Setelah hari itu berlalu, kini tiba waktunya Ruth benar-benar melaksanakan perintah dari sang kekasih.
Pagi dimana biasanya wajahnya letih setelah bermimpi buruk. Dan bersiap untuk ke kantor, berbeda kali ini.
Wanita berparas ayu itu tampak memandangi wajah pulas sang bocah.
Tetesan demi tetesan air mata terus lolos begitu saja di kedua pipinya. Meski langkah begitu berat terasa untuk menggiring koper keluar rumah, namun dengan sekuat tenaga ia harus segera bergegas.
"Mbok, saya titip Putri yah Mbok Nan. Secepatnya saya akan segera kembali, Mbok." Kata yang singkat namun terdengar begitu sulit ia ucapkan.
Mbok Nan dengan jelas melihat getaran di tubuh dan bibir ranum milik majikannya itu.
"Non Ruth, Mbok akan menjalankan apa yang Non Ruth perintahkan dengan baik. Tapi...apa Non Ruth sudah yakin dengan pilihan Non?"
Mungkin jika setiap orang yang sayang, akan terang-terangan bicara apa yang menurutnya tidak baik. Tapi, tidak bagi Mbok Nan. Ia sangat berhati lembut.
Bahkan dari kecil, perjalanan Ruth sangat pahit. Bagaimana mungkin ia mencegah majikannya untuk mengejar kebahagiaannya?
Isak tangis Ruth mengantarkan dirinya masuk ke dalam pelukan wanita tua itu. "Mbok, Ruth sungguh tidak menginginkan ini semua Mbok. Tapi Ruth nggak kuat hiks hiks hiks."
"Yasudah, ayo Mbok antar ke depan. Non Ruth janji jaga kesehatan yah di luar. Rasanya Mbok sangat khawatir biarin Non Ruth sendirian. Ya biarpun ada Tuan Sendi."
Mendengar perhatian penuh yang di berikan Mbok Nan padanya, Ruth begitu bahagia. Setidaknya jika suatu saat ia terpuruk, ada Mbok Nan tempatnya untuk pulang.
Kini langkah demi langkah mempersempit jarak wanita itu dengan mobil mewah di depan rumah miliknya.
Yah, hanya rumah inilah yang tersisa setelah kepergian tragis kedua orangtuanya dan dua saudaranya.
"Hati-hati Non," teriak Mbok Nan kala melihat Ruth telah bersiap melajukan mobilnya.
Tatapan pilu jelas terlukis di wajah yang sudah tidak begitu kencang lagi. Beberapa garis kerutan di wajahnya jelas menampakkan kesedihan kala meratapi alur hidup wanita yang sudah seperti anaknya sendiri.
"Kasihan Non Ruth, kehilangan keluarganya membuat pikirannya sedikit tertutup. Semoga benar apa yang di katakan Tuan Sendi. Jika setelah mendapatkan restu, Non Ruth sudah boleh bersama dengan Putri lagi Ya Allah...Non Ruth, berbahagialah. Mbok hanya bisa mendoakan dari sini, Non."
***
"Baj*ngan! Pergi dari sini!" teriak penuh amarah menggema di sebuah apartemen mewah malam itu.
Wajah yang tengah terlelap dengan nyenyak mendadak mengernyitkan dahinya kala mendengar suara yang mengejutkan gendang telinga miliknya.
"Sayang, ada apa berteriak barusan?" tanya wanita bertubuh polos hanya terlindungi dengan balutan selimut tipis.
Plak! Suara tamparan kemudian tendangan maut di sisi tempat tidur terdengar.
Pukulan demi pukulan terus di layangkan oleh Sendi membabi buta. Matanya memerah bahkan air matanya sudah berjatuhan dengan lancang.
"Astaga, apa yang terjadi?" Ruth begitu ketakutan melihat keadaan sekitar yang sama sekali tidak ia mengerti. Ia menangis melihat tubuhnya sudah polos, bahkan banyaknya tanda cinta di tubuhnya.
"Sendi, Sayang! cukup. Hentikan!" teriaknya mencegah kekasihnya melakukan hal yang fatal pada pria yang entah siapa itu.
Mendengar teriakan kekasihnya, Sendi seketika menghentikan gerakan tangannya. Mata yang penuh amarah menatap tajam pada wanita di depannya.
"*******! Benar-benar tidak pantas untuk ku beri kesempatan kamu," Napas Sendi terengah-engah usai melampiaskan amarahnya.
Mendengar ucapan Sendi, Ruth menggelengkan kepalanya tidak percaya. Bagaimana mungkin ia sadar ini adalah nyata. Sedangkan matanya terasa masih begitu berat untuk menatap pria di depannya.
"Sendi, ini semua tidak benar,-"
"Tidak benar apa lagi? Ruth, mungkin memang ini alasan orangtuaku menolakmu. Semua orangtua pasti punya feeling terhadap hidup anaknya. MULAI DETIK INI JANGAN PERNAH LAGI MUNCUL DI HADAPANKU!"
"Brak!!" Suara pintu menggetarkan tubuh Ruth dan pria yang masih tersungkur di lantai kamar.
Hancur sudah harapan bahagia seorang Ruth kali ini. Perjuangan yang begitu panjang mulai dari awal berhubungan dengan Sendi, kini berakhir menyedihkan.
"Sendi! jangan pergi! tolong dengarkan aku!"
Ia menangis memeluk selimut yang menutupi tubuhnya. Tak perduli bagaimana keadaan tubuhnya, ia benar-benar hancur hari ini.
Mata sembab khas bangun tidur di tambah tangisan yang berderai, kini teralih pada pria di bawah sana.
"Siapa kamu? pergi dari sini! PERGI!" Teriaknya membanting segala barang yang ada di atas nakas samping tempat tidur.
Langit yang tampak indah bercahaya lampu kota, kini mendadak berkilau dengan sorotan cahaya petir malam.
Menandakan kota itu akan segera turun hujan.
"Tidaaaaakk! Ini tidak mungkin!" Ruth menangis meraung, menjambak rambut, bahkan memukul seluruh tubuhnya yang menampakkan tanda-tanda bekas bibir di sana.
Ia benar-benar jijik melihat tubuhnya saat ini. Bagaimana mungkin Sendi tidak akan marah jika tubuhnya saja sudah seperti macan tutul.
Siapa yang melakukan ini? apa tujuan orang itu? tidak perlu di cari tahu. Jelas Ruth paham semua masalah ini pasti tidak akan dengan mudah terselesaikan.
Lelah hati, lelah pikiran. Ruth kini hanya berbaring dengan tatapan kosong. Air mata tak henti-hentinya berjatuhan.
Benar kata pepatah. Tidak ada cinta yang melebihi keluargamu. Sebesar apapun cinta orang pada kita, semua akan sirna hanya dengan satu kesalahan.
Namun berbeda dengan cinta keluarga. Seribu kesalahan pun yang kamu perbuat. Pintu maaf dan kasih sayang tetap utuh sampai kapanpun.
"Mbok Nan...Putri," lirihnya tanpa tenaga lagi.
Kini guyuran hujan yang deras terus membasahi tubuh gadis yang tengah berjalan linglung di tengah jalan yang mulai sepi.
Entah harus bagaimana ia menerima kenyataan ini? bahkan untuk bertanya apakah dirinya masih suci? ia tak sanggup sama sekali.
Air mata jatuh beriringan dengan langkah tak berdaya malam ini.
"Tuhaaaaan! mengapa semua harus di hidupku? kenapa? aku lelah! Aaaaaaaaa" Ruth terus berteriak bagai orang yang depresi.
Akhirnya kini dering ponsel yang sudah mulai basah di genggamannya terus terdengar. Namun sedikit pun ia tak menghiraukan panggilan tersebut.
"Aw..." lirihnya kala merasakan kepala yang terasa seperti berputar melayang-layang.
Dan pada saat yang bersamaan, decitan sebuah mobil mewah terdengar nyaring.
"Hei...halo, bangun!" Suara asing bersamaan dengan gerakan tangan yang menepuk pipi pucat itu.
Tubuh yang lemas, dengan waja pucat dan beberapa noda di tubuhnya menjelaskan jika wanita ini telah di aniaya.
"Pak Landu! Kemari!" teriaknya pada seorang pria yang tengah mengembangkan payung lebar sebelum menutup pintu mobil kemudi.
Ia berlari tergesa-gesa. "Iya Tuan Dava. Mari saya bantu," ucapnya hendak meraih tubuh wanita yang berada di pangkuan sang majikan.
"Tidak, Bapak payungi saya. Kita antar dia." ucapnya dengan cepat membawa tubuh Ruth ke dalam mobil.
"Sepertinya dia di aniaya, Tuan."
Tak ada sahutan dari kursi belakang. Namun pria itu tampak terkejut setelah cukup lama memperhatikan keadaan wanita cantik di pangkuannya ini.
Sebuah dering ponsel menyadarkan lamunannya. Segera tangan besar itu mengangkat panggilan.
"Ya Allah Non... akhirnya di jawab juga. Mbok khawatir sekali. Dari tadi Putri nangis manggil nama Non. Malah sekarang badannya demam tinggi, Non." ucap wanita terdengar khas usia tua di seberang sana.
"Em...maaf," Dava akhirnya bersuara.
Mata Mbok Nan membulat saat mendengar suara pria. "Tuan Sendi, tolong kasihani Putri, Tuan. Badannya demam, saya takut..."
"Maaf, saya bisa minta alamatnya sekarang?" tanya Dava kembali memotong pembicaraan Mbok Nan.
Baginya tidak penting menjelaskan apapun jika pertemuan lebih cepat menyelesaikan semuanya.
"Baik, terimakasih." ucapnya setelah mendengar jelas alamat dari Mbok Nan.
Mobil pun melaju ke arah di mana alamat rumah berada.
Dava Sandronata, Pemilik perusahaan yang terfokus pada hotel bintang lima. Kini ia sedang dalam perjalanan hendak bertemu dengan klien di Kota itu. Namun sayang, perjalanannya malam ini harus di tunda demi menyelamatkan nyawa seorang gadis cantik.
***
Di sisi lain, setelah kejadian tersebut. Sendi langsung melampiaskan amarahnya di tempat yang terkenal dengan gadis-gadis pilihan.
Malam ini, pertama kalinya ia memijakkan kaki di tempat haram itu.
Penampilan yang sangat mendukung. Wajah tampan dan terlihat jiwa kepemimpinannya membuat setiap wanita langsung tertarik bagaikan magnet menempel.
"Tuan, mari ku temani."
"Ayo, kami akan berusaha yang terbaik untuk anda."
"Ini minumlah."
Suara-suara genit khas wanita penggoda mulai membuat penuh kepala Sendi malam itu.
Belum selesai amarahnya, kini emosinya semakin terpancing kala mendengar suara wanita. Bayangan Ruth terus menari di kedua matanya.
"Argh...Pergi kalian! berisik!" teriaknya menghempaskan segala tangan yang bergelayut di lengannya.
"Pergi! atau mau ku hajar?" tanya sembari menodongkan pistol ke arah salah satu wanita yang sudah mengangkat kedua tangannya ketakutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 238 Episodes
Comments