Air mata yang terus berjatuhan dengan lancang, mendadak terhenti di perjalanan turun ke jurang.
Betapa bahagianya hati Ruth, kala melihat pria yang ia tangisi baru saja kini sudah kembali menghampirinya.
Jangan bahagia dulu Ruth, bukankah barusan ia berucap tiga kata, "Aku memberimu kesempatan" kala menyadari kata yang di ucapkan, wajah Ruth menegang saat itu juga.
"Sendi, syarat apa?" tanyanya dengan senyuman yang sudah mengembang. Begitupun dengan jemari lentik miliknya bergerak mengusap air mata.
Satu langkah, dua langkah, pria tampan di hadapannya mendekat dan mendekap tubuhnya penuh cinta.
"Aku sangat mencintai mu, Ruth." ucapnya mendaratkan satu tanda sayang di puncak kepala sang kekasih.
"Aku juga sangat mencintai mu, Sen. Maka itu aku yakin kau pasti tidak percaya dengan ucapan Tuan Deni, bukan? kau satu-satunya orang yang begitu paham siapa diriku. Bahkan hari ini adalah hari bahagia kita, masa iya aku menjadi sedih?" ucapnya mengeluh panjang lebar.
Usapan demi usapan terus di berikan oleh Sendi pada tubuh maupun kepala Ruth. "Maka dari itu, Ruth. Aku memintamu untuk menaruh Putri di panti saja. Dengan begitu-"
Pelukan hangat yang baru saja terjalin langsung merenggang saat itu juga. Ruth adalah pihak pelaku saat ini. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Sendi, aku tidak bisa memilih diantara kalian. Tolong jangan memaksakan aku menjadi orang jahat. Putri sudah seperti nyawaku saat ini. Dan begitu juga dengan mu."
Sakit yang sempat sembuh beberapa menit, kini kembali terasa menyayat hati.
Sendi memijat keningnya, sudah cukup rasanya ia berjuang menerima status kekasihnya sebagai janda yang tidak jelas statusnya. Kali ini ia harus kembali berjuang pada orang tuanya demi wanita yang begitu ia cintai.
"Ruth, sudah cukup aku memaafkan dan memberikan mu kesempatan. Bagaimana Ayahku akan menerima mu jika kau masih terus membawa anak itu? soal status mu yang tidak jelas, aku bisa mengurus semuanya."
Plak!!!
Lagi dan lagi, pagi itu Sendi mendapatkan buah tangan di wajahnya.
"Dimana hatimu berbicara seperti itu?" tanyanya dengan tubuh yang sudah bergemetar hebat.
Sendi hanya tertunduk. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia jelas merasakan cinta yang begitu besar. Kejujuran dan harapan yang sangat besar di dalam diri Ruth. Wanita yang selama ini selalu menjadi bunga indah hari-harinya.
Tapi bukti sudah jelas menuju ke arah Ruth. Tak bisa di sangkal, pria itu sangat mirip dengan wajah Putri Anyelir. Bocah berusia lima tahun yang sudah dari entah sejak kapan di rawat oleh kekasihnya sendiri.
Bahkan jauh sebelum mereka saling mengenal.
Suasana hening setelah adu mulut dan tangan. Ruth merasa marah, namun di sisi lain ia juga banyak mempertimbangkan sesuatu hal.
Wajahnya menunduk tanpa suara. "Bagaimana mungkin aku meninggalkan Putri sendiri? Bagaimana mungkin aku berpisah dengan Sendi? Aku sangat mencintainya. Hanya dia dan Mbok Nan yang begitu perduli padaku. Tapi...Tuan Deni tidak mungkin bisa menerima ku jika aku membawa anak."
"Ruth, kita pergi keluar? mungkin kita butuh suasana segar untuk mencari jalan keluar?" ajak Sendi dengan suara yang sudah merendah.
"Pergilah! Biar aku menenangkan diriku sendiri." sahutnya tanpa mau menatap wajah Sendi yang teduh.
"Kemari," Pelukan dan aroma khas yang sangat menenangkan kembali mendamaikan hati wanita itu.
Merasa tak ada perlawanan, Sendi pun mengeratkan pelukannya dan menuntun sang kekasih menuju lift kemudian keluar gedung dan masuk ke dalam mobil.
Setelah mobil melesat memecah padatnya kendaraan, kini hanya genggaman hangat yang terus seakan mengalir dari hati ke hati.
Sesekali Sendi melirik mata indah milik Ruth. Masih hening.
Setengah jam perjalanan, akhirnya mobil berhenti di hamparan pasir putih nan padat. Satu tangan terulur meraih lengan yang berhias jari-jari lentik itu.
"Aku tidak bisa meninggalkan Putri, Sendi. Tolong jangan berikan aku pilihan sulit." ucapnya kemudian terdengar lirih.
Sendi masih bungkam. Ia terus dan terus memberikan rasa ternyaman yang mampu ia salurkan melalui pelukannya. Pertemuan dua bibir pun tak lagi mampu tercegah.
Memang Sendi sangat paham menenangkan hati sang kekasih.
Sesapan begitu dalam di akhir permainan pun menyisahkan rona wajah di keduanya.
"Pasti ada jalan keluar. Kau tidak maukah menikah denganku? Ruth, aku akan mengutamakan mu. Untuk saat ini kita hanya butuh restu dari Ayah. Hanya soal Putri, apakah kau mau mengorbankan hubungan kita?"
Ia membelai kedua pipi sang kekasih. Ruth membungkam. Bibirnya terasa keluh, hanya air mata yang tak henti-hentinya berjatuhan saat ini.
"Apa hanya saat membutuhkan restu Ayahmu, aku berjauhan dengan Putri? atau..."
Sendi tersenyum. "Putri harus tetap tinggal di rumah mu bersama Mbok Nan. Dan kau bisa bertemu dengan kapanpun kau mau. Yang terpenting kita bisa menikah dulu. Bagaimana?"
Pertanyaan dan penawaran yang setidaknya jauh lebih ringan bagi Ruth saat ini. Mungkin ini adalah jalan hidupnya.
"Putri, maafkan mamah sayang. Mamah mengorbankan mu demi cinta Mamah. Tapi kamu harus tahu. Kalian sama-sama cinta Mamah. Untuk saat ini saja, Mamah mohon biarkan Mamah egois demi mendapatkan cinta Mamah, Putri." batin Ruth yang menjerit kala membayangkan senyuman bocah kecil yang tiba-tiba berubah menjadi tangis histeris berpisah darinya.
Setelah beberapa saat, keduanya pun sepakat untuk kembali menjalani hubungan mereka lebih serius.
Usai sarapan dan saling menenangkan, kini Sendi membawa Ruth kembali ke kantor. Hari ini ia sudah bersikap sangat tidak bijaksana.
Membawa karyawan pergi keluar di jam kerja.
Satu hari kegiatan kantor, akhirnya usai. Ruth pulang seperti biasa dengan mobil pribadinya. Begitupun dengan Sendi yang pulang beriringan dengan sang Ayah.
***
"Mamah..." teriak bocah kecil dengan suara khas cemprengnya.
Wajah yang tadinya lelah, kini menjadi berlipat-lipat lelah. Ruth tak bisa membayangkan jika hari-harinya kedepannya ia kehilangan pelukan ceria dan suara yang sangat ia sukai ini.
"Sini sayang...uh Putri sudah mandi yah?" Ruth memeluk dengan sangat erat. Menghujani ciuman bertubi-tubi.
"Mamah kok cedih? Ayo Putli ulut. Mamah pasti capek yah?" tanyanya beruntun kala menyadari ekspresi wajah Ruth yang tidak seperti biasanya.
Ruth tersenyum paksa dan menggeleng. "Mamah nggak sedih sayang. Mamah cuma kangen banget sama Putri. Yuk temani Mamah baring sebentar di kamar sebelum mandi." ajaknya menggendong tubuh gembul sang anak.
"Non Ruth, Mbok sudah siapkan air hangat. Oh iya, makanan juga sudah siap. Sini Putri biar Mbok ajak main."
Mbok Nan sangat paham dengan wajah Ruth. Jika sudah begitu manja dengan Putri, pasti ia sedang mengalami banyak pikiran.
Ruth tersenyum lembut. "Iya terimakasih yah Mbok Nan. Putri biar sama saya dulu Mbok. Saya lagi kangen banget."
Hari sudah sore, langit pun tak malu menampakkan pesona indahnya yang berwarna kemerahan.
Entah dari mana mulanya, kini Ruth mendadak memeluk Putri den menenggelamkan wajahnya di pelukan tubuh mungil tersebut.
Putri membalas pelukan sang Mamah. "Mamah."
"Putri, diam sebentar saja yah? Mamah lagi kangen banget sama kakek dan nenek." tangis Ruth pun tersedu-sedu kala ia berbohong dan tidak bisa melampiaskan isi hatinya saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 238 Episodes
Comments