harus dia lakukan. Kamu tidak perlu khawatir berlebihan tentangnya, ya!"
Adi pun membawa istrinya pergi.
"Benar-benar ya! Tuh pak Presiden cari masalah melulu sama aku." Dengan terpaksa, Fayra bangkit dari posisi tidurnya dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke kantor.
...*****...
Adiwangsa sendiri sudah selesai sarapan dan juga sudah bersiap untuk pergi. Sementara itu, Fayra masih sibuk membuat sarapan pagi untuk dirinya di dapur. Semua pembantunya hanya boleh menatap dan tidak boleh membantunya sama sekali.
"Non ...?" sapa salah satu pembantunya.
"Hum?"
"Apa Non yakin cuma sarapan telur ceplok, doang?"
"Iya, Mbok! Nggak, apa-apa, kok! Aku akan terbiasa mulai sekarang sarapan ini saja. Lagi pula, ini juga bergizi, 'kan?" ucapnya dengan mengulas senyum termanisnya.
Fayra pun makan dengan lahap.
"Hum ... enak juga masakan aku! Hem ...," ucapnya memuji masakan sendiri.
Para pembantu hanya merasa prihatin terhadap nasib yang menimpa nona muda mereka.
"Ma, aku berangkat, ya! Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam! Hati-hati, Nak!"
"Iya, Ma."
Fayra pergi diantar oleh supir pribadi sang papa presidennya itu.
...*****...
Arfan yang meratapi nasib pigura-piguranya yang hancur lebur itu, dia hanya bisa membuang nafasnya panjang.
"Hahhh ... padahal, niat ku kemarin ingin mengantarkan ini ke toko. Eh, malah di tengah jalan di tabrak sama perempuan nggak bertanggung jawab, pula!" keluhnya.
"Mas, aku berangkat kuliah dulu, ya. Assalamualaikum, Mas!" pamit Nadhifa pada sang kakak.
"Eh, iya. Kamu sudah mau berangkat kuliah, Dek?"
"Iya, Mas. Kenapa, Mas?"
"Ini, Mas mau nanya ke kamu. Apa teman-teman kamu itu ada yang berminat sama pigura-pigura yang Mas buat ini? Siapa tahu, ada. Nah, kalau misalkan ada Mas bisa antar ke rumah-rumah mereka, Dek. Mas harus cari uang untuk bayar uang semester kamu, Dek. Semalam, Mas dapat musibah. Mas terpaksa minta tolong ke kamu, deh!" ucap Arfan sedih.
"Oh, iya Mas. Aku akan dengan senang hati membantu Mas ku ini. Ya, udah. Aku pergi dulu, ya Mas. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam, Dek Manis!" sahut Arfan pula.
Setelah kepergian sang adik, Arfan di panggil oleh ibunya.
"Fan ...! Arfan ...!" jerit si ibu dari dalam rumah.
"Iya, Bu'e! Arfan datang ...!" jawab Arfan sembari berteriak juga.
...*****...
"Ada apa, Bu'e? Kok, teriak-teriak, begitu?"
"Oh, ini ... Bu'e mau pergi ikut rombongan pengajian. Katanya, ibu-ibu pengajian nanti akan pergi keluar kota. Jadi, Bu'e mau ikutan. Kamu, tolong tungguin pepes ikannya, ya sampai mateng. Bu'e mau siap-siap dulu. Jadi, tugas kamu tungguin ini saja, ya!"
"Siap, Bu'e!" ucap Arfan sambil tersenyum.
"Bu'e ...?"
"Ya, ada apa lagi?"
"Kok, perasaan Arfan dari tadi nggak enak, ya Bu'e? Kayaknya bakalan ada yang ndak beres, begitu," ujar Arfan yang merasa aneh sedari tadi.
"Sudahlah! Kamu itu kebanyakan mikir, itu. Makanya, jadi begitu. Udah, ah! Bu'e siap-siap dulu." Sanah menatap lekat punggung sang ibu.
Dalam hatinya ia berkata, "Semoga, Bu'e benar! Dan perasaan ku yang salah! Aamiin ya, Robb!"
Entah mengapa, perasaan Arfan begitu gelisah dan tak tenang saat ini. Sampai pada saat ibunya berpamitan padanya pun, perasaan tak nyaman itu terus melanda jiwanya.
"Ya, Allah ...! Semoga, Engkau selalu melindungi ibu dan adikku. Aamiin ...!" doanya dengan setulus hati.
Melihat senyum di wajah sang ibu, membuat perasaan Arfan sedikit lebih baik saat ini. Karena hanya Sanah lah yang ia miliki. Sebab, lama tak ada kabar dari sang ayah yang katanya merantau ke negeri orang. Membuat ia harus tumbuh dewasa tanpa sosok seorang ayah.
Ya, sedari dulu ibunya selalu berkata, bahwa ayahnya bekerja di negeri orang. Apakah itu benar atau salah. Arfan juga tak pernah mengungkit hal itu pada sang ibu.
Lantaran ia tahu, setiap kali ingin membahas tentang sang ayahanda. Ibunya selalu saja gunda gulana. Entah apa penyebabnya, ia pun tidak tahu. Banyak tetangga mengatakan, bahwa ayahnya telah lama tiada.
Lebih tepatnya, sampai detik ini masih belum ada kabar tentang sang ayah yang katanya mengalami kecelakaan pesawat. Jika di katakan telah tiada, namun jasadnya tak pernah di temukan. Begitu kira-kira kabar yang Arfan dapat dari mulut para tetangganya.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Bayangan Ilusi
Selamat jadi mandiri ya fay..
dan semoga gak ada apa2 sama ibu n adeknya arfan..
2022-07-18
1
Bunga
Kasian Fayra bingung mau pilih yang mana.
Kak Apa ngga ada pilihan lain gitu.
2022-02-13
1
Your name
Semoga aja semua ini menjadikan proses pendewasaan Fayra agar lebih baik lagi.
2022-01-22
1