bab 3

Citra tengah menghabiskan waktu bersama Al. Mereka baru saja membersihkan diri setelah pertempuran panas mereka. Ponsel Al berbunyi. Citra bisa melihat, jika ada pesan masuk ke hp suaminya. Citra pun melihatnya sepintas.

Abang masih sibuk? Aku sudah menyiapkan makanan untuk Abang.

"Mas, Wina mengirim pesan pada mu. Dia bertanya, apa kau sibuk? Dia sudah menyiapkan makanan untukmu." Citra menatap suaminya.

"Balas saja, Sayang. Katakan padanya untuk tidak menunggu ku. Dan lain kali, minta dia tak perlu menyiapkan makan malam lagi," ucap Al dari arah kamar mandi.

Citra pun memutuskan membalas pesan Wina.

Maaf ya, Sayang aku akan terlambat pulang. Makanlah lebih dulu. Jangan menungguku. Nanti kau sakit.

Kali ini, ponselnya yang berbunyi. Citra menggulir layar ponselnya dan mendapati pesan dari sahabatnya Wina.

Airmata Citra menetes membaca isi pesan sahabatnya itu. Bagaimana mungkin dirinya tak merindukan sahabatnya ini? Ia sangat merindukannya. Namun, Citra belum siap.

Apalagi, antara Citra dan Wina tak pernah ada rahasia. Citra takut, mulutnya akan membeberkan rahasia pernikahan Wina dan suaminya Al. Lebih tepatnya, Citra tak bisa menerima jika pada akhirnya Wina akan membencinya.

Maaf ya, kemarin aku sedang di luar kota. Selamat untukmu. Semoga pernikahanmu langgeng. Aku pun merindukanmu. Tapi, maaf kita belum bisa bertemu dalam waktu dekat ini. Nanti, aku akan menghubungimu lagi.

Citra segera menghapus air matanya ketika Al berbalik dan menghampirinya. Citra menahan lengan Al ketika pria itu hendak merebahkan dirinya. Ia menatap Citra bingung.

"Ada apa?" tanya Al heran.

"Pulang lah, Mas. Wina menunggumu," pinta Citra.

"Sayang…." kalimat Al terpotong.

"Ku mohon. Pulanglah." Al mendengus kesal.

Saat Al ingin agar istri keduanya mengetahui keberadaan Citra, wanita itu justru menolak. Sudah satu bulan ini Al harus menyisihkan waktu untuk menemani istri pertamanya ini.

Bukan Al tidak mencintai Wina. Hatinya justru sudah jatuh cinta pada istri keduanya itu. Namun, ia pun tak bisa abai pada istri pertamanya bukan? Ia bisa memberikan waktu yang sama pada Wina dan Citra. Sayangnya, Citra selalu meminta Al untuk tidak memberitahu Wina tentang pernikahan mereka.

Ibunya pun, ikut mendukung rencana Citra. Al mengumpat dalam hatinya, kala mengingat pemicu kejadian ini. Kejadian yang justru membuatnya terperangkap dalam lingkaran hubungan yang semakin rumit.

Mau tak mau, Al menuruti keinginan Citra. Pria itu pun mengalah dan memilih kembali ke rumah istri keduanya.

*****

Pintu rumah Wina diketuk. Ia berjalan cepat dan membukanya. Terlihat wajah Al dengan senyum merekah menghiasi wajah tampan suaminya. Jangan lupakan lesung pipinya.

"Bang." Wina mencium tangan Al.

Al pun mengecup kening Wina. Al pun memeluk bahu Wina dan menggiringnya masuk ke dalam.

"Abang sudah makan? Tadi, Wina ke rumah Mami," cerita Wina.

"Oh iya? Ngapain ke tempat Mami?" tanyanya.

"Belajar masak makanan kesukaan Abang. Abang, cicip ya," ucap Wina bersemangat.

"Oke."

Mereka pun berjalan ke meja makan. Benar saja, melihat makanan di meja adalah kesukaannya, membuat air liur Al menetes. Sudah lama rasanya ia tak mencicipi hidangan itu.

Al menggosokkan telapak tangannya dan bersiap duduk dan meraih piring serta sendok. Al begitu lahap memakan masakannya. Hingga separuh dari menu di meja makan sudah memenuhi perutnya.

"Enak bang?" Al mengacungkan kedua jempolnya. Wina tersenyum lega.

*****

Bulan keempat pernikahan Wina dan Al.

Al mengantar Wina ke kantornya. Memang sudah menjadi rutinitas baru bagi Al mengantar Wina.

"Aku kerja dulu ya, Bang." Wina mencium punggung tangan Al.

"Iya. Abang, berangkat ya." Al pun mulai melajukan mobilnya.

Di dalam lift,

"Masih belum memberitahu istri keduamu?" tanya teman sekaligus sekertaris Al.

"Hmmh." Al mengangguk.

"Apa kau tidak lelah terus bersembunyi?"

"Apa yang bisa ku lakukan, Sur?" Al menatap Suryo sahabatnya dengan raut sedih.

"Terus yakinkan Citra. Jika Wina tahu sebelum kau atau Citra memberitahunya, hatinya akan lebih sakit dari ini." Al menundukkan kepalanya.

Suryo benar. Al harus meyakinkan Citra secepatnya. Ia tak ingin menyakiti Citra ataupun Wina. Ia pun tak ingin merusak persahabatan kedua istrinya. Jujur saja, saat ini Al tak bisa lagi melepas keduanya.

Al menghubungi Citra. Ia akan bicara dan meminta Citra untuk membuka jati dirinya kali ini. Citra harus tahu konsekuensinya saat semua rahasia ini terbongkar sebelum mereka memberitahu Wina.

"Sayang, kita harus bertemu. Kita bertemu di restoran biasa ya." Al langsung berbicara pada intinya setelah sambungan telepon itu diterima Citra.

"Ada apa, Mas? Sepertinya penting sekali."

"Ya. Ini sangat penting. Ingat ya. Aku bekerja dulu. I love you."

*****

Wina tengah makan siang bersama rekan kerjanya di restoran. Selesai makan, mereka berniat kembali ke kantor, saat netranya menangkap sosok yang dikenalnya.

Bukannya itu Bang Al? Cewek di sampingnya siapa ya? Kok rasanya familiar? batin Wina.

Sosok yang dilihat oleh Wina sudah masuk ke dalam mobil. Segera, Wina menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depannya tanpa berpamitan pada rekan-rekannya.

"Pak, tolong ikuti mobil hitam itu ya," pinta Wina pada sopir taksi itu.

"Iya, Mbak," ucap sopir taksi itu.

Mobil yang dikendarai Al berhenti di depan rumah yang cukup mewah. Pekarangan yang luas, dan bangunan yang megah.

"Tunggu sebentar ya, Pak." sopir itu menganggukkan kepala.

Terlihat, Al membukakan pintu untuk wanita itu. Bahkan, senyum Al terlihat merekah. Perlakuan Al pada dirinya, juga wanita itu sama saja. Apa maksud semua ini? Pikirnya saat itu.

Seorang pedagang sayur melintas, "maaf, Pak." Wina memberhentikannya.

"Iya, Bu, mau beli sayur?" tanya nya sopan.

"Tidak. Saya mau tanya, Bapak kenal penghuni rumah ini?" pedagang sayur itu kecewa. Ia salah menerka, jika wanita ini akan membeli sayurnya yang tersisa.

"Kenal, Bu." tiba-tiba, pedagang sayur sedikit mulai curiga. Terlihat dari kerutan di dahinya.

"Ada apa ibu menanyakan penghuni rumah ini?" 

"Ah, bukan begitu. Saya mencari teman saya. Saya takut salah alamat," ucapnya sedikit berbohong.

"Oh… Rumah ini punya pak Alvino Bu." terang si pedagang sayur.

"Tadi saya lihat ada cewek yang masuk. Kata bapak, pemiliknya laki-laki?" tanyanya lagi.

Bang Al.

Kali ini, Wina meremas jemarinya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Itu istrinya."

Bagai tersambar petir. Pikiran Wina tiba-tiba kosong. Dadanya terasa sesak mendengar berita itu. Istri? Bukankah Wina istrinya? Mungkinkah Al sudah menikah lagi, tanpa memberitahunya.

"Se-sejak kapan me-mereka menikah?" lirihnya. Wina berusaha menahan air mata yang akan lolos.

"Sekitar tiga tahun Bu," jawab tukang sayur itu.

Sebenarnya, Wina bertanya pada dirinya sendiri. Namun, ucapan itu masih terdengar jelas di telinga tukang sayur itu. Hingga ia menjawabnya.

"Ibu, baik-baik saja? Muka ibu kelihatan pucat," ucap si pedagang itu seraya menatap wajah Wina.

"Tidak apa, Pak. Saya baru ingat, teman saya sudah pindah ke luar negeri. Kalau begitu, saya permisi ya, Pak. Terimakasih banyak sudah membantu saya." Wina segera kembali ke dalam taksi.

Hati Wina semakin berdenyut pedih mendengar berita ini. Ternyata, suaminya sudah menikah sebelum menikahi dirinya.

Kali ini, Wina begitu marah pada Al. Apa alasan pria itu menikahinya? Benarkah cinta yang pria itu ucapkan nyata? Tahukah istri pertama suaminya itu tentang pernikahan kedua dari suaminya?

Pantas saja Al selalu tercium wangi saat pulang dari kantor. Bahkan, terlihat sudah bersih. Pakaiannya pun tak terlihat kusut setelah di pakai seharian. Begitu banyak kecurigaan yang muncul dalam benak Wina.

Wina mengambil ponselnya. Ia ingin bertanya pada ibu mertuanya.

"Halo, Sayang, tumben telepon Mami siang-siang?"

"Mi, Wina ingin bertanya. Tolong mami jawab yang sejujurnya."

"Kenapa, Sayang? Kok keliatan serius?" 

"Apa benar, Bang Al sudah menikah dengan perempuan lain selama tiga tahun?"

Lama tak ada jawaban. Hingga kata yang meluncur berikutnya, mampu menghancurkan hati Wina.

"Ya. Itu benar. Darimana kamu tahu itu?" 

Wina tak lagi bisa menahan air matanya. Cairan bening itu lolos dari kedua mata indahnya.

"Apa alasannya?" terdengar sangat lirih.

"Perempuan itu tidak bisa melahirkan keturunan untuk Al. Mami sudah meminta Al menceraikannya sebelum kalian menikah. Tapi Al begitu keras kepala ingin mempertahankannya."

Terjawab sudah alasan Al menikahinya. Anak. Hati Wina semakin hancur ketika mendengar alasan klise dari keluarga kalangan atas mengenai pandangan mereka tentang pernikahan.

Hingga mereka rela menumbalkan perempuan lain demi ego mereka. Mereka tak mau ambil pusing dengan perasaan wanita yang ditinggalkan ataupun yang dimadu. Kali ini, hati Wina berbalik iba pada wanita yang menjadi istri pertama Al.

Ponselnya kembali berbunyi saat Wina tengah memijat pangkal hidungnya. "Citra." suara Wina terdengar bergetar.

"Win, kamu kenapa?"

Wina tak menjawab. Ia menangis sesenggukan. Citra berusaha menenangkannya.

"Kamu baik-baik saja. Aku ingin mengajakmu bertemu. Itupun, jika kau mau."

"Besok saja ya. Aku sedang tidak enak badan hari ini," tolak Wina.

"Oh, oke."

Tak lama, taksi berhenti di depan rumah yang ditempatinya bersama Al. Ia menatap nanar bangunan di hadapannya itu.

Kakinya terasa berat untuk melangkah masuk. Wina memaksa kakinya untuk masuk ke dalam. Baru saja ia akan membuka pintu, tubuhnya jatuh tak berdaya. Seakan tak bertenaga sedikitpun.

Wina berusaha berdiri. Meraih gagang pintu untuk membantunya menopang berat tubuhnya. Ia berhasil berdiri. Kemudian, Wina menyeret langkahnya. Jejak air mata masih terlihat di pipinya.

Wina berhasil masuk ke kamar. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tercium aroma Al di sana. Kembali Wina menepuk dadanya. Berusaha meredakan rasa sesak yang menghimpitnya. Kali ini, ia membiarkan dirinya meluapkan emosi melalui tangisan.

Tangisannya terdengar begitu pilu. Ia meraung-raung menyesali pernikahannya. Salahnya yang tak peka pada sikap Al setelah mereka tinggal di rumah itu.

Wina tidak tahu, apakah sikap Al sama dengan ibunya? Hanya menginginkan anak darinya? Logika Wina mulai berpikir. Jika memang Al hanya menginginkan anak darinya, bukankah ketika ia melahirkan nanti akan dibuang? Lalu, Al akan kembali pada istri pertamanya.

Wina semakin menangis kala pikirannya me-reka-kan adegan yang bahkan belum terjadi. Lantas, bagaimana dengan mertuanya? Entahlah, Wina tak bisa menebak sikap mertuanya kini. Apakah selama ini mertuanya itu tulus atau tidak padanya?

Terpopuler

Comments

Rizwadani Widati

Rizwadani Widati

bangkit Wina jangan mau di tumbalkan

2024-01-23

1

Ridha 💕

Ridha 💕

kasihan banget hidup wina, nyesek bgt aki bacanya

2022-12-04

1

Tita Dewahasta

Tita Dewahasta

'menumbalkan', nancepp banget kata ini. 😭

2022-07-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!