Cincin Kedua
“Saya terima nikah dan kawinnya Mega Olivia Cahyana dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai.”
Sah!
Sah!
Ruangan sederhana itu menjadi saksi bersatunya dua insan yang dimabuk cinta. Saat sang lelaki datang membawa janji pernikahan kepada wanita pujaan, tentu saja langsung diterima dengan hati terbuka. Tidak pada restu orang tua yang masih tertanggalkan, bagi keduanya niat baik harus segera tertunaikan.
Awalnya, Olivia memang sempat merasa ragu pada niat baik Vino untuk meminangnya. Akan tetapi, setelah beberapa bulan lelaki itu melakukan pendekatan. Gadis berparas ayu itu pun akhirnya luluh juga. Bukan karena bujuk rayuan atau gombalan, tetapi karena kesungguhan dan perhatian-perhatian kecil yang kerap Vino berikan. Terlebih, saat lelaki itu memutuskan meninggalkan pekerjaannya demi mengejar cinta sang gadis pujaan.
Siapa wanita yang tidak akan terpesona oleh bukti-bukti yang diberikan Vino. Bagi Olivia, lelaki berperawakan tinggi itu telah berhasil membuktikan jika apa yang dikatakan bukan sekadar ucapan jempol belaka.
“Aku akan membuktikan. Bukan hanya menebar janji.” Begitu kata Vino saat Olivia telah membuka hati kepadanya.
Hingga saat Olivia pulang ke kampung halaman, Vino pun menyusulnya seakan tanpa beban dan semakin memperkuat jika Olivia adalah segala-galanya.
Enam bulan pendekatan, akhirnya keduanya memutuskan untuk menjalin ikatan yang sakral. Namun, ketidaksetujuan sang bunda karena anak lelakinya lebih memilih mengejar gadis pujaan daripada mempertahankan pekerjaan membuat Vino tidak mendapatkan restu dengan gampang.
Berbagai upaya telah Vino lakukan demi mendapatkan restu. Siapa yang mengira, jika semua pintu seakan ditutup rapat.
Ketika Vino pulang ke rumah untuk menjumpai orang tuanya. Sang Ibu malah dengan tega mengusirnya. Sepertinya kemarahan itu belum juga padam dari hati sang bunda. Vino pun pasrah, ia juga tidak rela jika harus melepaskan Olivia.
Satu-satunya gadis yang mampu membuatnya tak berdaya.
Akhirnya, dengan segala kekurangan dan kesulitan yang ada. Pernikahan sederhana bisa diselenggarakan di kediaman keluarga Olivia. Entah bagaimana cara yang dilakukan gadisnya itu sampai sudi memberikan restu kepada hubungan mereka.
Ada masanya, Vino merasa iri dengan kasih sayang yang diberikan kedua orang tua Olivia. Sebab, mampu berlapang dada menerima hubungan mereka walaupun belum mendapatkan restu dari orang tua Vino.
Hari yang ditunggu pun tiba. Sesuai yang telah diprediksikan sebelumnya, bahwa tidak ada satu pun sanak maupun saudara yang bisa hadir menemani hari bahagianya. Vino sebatang kara seperti seorang yang tidak memiliki keluarga. Padahal, dirinya mempunyai dua saudara yang lainnya. Akan tetapi, sepertinya semua orang tidak berpihak kepadanya.
Satu alasan yang melegakan didengar Vino dari sang papa. Beliau sakit yang menjadi penyebab tidak bisa hadir dalam acara sakral tersebut.
Vino mencoba berlapang dada, melupakan sesak yang menghimpit dadanya sampai kesulitan napas. Akhirnya, ijab kabul itu pun tertunaikan. Betapa lega perasaannya, seakan batu besar yang beberapa bulan ini menghimpit dada terlepas begitu saja tanpa bekas dan tanpa sisa.
Masalah yang dihadapi Vino aeolah-olah seperti butiran debu yang tak lagi tampak. Sebab di hadapannya kini telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Wanita yang telah sah menjadi istrinya, pendamping setiap perjalanan kehidupan yang pasti tidak akan mudah dilalui.
Namun, seperti yang telah dikatakan Olivia sebelumnya bahwa mereka akan terus berdampingan menapaki hari dan melalui semua kesulitan di hadapan dengan bergandengan tangan. Gadis ayu itu bersedia menemani Vino dari awal. Sedari dirinya tidak memiliki apa pun jua.
“Ayo salim!” Seruan penghulu membawa Vino kembali dalam alam nyata tanpa hayalan. Lamunanya telah pecah berkeping-keping berganti seutas senyum yang dihadirkan oleh sang istri tercinta seraya mengulurkan tangan meminta salim.
Vino membalas uluran tangan Olivia dengan tubuh bergetar. Rupanya, tidak hanya dirinya yang suhu tubuhnya berubah dingin. Olivia pun begitu. Tangan gadis itu sangat dingin, sedingin es.
Kecupan dalam di punggung tangan yang diberikan Olivia mampu menghantarkan kehangatan pada hati Vino.
Vino menangkup kedua pipi Olivia, lalu mengecup kening pengantinnya tersebut dengan perasaan yang membuncah penuh rasa sayang. Bahagia yang sempat terbayangkan sebelumnya tidak berarti apa-apa ketimbang rasa yang kini mendera jiwa.
Oliva memejamkan mata. Tubuhnya bergetar hebat seiring kecupan hangat yang Vino berikan.
Sampai terdengar seruan tamu undangan yang membuat keduanya cepat-cepat melepaskan kecupan dan berakhir salah tingkah.
“Hei, masih banyak tamu undangan, nih.”
“Malu, dong, dilihat Pak Penghulu.”
Wajah keduanya merah padam. Olivia menunduk malu demi menyembunyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. Sedangkan Vino menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seraya menoleh ke kiri dan ke kanan dengan wajah yang tidak kalah merah dari pengantin wanitanya.
Lantas, keduanya pun diminta duduk untuk segera menandatangani buku nikah dan melafazkan sighot taklid. Kemudian barulah mendengarkan nasihat dari sesepuh yang dilanjut dengan doa sebagai penutupan dari rangkaian sakral hari itu.
“Ini, penanya.” Vino berujar lirih seraya menyerahkan pena kepada Olivia begitu selesai menjalankan tugasnya.
Rupanya, lelaki itu mengambil keuntungan dari setiap kesempatan yang ada. Saat tangan Olivia terulur untuk mengambil pena dari tangannya. Vino terang-terangan menggenggam tangan Olivia yang kontan saja membuat gadis itu tersipu malu.
Lantas, lagi-lagi berhasil mengundang ledekan dari orang-orang yang melihat kelakuan pengantin baru tersebut.
“Ciee! Tahan dulu, dong, Vino!”
“Si Vino, udah enggak sabar aja.”
“Pegang-pegangan terus!”
Sontak saja, Olia menepuk tangan lelaki yang duduk di sampingnya.
Kali ini, bukannya Vino malu mendapatkan ledekan tersebut. Dirinya malah tersenyum puas karena berhasil menciptakan semburat merah di kedua pipi wanita yang baru beberapa menit lalu menjadi istrinya.
Bagi Vino, warna merah di pipi Olivia telah menjadi candu baginya. Ia bahkan sangat ketagihan menatap warna itu, ditambah senyum malu-malu Olivia yang semakin membuatnya ingin menggeret gadis di dampingnya itu ke kamar. Andai saja, rangkaian acara ini telah selesai.
Vino mendengkus kasar. Ia baru ingat jika harus bersabar menunggu hingga waktunya malam dan semua orang-orang ini telah kembali ke rumah masing-masing.
‘Ya Tuhan! Di acara seperti ini sempat-sempatnya aku memikirkan tentang malam pertama. Dasar kau Vino,’ ujar Vino dalam hati.
Vino menggeleng pelan, mengusir imajinasi liar yang mengusai pikirannya. ‘Masih ada waktu nanti malam, Vino,’ tegasnya dalam hati.
“Kak, ada apa?” Bisikan Olivia berhasil mengenyahkan pikiran konyol Vino. Akan tetapi, hanya sebentar sebab suara Olivia terdengar sangat merdu di telnganya. Mengalahkan suara ceramah dari sesepuh yang memberikan nasihat pernikahan.
“Ah,” erang Vino kemudian. Lantas mengusap wajahnya secara kasar yang semakin membuat Olivia terheran-heran. Ada apa dengan suaminya itu?
Olivia menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. Merasa lucu dengan tingkah konyol suaminya tersebut. Berusaha mengabaikan tingkah polah lelaki yang duduk di sampingnya, Olivia memilih memusatkan pikiran untuk tetap mendengarkan nasihat pernikahan.
“Pernikahan adalah ibadah. Menggenapkan masing-masing separo agama para pasangan. Maka, dari sekarang perbaruilah niat dalam melaksanakan pernikahan itu. Jika awalnya menikah hanya untuk sekadar bersenang-senang, mulai sekarang niatkanlah untuk kepentingan ibadah.”
“Ibadah itu tentu saja hanya mengharapkan pahala dari Allah. Maka, jika suatu saat pasangan kita berbuat salah. Kembalilah ke niat awal bahwa pernikahan ini adalah jalan menuju ibadah.”
Olivia menyimak dengan khidmat nasihat tersebut. Setiap kalimat yang terucap seakan seperti energi tersendiri bagi kehidupan barunya. Sesekali kepalanya akan mengangguk pelan sebagai tanda setuju pada apa yang telah didengarnya.
“Hubungan ini pun sangat mudah dijalani, kok. Ibarat piramida segi tiga dan Allah berada pada puncak tertinggi di atasnya. Sedangkan pada sudut kiri dan kanan ditempati oleh suami dan istri. Semakin keduanya berjalan mendekat menuju Allah, maka semakin dekat pula hubungan suami istri tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin keduanya menjauh dari Allah maka semakin jauh pula hubungan keduanya.”
Pada kalimat terakhir sebelum penutup tersebut. Olivia menyimpan erat nasihat itu baik-baik dalam hatinya. Mencatatnya dalam ingatan, berharap tidak akan pernah terlupakan. Kelak, saat ia dan Vino mengalami masalah Olivia berjanji akan mendekat kepada Tuhan. Seperti apa yang tercantum dalam nasihat tadi.
Tanpa sadar, tangan Olivia bergerak untuk menggenggam erat tangan Vino di sebelahnya. Tentu saja perlakuan tersebut mengangetkan lelaki itu. Lantas, keduanya pun saling berpandangan dan mengulas senyum tulus. Desiran aneh itu pun kembali mereka rasakan sebagai rahmat Allah kepada pengantin baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Lina aja
mampir dulu...moga tidak banyak drama
2023-09-20
0
Tri Widayanti
Hadir walau telat.
2023-02-08
0
Leo Aren
Thor aku baru Nemu . .semangat Thor aku selalu suka ceritamu. . langsung favoritin
2021-11-17
2