Aida memegang lembut kedua bahu Sanu. "Pikirkan saja dulu, Sanu. aku berangkat ke Ibu Kota satu minggu lagi."
Sanu pulang ke rumah, Ibunya terlihat duduk di depan mesin jahit melihat anaknya tampak murung.
"Kamu kenapa, Sanu?"
"Restoran tempat kerja Sanu sudah tidak beroperasi lagi, Bu."
"Uhuk ... kamu sudah makan, Nak? Ibu masih ada bubur kacang."
Sanu duduk masih merenung.
"Kak Sanu, main yuk?" Seorang anak kecil umur lima tahun menghampiri Sanu.
Sanu tersenyum menggendong adiknya di pangkuannya. "Kak Sanu punya hadiah untuk Clara."
"Mana Kak Sanu?"
Sanu memberikan coklat, seperti anak kecil pada umumnya Clara juga suka dengan coklat.
"Hole ...." Clara turun dari pangkuan Sanu berlari kecil mengitari kursi tempat Sanu duduk.
Suara gemuruh seperti barisan mesin terdengar di telinga. Itu suara gunung berapi. akhir-akhir ini memang sering terdengar suara gemuruh, Sanu yang tinggal di dekat lereng gunung berapi yang masih aktif sudah biasa mendengarnya. Selama belum ada pemberitahuan dari pemerintah setempat warga sini masih tetap melakukan aktifitasnya seperti biasa.
Alat yang dinamakan Seismometer dan Tiltmeter menjadi tolak ukur jika gunung berapi menunjukan tanda-tanda siaga.
Ibu Sanu masih duduk di depan mesin jahit tuanya. Sanu menghampirinya.
"Ibu." Sanu berkata lirih.
"Ada apa, Sanu?"
"Sanu ditawari Aida kerja di Ibu Kota? Dia baru saja pulang, minggu depan Aida rencana kembali ke Ibu Kota."
Nur tampak tidak senang mendengarnya, Matanya melirik sebal. "Aida kakak kelasmu itu?"
"Iya Bu?"
Ibunya Sanu semakin mengeluarkan dahak di mulutnya. Tangannya terus memegang dadanya karena terbatuk.
"Ibu tidak bisa memberimu uang untuk pergi ke Ibu Kota, Nak?"
Sanu tersenyum kepada Ibunya. "Sanu mengerti, Bu. Sanu juga tidak ingin ke Ibu Kota. Sanu hanya tidak enak saja kepada Aida."
Nurjanah tau anaknya sedang membohonginya. Tampak raut wajah Sanu kecewa.
Sanu beranjak dari tempat duduk mengajak bermain adiknya.
"Clara, ayo main sama Kakak."
Ibunya terus memandang Sanu, memikirkan masa depan anaknya.
...***...
Malam telah tiba, Sanu duduk di pinggir teras rumah menatap langit yang penuh bintang. Setelah mendengar cerita Aida tadi siang, Sanu ingin pergi ke Ibu Kota. Sanu berpikir, kalau Sanu kerja di Ibu Kota mungkin kehidupannya akan berubah. Sanu hanya ingin membuat adik dan Ibunya bisa hidup layak seperti orang-orang pada umumnya.
"Sanu." Sanu terperanjat mendengar suara Aida yang tiba-tiba datang.
"Aida."
Aida tersenyum. "Kamu kok ngelamun sih."
"Eh, mungkin aku lelah Aida."
"Aku datang kemari hanya ingin memastikan tentang tawaran kerja di Ibu Kota."
"Maaf Aida. Aku tidak bisa, aku tidak punya uang untuk pergi ke Ibu Kota."
"tidak masalah Sanu, aku hanya ingin menawari mu gaji yang lebih tinggi dari pada kerja di sini," ucap Aida.
"Uhuk ...." Suara batuk yang khas itu terdengar oleh Sanu dan Aida.
Ibunya menghampiri Sanu memakai syal yang melingkar di leher untuk menahan rasa dingin.
"Sanu, Aida bisa kemari sebentar," panggil Nur.
Mereka bertiga duduk di kursi, Ibu Sanu tampak menatap tajam. "Apa kamu ingin pergi ke Ibu Kota, Sanu."
Sanu terdiam, Sanu berpikir kali ini Ibunya akan marah kepadanya.
"Jawab Sanu!" bentak Nur.
Sanu memganguk pelan tidak berani menatap wajah ibunya. suasana menjadi hening.
Ibu Sanu tersenyum, meletakkan lembaran uang seratus ribu di meja. "Pergilah, Nak? Ibu merestuimu pergi ke Ibu Kota.
Sanu mengangkat kepala. "Ibu dari mana dapat uang sebanyak itu?"
"Ibu menjual cincin pernikahan kenang-kenangan dari ayahmu."
Sanu menangis memeluk Ibunya. "Sanu janji akan kerja keras untuk Ibu dan Clara."
Nurjanah mengelus punggung Sanu lalu menyeka pipi Sanu. Nur tersenyum menatap Sanu dengan lekat.
"Kalau begitu aku pulang dulu Sanu, Bu Dhe. Besok aku kesini lagi, mengajak kamu beli tiket ke stasiun untuk keberangkatan kita minggu depan."
Sanu mengangguk sambil tersenyum.
Satu minggu berlalu, Sanu mulai menyiapkan pakaian dan barang-barangnya untuk untuk berangkat ke Ibu Kota. Kereta akan berangkat jam 2 siang. Sanu harus sudah tiba di stasiun sebelum jam 2.
Ini masih pagi, Sanu masih sempat untuk membantu Ibunya beres beres rumah. Aida datang menemui Sanu.
"Sanu." panggil Aida.
"Aida."
"Aku hanya ingin memberikan alamat tempat kamu bekerja."
"Bukannya aku satu pekerjaan denganmu, Aida."
Aida menggeleng. "Tidak Sanu, ada sebuah yayasan sebagai perantaranya. Kita tinggal mengikutinya saja.
"Baiklah Aida."
"Aku pulang dulu ya, Sanu. Jangan lupa habis dzuhur kamu harus sudah menemuiku."
Sanu mengangguk.
"Kak sanu?" panggil Clara.
Sanu membungkukan badannya mencubit kecil pipi adiknya.
"Kak Sanu mau pelgi, ya."
"Iya sayang, nanti kalau Kak Sanu pulang, kak Sanu bawakan coklat yang banyak buat Clara.
"Janji ya." Clara mengacungkan jari kelingkingnya. Sanu menyambutnya, menautkan jari kelikingnya ke jari kelingking adiknya.
"Clara jangan nakal, ya?"
Clara mengangguk polos.
Saat keberangkatan tiba, Sanu memeluk erat Ibunya sambil berderai air mata.
"Jaga kesehatan ya, Sanu. Jangan lupa ibadah." Nasehat Ibu pada umumnya.
Sanu mengangguk masih memeluk Ibunya.
"Sanu." panggil aida.
Sanu menoleh ke aida melepas pelukan Ibunya.
"Sanu pergi dulu, Bu?" Sanu mencium punggung tangan Ibunya.
Ibunya terus menatap kepergian Sanu hingga Sanu masuk mobil yang mengantar Sanu dan Aida ke stasiun.
Sanu tiba di stasiun, berjalan antre. Petugas stasiun memeriksa tiket masing-masing penumpang sebelum diperbolehkan masuk. Masih sekitar lima belas menit kereta berangkat. waktu tempuh sekitar tujuh jam sampai ke Ibu Kota.
Sanu duduk berhadapan dengan Aida setelah menaruh barangnya di atas bagasi.
"Nanti kamu nginep dulu di rumah majikanku, besok baru aku antar ke yayasan.
Sanu mengangguk.
"Kereta Agro Bondowoso akan segera berangkat, penumpang yang masih di luar harap segera masuk."
Suara Prami yang begitu lembut, mesin kereta yang mulai panas membuat Sanu merasa gugup. Ini pertama kalinya Sanu naik kereta, sebelumnya Sanu belum pernah bepergian keluar kota.
Sanu menghembuskan napas panjang berdoa diberikan kelancaran.
Tujuh jam berlalu, Sanu dan Aida sudah Sampai di Ibu Kota. Sanu sekilas mematung dengan Suasana Ibu kota yang begitu ramai.
"Sanu." Aida memanggil.
Sanu terperanjat.
"Ayo," ucap Aida.
Sanu menyusul Aida. "Kita mau kemana, Aida?"
"Kita naik kereta listrik."
"Bukankah kita baru turun dari kereta." Sanu terlihat belum mengerti.
"Ini kereta listrik dalam kota, sanu."
"Aku baru tau kalau ada kereta listrik dalam kota."
"Nanti kamu juga akan tau, Sanu. Kamu jangan jauh-jauh dariku," ucap Aida.
Aida kembali mengantre, sedang Sanu menunggu Aida disamping loket. Aida memberi kartu trip untuk Sanu.
"Ini apa, Aida?"
"Itu kartu trip, syarat masuk kereta listrik. Jangan sampai hilang ya, Sanu."
Sanu mengangguk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Muslimah Haja
semoga saja sanu dpt pekerjaan yg layak
2022-07-02
0
Tyara Lantobelo Simal
Semangat Sanu...kejam nya ibu tiri tak sekejam ibu kota hati hati di sana ya...
Semangat ya Thor
Love ❤️❤️❤️
Lanjut
2022-04-06
0
NaMika
next
2022-03-27
0