Tiffany menatap punggung pria pembunuh itu yang ke luar berjalan ke pintu, lalu ia beralih ke arah pria yang duduk di sofa dan pria yang duduk di sofa itu menatapnya, menampilkan senyumnya serta menyapanya.
Tiffany berjalan mendekat ke arah pria kemeja putih itu, sebelum pria itu menawarkan bantuan, katanya mereka harus saling kenal lebih dulu.
Yang Tiffany tahu pria itu bernama Rico Black, ocehan setelahnya dari Rico tidak Tiffany hiraukan.
Lalu atas tawaran Rico, Tiffany memberitahu keinginannya pada Rico bahwa ia ingin keluar dari sini. Tiffany tahu, Rico tidak akan menuruti keinginannya yang satu ini. Rico Black bersekongkol dengan pria pembunuh itu. Tiffany hanya mengajukan permintaannya kepada Rico. Karena Rico menawarkan bantuan, maka jawaban yang hanya bisa Tiffany berikan adalah keluar dari mansion ini.
“Jadi, karena aku tidak bisa membantu. Bagaimana kalau kau nikmati saja waktumu di sini? bukankah menguntungkan untukmu? kau bisa bersantai, tidak bekerja. Tidak perlu repot-repot bayar utang.... Hidupmu tenang,” kata Rico.
Tiffany menatap lurus ke arah Rico dengan pandangan kosong. Karena pikirannya penuh, hanya tentang bagaimana kalau tiba-tiba pria pembunuh itu membunuhnya? sehabis pria pembunuh itu pulang? atau nanti malam? besok? hari berikutnya? Minggu berikutnya?
Hidup pun Tiffany enggan, tapi mati dibunuh ia juga tidak ingin. Percakapannya dengan Rico, Tiffany anggap angin lalu. Ia berbalik pergi, berjalan menaiki tangga menuju lantai dua dan kembali ke kamar, menikmati waktu terakhirnya dengan kenangan kehidupan yang ia jalani satu hari yang lalu.
Sampai di kamar, Tiffany duduk di lantai menekuk lututnya. Pikirannya menjadi berandai-andai...
Jika saja pikirannya tidak negatif.
Jika saja ia tidak takut dengan lift rusak, ia pasti pulang dengan lift itu tanpa mengetahui pembunuh yang membunuh CEO sebelumnya.
Jika saja saat ia mendengar perkataan pembunuh itu, ia langsung pergi dari sana tanpa harus merasa takut lebih dulu.
Jika saja ia bisa mendapat kesempatan untuk menghubungi Cara Lunox.
Jika saja saat ini ia berani kabur.
Iya, kabur saja. Dalam otaknya hanya ada kata itu... kabur, kabur, kabur.
Tiffany berdiri dan membuka pelan pintu kamar, mengendap ke luar kamar. Dari atas tangga, ia melihat situasi di bawah dan ia tidak menemukan Rico duduk di sofa tadi.
Apakah ini kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya?
Tiffany mengambil langkah anak tangga, menuruni tangga dengan mata mengintai waspada. Dalam hatinya ia berharap sangat, Rico sedang sibuk melakukan suatu hal jadi ia bisa ke luar sebelum pria itu menyadari kepergiannya.
Jantungnya berdetak cepat ketika kakinya sudah menapak lantai dasar. Setelah melihat sekeliling tidak melihat tanda-tanda, dengan jantung yang semakin kencang memompa. Tiffany berjalan cepat tanpa menimbulkan suara ke arah pintu.
Dan Tiffany bisa melihat gerbang yang menjulang tinggi. Gerbangnya terkunci, ia menggigit kuku jarinya cemas. Bagaimana ini? apa yang harus ia lakukan selanjutnya?
Kembali saja ke kamar atau lanjut mencoba membuka gerbangnya?
Tiffany menengok ke belakang, Rico tidak terlihat. Lalu ia kembali memutar ke arah gerbang tapi matanya menangkap pintu kecil yang berkarat. Pintu lapisan karat itu tidak terkunci, karena terbuka sedikit dan tidak ada gembok yang menempel.
Sekali lagi Tiffany menengok ke segala arah dan ia mulai berjalan pelan menempel tembok, mengangkat sedikit kakinya agar tidak menimbulkan suara saat kakinya bersentuhan dengan rumput-rumput yang tidak dipotong ataupun daun kering yang berserakan.
Saat tangannya menyentuh pintu karat itu, ia mengintai sekitarnya lagi. Jantungnya berdegup ketika ia menarik pelan pintu karat itu, pintu karat menimbulkan sedikit decitan nyaring. Tiffany diam dan ia tidak bergerak, takut jika Rico mendengar lalu ke luar menangkap Tiffany berdiri di sini berencana kabur.
Karena tidak ada tanda-tanda kedatangan Rico, Tiffany melangkah ke luar setelah menatap sekitar was-was.
Sudah bebas, ia sudah keluar. Tanpa menutup lagi pintunya, ia langsung berlari ke arah asal—tidak tahu jalan mana yang menjadi tujuannya, intinya ia harus menjauh dari mansion itu, dengan kaki polos tanpa alas. Tiffany berlari kencang tanpa menengok lagi ke belakang.
Tiffany berhenti, napasnya tersengal-sengal dan tangannya menahan tubuhnya di sebuah batang pohon besar. Ia melihat telapak kakinya yang lecet, ia tidak merasakan sakit saat berlari tadi karena di pikirannya hanya terus menyuruhnya berlari cepat.
Ketika Tiffany melihat sekeliling, ia tidak tahu dimana ia sekarang. Jalanan aspal yang sepi, ia menengok ke belakang. Mansion itu sudah tidak lagi terlihat, hanya ada pohon-pohon besar tapi tidak tinggi di tiap area pinggir jalan.
Harus kemana ia sekarang? apakah jalan ini mengarah ke jalan kota?
Tiffany tidak membawa apa-apa selain yang menempel pada tubuhnya. Segala macam barang-barangnya seperti ponsel, ada di dalam tas dan tasnya entah disimpan dimana oleh pria pembunuh itu.
Lalu bagaimana sekarang? jalan ini sepi sekali. Tidak ada bangunan apa pun yang terlihat. Kemana Tiffany harus berjalan dan sejauh mana lagi ia melangkah?
Pemandangan jalan lurus ke depan, tidak terlihat berbeda dari tempat Tiffany sekarang. Ini seperti jalan panjang dan tidak ada belokan.
Lama berpikir, hingga ia memutuskan untuk terus saja berjalan.
Setelah melangkah jauh, diujung jalan tidak terlihat tujuan. Jalanan ini kenapa panjang sekali, kakinya juga sudah kebas dan perih. Ia berjalan semakin pincang, tapi jika ia berhenti. Tiffany akan bermalam di jalanan sepi ini yang kemungkinan besarnya akan sangat gelap saat malam hari.
Tiffany merasa lemas, ia belum makan. Makanan yang diberikan pria pembunuh itu tidak dihabiskan olehnya. Tiba-tiba kepalanya berat dan berdenyut, pusing. Matahari bersinar di atas kepalanya yang tidak terhalang apa pun. Jalannya juga mulai terseok-seok, ia mencoba menyeret kakinya dan bertahan.
Tapi semakin Tiffany berusaha keras dan memaksakan tubuhnya, sakit di kepalanya semakin parah. Tidak bisa lagi ia tahan. Lapar, haus, lelah dan sakit, menyerangnya secara bersamaan.
Tiffany berhenti, napasnya memburu. Ia membungkuk memegang lututnya, lelah sekali dan pusing. Rasanya semakin pusing, kepalanya berdenyut-denyut.
Tiffany melihat lesu ke arah depan. Tidak ada harapan, ia tidak bisa lagi berjalan jauh. Apalagi ia tidak membawa bekal persiapan apa-apa. Ia ceroboh dan bodoh.
Tiffany kembali berdiri tegak, mengusap keringat di dahinya. Tapi ia semakin pusing, terik matahari membuat kepalanya semakin sakit. Tidak kuat.
Tiffany lelah. Ia tidak kuat lagi berdiri dan terduduk. Kepalanya yang berat tidak bisa tertahan lagi, semakin lama kesadarannya menghilang, tatapannya yang sayu beralih tertutup dan hanya warna hitam yang terlihat sekarang.
Tiffany pingsan di tengah jalan.
Tapi setelah itu, Tiffany merasa tubuhnya melayang dan aroma tubuh pria tercium, pria yang ia kenali sebagai pembunuh. Hingga ia tidak lagi tahu apa yang terjadi berikutnya.
The Handsome Evil CEO © YAKIYA
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments