Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang menyenangkan sekaligus monoton. Suasana sudah kembali sepi karena semua orang sudah pulang. Tetapi tidak bagi hatiku dan Reza, hari-hari kami penuh cinta di setiap harinya. Reza dengan cepat bisa beradaptasi dengan suasana kampung, termasuk dengan para tetangga. Harus kuacungi jempol, dia berhasil menjadi sosok orang kampung, bukan lagi pria metropolitan dengan balutan kemeja kerja apalagi dengan setelan jas dan dasi panjangnya. Boro-boro, dia justru mengenakan kaus-kaus biasa yang ia beli di pedagang kaki lima. Dia ingin terkesan sama seperti orang-orang kampung lainnya.
Dalam kegiatan sehari-hari, Reza menghabiskan waktunya dengan berbagai hal. Biasanya, dari pagi hingga siang ia habiskan dengan berpetualang di sungai, sawah, rawa-rawa, atau di perkebunan. Dia bukannya mandi, bukannya bertani, apalagi bercocok tanam. Dia ngebolang: mencari ikan, kadang memancing, kadang menjaring, malah beberapa kali menangkap ikan di lumpur yang kami sebut mengabal. Kadang juga menggunakan alat semacam keranjang jaring-jaring, kami menyebutnya menangguk. Kalau dia sudah bosan makan ikan, dia malah mencari keong dan siput sawah, bahkan dia pernah membawa pulang seekor belut. Dan aku berani taruhan, seandainya dia punya senapan sendiri, dia akan berburu burung hampir setiap hari. Dia sangat senang setiap kali tetangga kami mengajaknya berburu burung di perkebunan-perkebunan atau ke rawa-rawa yang habitatnya masih alami.
Jujur saja aku cemas melihatnya setiap hari menghabiskan waktu di luar. Reza selalu pulang menjelang zuhur, mandi, salat, makan, istirahat. Kadang-kadang dia menghabiskan siang dengan tidur sekitar satu sampai dua jam. Setelah asar, dia keluar rumah lagi, sekadar bercengkerama dengan tetangga, bermain catur, gaple tanpa judi, atau main biliar. Dan yang paling membuatku tercengang adalah ketika dia pulang membawa layangan. Dia cengengesan melihatku yang menggeleng-gelengkan kepala. Meski demikian, dia selalu pulang sebelum matahari terbenam. Dia selalu menyempatkan pergi ke masjid dan pulang setelah isya. Dan itu mengurangi sedikit kecemasanku -- sedikit. Aku cemas sebab aku takut jika di dalam dirinya mengalir sifat-sifat ayah biologisnya. Aku takut dia terpengaruh kebiasaan pemuda-pemuda di kampungku. Aku takut dia penasaran dan mencobai sesuatu yang buruk, seperti narkoba, alkohol, bahkan aku takut dia kepingin merokok. Karena aku tahu, hal-hal semacam itu bukan sesuatu yang tabu di lingkungan tempat tinggalku di kampung.
Hal-hal monoton lainnya adalah: Reza menghabiskan waktunya sebelum tidur dengan membuat tirai dari cangkang kerang. Dia memintaku membawakan koleksi cangkang kerang itu ke kampung, untuk mengisi waktu luang katanya. Kemudian jam berikutnya kami habiskan dengan bercumbu mesra, lalu tidur, dan bangun sebelum subuh.
Itu tadi kegiatan-kegiatan Reza. Bagaimana denganku? Aku malah berkecimpung dengan urusan rumah tangga sehari-hari. Dimulai pagi-pagi merapikan kamar dan keseluruhan rumah, lalu memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu dan kadang-kadang lantai itu perlu dipel. Kadang-kadang Reza menyempatkan diri membantu meringankan pekerjaanku. Sisanya, aku menghabiskan waktu luangku dengan menulis, kadang-kadang dengan ponselku, atau sekadar santai di sofa sambil menonton tayangan televisi.
Terlepas dari itu semua, Reza juga tidak mengabaikan tanggung jawabnya pada restoran dan karyawan-karyawannya. Dia rutin mengontrol semuanya melalui Erik. Erik pun beberapa kali datang ke kampung untuk menyampaikan laporan dan perkembangan restoran, sekalian untuk mengunjungi kami.
Dan, di antara kegiatan-kegiatan yang monoton itu, ada banyak hal-hal yang juga ingin kuceritakan melalui tulisan-tulisan ini.
Pertama, ada momen paling bermakna yang kami lalui -- momen Ramadan pertama kami bersama. Reza tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya karena di hari-hari yang suci itu dia tidak melewatinya sendirian. Terlebih pada sahur dan buka di hari pertama, dia sangat antusias sampai-sampai dia membangunkan aku dan memintaku untuk segera menyiapkan sahur, padahal jam baru menunjukkan pukul dua kurang lima belas menit. Sedangkan dia baru akan makan jam empat kurang lima belas. Mungkin dikiranya aku akan masak dari awal, mulai dari ngulek-ngulek bumbu sampai ini itunya.
"Tinggal dipanaskan saja, Mas...," protesku.
Dia tercengang. "Oh...," katanya. "Ya sudah, ayo tidur lagi."
Ha Ha Ha! Capcay!
Tapi setidaknya selama tiga puluh hari itu dia selalu menghujaniku kecupan di pipi sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjadi istri yang melayaninya dengan baik. Kalau kata kang Sule mah prikitiwww... itu menyenangkan.
Momen indah lainnya tentu saja momen di saat lebaran -- idulfitri dan iduladha. Alasannya, karena aku melihat kebahagiaan di wajah ibuku, juga di wajah suamiku. Ibuku bahagia karena di lebaran tahun ini -- anak perempuannya sudah menjadi seorang istri. Sedangkan Reza -- dia bahagia karena sudah punya istri, dia punya ibu mertua, punya banyak keluarga, ada banyak kue dan hidangan lebaran -- intinya dia tidak sebatang kara dan tidak kehilangan momen lebarannya, dia tidak kesepian seperti yang ia takutkan sebelum ini -- semenjak ia kehilangan ibunya. Dengan senang hati dia memakai baju muslim couple denganku, so sweet sekali suamiku itu. Dia juga senang membagikan THR pada keponakan-keponakanku yang sekarang menjadi keponakan-keponakannya juga, anak dari para sepupuku.
"Aku belum pernah merasakan semua ini," katanya. "Jangankan keponakan, saudara saja tidak punya."
Aku menarik napas. "Aku tidak mau mendengar hal-hal semacam itu lagi," kataku. "Aku tidak mau melihat kesedihan di wajah suamiku, oke?"
Reza tersenyum, manis dan tampan berkolaborasi menjadi satu, menghiasi wajahnya.
Tetapi, di antara kebahagiaan itu terselip cerita yang menyebalkan, ketika ayahku mengundang Reza untuk buka bersama. Aku tahu, itu hanya untuk membuat Reza merasa tidak enak untuk menolak, padahal yang sesungguhnya ia inginkan adalah bertemu denganku.
"Boleh, tapi nanti, ya, saat aku menstruasi, atau kamu bisa pergi sendiri. Kalau kamu keukeuh mau aku ikut, tunggu di hari aku tidak puasa. Aku tidak mau berbuka bersama dia." Reza baru mau membuka mulutnya, tapi aku lekas mendahuluinya. "Aku tidak bermaksud mengingkari janjiku pada Tuhan. Tidak bermaksud durhaka terhadap suamiku. Tapi tolong, jangan posisikan aku di tempat itu -- tempat di mana aku bisa jadi durhaka terhadapmu. Tolong... jangan paksa aku. Setidaknya aku mau, kan, diajak bertemu dia?"
Reza mengangguk. "Oke, katanya. Sabar... kamu sedang berpuasa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Ning Sulistyawarni
next
2022-04-21
0
Nila
lanjuut
2022-03-31
0
Rosminaria Munthe
bila dalam keluarga ada saling pengertian ,damai lah hasil nya
2022-02-09
1