Bab Lima

Bunyi kendaraan yang melaju di jalanan mengganggu pendengaran. Olivia menggeliat pelan, lalu mengerjap pelan. Seketika menutup mata dengan tangan karena silau oleh sinar mentari yang menghangatkan dari kaca jendela kamar. Lantas sedikit merenggangkan jemari, mengintip malu-malu pada langit yang tampat terang benderang. Ia kesiangan.

Olivia menyibak selimut, lalu bergegas turun dari ranjang. Menoleh sebentar kepada lelaki yang masih tampak terlelap, lalu berjalan cepat menuju kamar mandi.

Sebenarnya, Olivia berniat mandi pagi ini. Namun, urung karena mendengar suara cacing di perut telah memanggil minta diisi. Setelah mencuci wajah dan menggosok gigi, ia pun keluar. Tanpa berniat untuk berganti pakaian, wanita itu berjalan cepat keluar kamar. Langkahnya berbelok menuju area meja makan yang berdekatan dengan dapur.

Olivia berhenti di depan lemari es, membuka benda persegi panjang dua pintu itu lalu mengambil minuman dingin dalam botol air. Menuangkan isinya ke dalam cangkir, lalu meneguknya hingga tandas. Setelah dirasa hausnya hilang, Olivia segera meletakkan kembali botol minum tersebut ke dalam kulkas. Pergerakannya berhenti saat mendengar bisik-bisik dari area dapur.

“Pengantin baru belum keluar ya?”

“Iya, paling masih ehem-ehem.”

“Eh tadi malam heboh banget, lho, di kamar mereka.”

“Iya, kalau aku, sih, malu banget.”

Olivia langsung berbalik badan, lebih baik segera kembali ke kamarnya. Sepertinya ia perlu keramas untuk semakin meyakinkan orang lain tentang apa yang terjadi.

“Apa malam pertama harus ehem-ehem gitu, sih?” gerutunya kesal seraya mengentak-entakkan kaki ke lantai. “Emang kalau belum bakalan jadi aib, ya?” Olivia segera menyambar pakaian ganti dan menghilang dalam kamar mandi.

Sepertinya, cacing di dalam sana sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Harus segara diisi. Harus. Sebab bunyinya sangat berisik.

Olivia cepat-cepat menyelesaikan sisiran rambutnya. Setelah memakai make up tipis barulah keluar kamar menuju meja makan.

“Bodo ah dengan gosip dari para tetangga. Lebih baik makan,” ujarnya seraya mengibaskan rambut sebahunya ke belakang.

Olivia berusaha tidak acuh pada pandangan orang-orang yang masih lalu lalang. Namun, telinganyamasih terpasang sempurna untuk mendengarkan bisik-bisik di sana. Beberapa tetangga memang datang untuk membantu membereskan kekacauan setelah pesta pernikahan yang diadakan.

“Ah, sudahlah. Yang penting, makan,” ucap Olivia menguatkan diri sendiri. Lalu menyuap nasi beserta lauknya ke dalam mulut. Melahap sesuap demi sesuap makanan di piring sampai tandas.

“Lho, Oliv. Suamimu mana?” Aminah duduk di kursi meja makan seberang anak bungsunya. Tatapannya menyelidik, memastikan jika anak gadisnya bukan lagi seorang perawan.

“Masih tidur, Bund. Aku lapar, jadi kutinggal saja.” Olivia menyahut santai dengan mulut penuh.

“Lain kali, tunggu suamimu bangun. Makanlah bersama. Itu salah satu cara mengeratkan hubungan,” ujar Aminah mengingatkan.

Aminah memang termasuk istri yang selalu menunggu suaminya. Ia tidak akan bisa makan sebelum memastikan Amri juga makan bersamanya, atau sudah makan terlebih dahulu jika suaminya itu sedang berada di luar rumah.

Aminah ingin menerapkan kebiasannya tersebut kepada kedua putrinya yang telah menikah. Namun, Hanifah dan Laila tidak melakukan kebiasaan itu. Alasan mereka adalah terlalu beresiko. Bagaimana jika mereka sudah kelaparan sedangkan suaminya belum juga pulang ke rumah? Bagaimana kalau ponsel mereka mati dan tidak bisa memastikan suami mereka sudah makan atau belum? Masih banyak alasan yang lain.

Tentu saja Aminah tidak bisa memaksakan keinginannya. Kebiasannya menunggu makan bersama suami memang mengundang resiko tinggi, apalagi jika perut sudah sangat terasa lapar.

Sudah berkali-kali pula Amri mengingatkan Aminah agar makan duluan saja. Apalagi saat dirinya tidak bisa dihubungi. Namun tampaknya, kebiasaan itu tidak bisa diubah istrinya. Tetap saja Aminah menunggu ia pulang, mengabaikan rasa lapar yang menguras energi dan melemahkan tubuh sendiri.

Pernah suatu hari, saat Amri belum pulang sampai larut malam. Ia juga lebih dulu makan di luar karena perut yang meronta minta diisi. Sesampai di rumah, Aminah tergolek lemah menunggunya di sofa ruang tamu. Wajahnya telah pucat.

Sejak saat itu Amri berjanji akan berusaha untuk makan di rumah. Itulah salah satu manfaat kebiasaan Aminah tersebut, membuat suaminya tidak pernah mengabaikan sang istri walau sesaat.

Lain cerita rumah tangga sang bunda, tentu lain pula cerita kedua anaknya. Aminah berharap kebiasaan baiknya bisa menurun kepada Olivia, putri bungsunya itu.

“Nanti kalau mau makan aku siapkan, Bund. Tenang saja,” sahut Olivia santai. Nasi di piringnya telah habis. Setelah meneguk air putih di gelas, ia pun beranjak dari kursi membawa piring kotornya.

“Kebiasaan. Bunda ngomong malah ditinggal.” Aminah sempat terlupa, Olivia tetaplah anak manja nan keras kepala.

Di antara saudaranya, Olivia-lah yang terang-terangan bersikap santai pada nasihat orang tuanya. Padahal yang lain mana berani begitu. Pergi meninggalkan Aminah yang belum selesai berbicara.

Olivia cenderung mampu mengekspresikian diri. Jika tidak suka, ia akan merespons ketidak sukaannya tersebut. Baik menunjukkan lewat ucapan maupun tindakan. Begitu pun saat dirinya menyukai sesuatu. Itulah kenapa orang lain akan langsung tahu tentang apa yang ada pada dirinya.

“Lagian Bunda, orang mah bebas aja punya kebiasaan gimana. Asal tidak merugikan orang lain,” sahut Olivia santai. Ia kembali duduk di kursinya lalu menopang dagu menatap sang bunda.

“Kamu ini kebiasaan kalau dibilangin. Jawab terus,” ketus Aminah.

“Ada apa ini? Dua putri cantik Ayah pagi-pagi udah pada cemberut aja.” Amri berdiri di tengah pintu ruangan. Merasa heran melihat anak dan ibu sama-sama memasang wajah muram, seperti sedang melakukan perang dingin.

Amri duduk di kursi tepat di samping Aminah. Lelaki paruh baya itu menatap anak dan istrinya secara bergantian diringi seutas senyum di bibir. Ia mengenakan pakaian santai, celana training berpasangan dengan kaus oblong. Sebab tidak ada kegiatan yang berarti untuk dikerjakan, hanya menghabiskan waktu untuk bersantai-santai saja.

“Coba-coba jelaskan kepada Ayah.” Amri menatap kedua wanita itu bergantian. Sampai beberapa menit kemudian, tidak ada yang memulai percakapan untuk menjelaskan. Keduanya hanya bergeming dengan mengatupkan kedua bibirnya rapat.

Amri menghela napas panjang. Sudah diprediksi pasti akan begini. Kedua wanita itu sama-sama keras kepala. Jika berselisih paham tidak ada yang mau mengalah.

“Jadi, enggak ada yang mau menjelaskan ke Ayah apa yang sedang terjadi?” tanya Amri lagi. “Olivia,” panggilnya pelan kepada putri bungsunya.

Olivia melirik sekilas lalu kembali menunduk. “Bunda, tuh,” gerutunya.

“Kok, Bunda, sih. Kamu-lah,” sewot Aminah tidak mau kalah.

Amri menggeleng-geleng seraya tersenyum lucu. “Kalian ini, ibu dan anak sama saja.”

Terpopuler

Comments

Lina aja

Lina aja

lanjut

2023-09-21

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!