Cekrek!
Suara dan cahaya flash dari kamera ponsel Reza membangunkan aku pagi ini -- pagi pertamaku dengan status baru: istrinya -- Nyonya Inara Dinata. Aku menanggalkan nama belakangku dengan senang hati -- tanpa penyesalan sedikit pun. Sejak tahu keberengsekan ayahku, aku membenci nama Satria ada di belakang namaku. Aku senang karena menyandang status dan namaku yang baru.
"Selamat pagi, Istriku," Reza menyapaku lalu mengecup bibirku sekilas. Dia menyebut itu sebagai morning kiss, dan seulas senyum ceria penuh cinta terbit dari wajahnya yang tampan.
Ecieee... yang sudah bersuami.
"Pagi... Suamiku." Aku langsung tergelak dalam tawa, seolah apa yang baru saja kuucapkan itu adalah hal yang lucu. Rasanya aku masih belum percaya -- aku dan Reza sudah sampai ke titik ini -- titik di mana aku dan dia sudah terikat dalam hubungan pernikahan yang sah. "Lidahku masih kaku menyebutmu Suamiku."
Dia tersenyum. "Nanti juga akan terbiasa," katanya.
"Kamu memotretku, ya?"
Dia mengangguk. "Kita. Berdua," sahutnya. "Wajah pertama yang kulihat saat aku membuka mata. Wajahmu di hari pertama sebagai istriku. Yang baru bangun tidur dan belum mandi."
Aku menjulurkan lidah. "Sok romantis," kataku sedikit mengejeknya. Untungnya dia tidak menggubris. "Kamu sudah mandi?" tanyaku lagi sambil menyentuh rambutnya yang sudah terikat rapi.
"Sudah dari subuh, keramas." Dia mengerlingkan matanya dengan nakal.
"Maaf, ya," ujarku -- yang tak ingin menanggapi kenakalannya saat itu.
"Tidak apa-apa. Toh, kamu juga belum salat. Tidak apa-apa kalau bangun siang."
Aku tersenyum. Lalu berdiri dengan menyelubungkan selimut ke tubuhku -- hendak menuju kamar mandi. Saat itu Reza masih berbaring di tempat tidur. Dia memerhatikanku sambil cengengesan. Pasti dia merasa yang kulakukan itu lucu atau konyol. Mau bagaimana, aku masih merasa canggung di depannya jika hanya memakai pakaian dalam.
"Jangan malu-malu padaku sekarang," katanya.
Aku berbalik dan tersenyum padanya. "Aku tidak malu, kok." Kemudian aku melirik selimut yang kubalutkan ke tubuhku erat-erat. Menutupi jejak-jejak cintanya yang merah di leher dan seputar dadaku. Aku malu menyadari tubuhku yang merah di sana-sini karena kegilaan suamiku semalam. "Baiklah, mungkin aku memang malu. Sedikit. Aku butuh waktu untuk membiasakan diri."
Sepeninggalku mandi, Reza sudah keluar dari kamar. Sedangkan aku, aku keluar dari kamar beberapa puluh menit kemudian, setelah aku selesai mandi, berpakaian, dan berdandan rapi. Reza sedang duduk bersama dengan ibuku dan Ihsan di meja makan, menikmati sarapan dan teh hangatnya.
Hmm... harusnya aku yang menyiapkan itu, bukannya ibuku. Jujur aku sangat malu karena bangun siang. Kupeluk ibuku dan kucium pipinya. "Terima kasih, ya. Bunda mau repot-repot melakukan ini. Harusnya ini tugas Nara," kukatakan itu sambil merangkulnya dari belakang. Untungnya semua orang juga belum keluar dari kamar masing-masing, jadi aku tidak perlu menahan malu pada mereka semua.
"Tidak apa-apa. Bunda mengerti, kok. Namanya juga pengantin baru. Kalian melewati malam yang panjang. Capek, kan?"
Ibuku tersenyum -- senyum yang penuh arti. Dia pasti mengira aku dan Reza sudah melewati malam pertama. Sebab, aku tidak menceritakan soal penusukan dan operasi Reza kepadanya, pun kepada yang lain.
Aku dan Reza hanya saling melirik. Kutatap matanya dengan harapan dia mengerti: jangan sampai dia keceplosan. Aku tidak ingin ibuku khawatir dan berpikir macam-macam tentang musibah yang menimpanya tempo hari.
Dia pun menganggukkan kepala. Aku lega dia mengerti dan tidak mengatakan apa-apa pada ibuku. "Kalian mengobrol apa tadi?" tanyaku -- bermaksud mengalihkan topik pembicaraan.
"Kami membahas soal rencana kita untuk tinggal di sini untuk sementara waktu. Bunda setuju, dan Bunda juga akan menetap di sini bersama kita. Ya kan, Bund?"
Ibuku mengangguk dan mengatakan iya. Aku senang -- benar-benar senang.
"Omong-omong, apa di sekitar sini ada yang jual sarapan pagi?"
"Ada," ibuku menyahut. "Memangnya kamu mau beli apa, Nak?"
"Mau beli makanan, Bunda. Mau beli jajanan khas Palembang."
"Ya iya lah... masa kamu mau beli batu koral," canda ibuku. Kontan, kami semua tergelak.
Setelah tawanya reda, Reza langsung menjawab, "Reza tidak tahu namanya, Bund. Makanan itu warnanya putih, terbuat dari beras, digulung-gulung, disiram kuah gurih, plus ditaburi bawang goreng."
"Bugra...!" seru Ihsan dengan semangat.
Seketika suasana meja makan itu kembali riuh dipenuhi gema tawa kami -- aku dan ibuku. "Bugro kelles...," kataku. "Jangan mentang-mentang kamu sudah lama tinggal di Jakarta, semua huruf O kamu ganti dengan huruf A. Dasar...."
Ihsan tersipu karena kekeliruannya. Tapi karena dia juga sangat menyukai bugro, dia pun mengajak Reza untuk berburu kuliner pagi, dan hal itu hampir terjadi setiap hari sampai Ihsan dan orang-orang lainnya pulang ke rumah dan ke tempat tujuan mereka masing-masing. Yeah, Ihsan harus bekerja dan kembali ke Jakarta. Ibuku sebenarnya tidak tega membiarkannya tinggal sendiri, tapi ibuku juga mengkhawatirkan aku, ia takut aku belum terbiasa dengan kehidupan baruku, terlebih karena kami berada di kampung -- bukan tidak mungkin hal-hal yang bersangkutan dengan ayahku bisa merusak suasana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Deliana
pagi yg indah... 😁😁
2022-07-05
1
Nila
lanjuut
2022-03-31
0
Rosminaria Munthe
lanjut ya Thor.
2022-02-09
1