#3. Pasutri Tebar Kemesraan

...Jangan lupa mandi terus bersiap setelah dari kantor. Jam setengah tujuh malam saya jemput...

"Hem," seorang wanita berpakaian santai tengah membereskan barang-barang di dalam kamar apartemennya.

Wanita itu terlihat sedang tersenyum sendiri. Tengah memikirkan ucapan bosnya beberapa jam lalu ketika di kantor.

Iya, wanita itu adalah Giselle. Dia baru saja selesai mencuci pakaian, lalu dilanjut menyapu lantai, setelah itu membereskan lemari bukunya yang berisikan buku-buku novel, majalah, dan berkas-berkas yang masih harus dipelajari sebagai seorang sekretaris.

Ia mengerjakannya setiap sore, atau bahkan malam sekalipun. Karena jika pagi, Giselle tidak punya banyak waktu. Jika siang, Giselle bekerja. Jadilah sore dan semua pekerjaannya selalu selesai sampai malam.

"Hem. Kok gue salting, ya," gumam Giselle. Wajahnya sedikit memerah ketika mengingat berbagai perlakuan manis yang selalu ditunjukkan Aiden padanya.

Dari mulai gaya bicara yang selalu mudah tersenyum padanya, dan sifatnya yang sedikit agak jahil namun berakhir membuatnya baper tingkat akut, hingga berbagai kebaikan yang sudah dia berikan pada Giselle untuk biaya pengobatan sang mama dengan menjadikannya sekretaris yang harus selalu siap dan sigap dimanapun dirinya berada.

"Huft..." Giselle membuang napasnya perlahan. Menatap pantulan dirinya dicermin panjang dihadapannya.

Pantulan dirinya dari atas sampai bawah terlihat jelas disana. Giselle memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi, namun sedikit berisi. Pipinya yang chubby ketika tersenyum apalagi tertawa, terlihat sangat cantik dan menggemaskan. Hanya saja, wanita itu tidak menyadari kelebihan fisiknya. Dia malah selalu mencari kekurangannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak layak dicintai.

Semua berawal karena insiden masa SMA-nya. Waktu itu, Giselle datang ke sekolah dengan setelan seragam yang rapi. Tak lupa, rambutnya yang waktu itu lurus sepunggung, ia gerai begitu saja. Poninya yang dipitong pendek hingga menutupi sebagian dahinya, terlihat begitu imut bagi sebagian orang yang meliriknya. Cantik. Bahkan beberapa anak lelaki banyak yang mendekatinya. Dimulai dari anak seangkatan, sampai kakak kelas.

Waktu itu, Giselle adalah sosok periang. Namun sosok itu seolah lenyap setelah pembully-an yang ia alami dari kakak kelasnya sendiri.

Bukan hanya satu orang yang membully-nya. Ada empat orang. Dan seluruhnya adalah perempuan.

Hanya karena mantan pacar dari salah satu kakak kelasnya menyukai Giselle, mereka tega menyakiti Giselle dikamar mandi. Mengguyur tubuh mungilnya dengan air dingin. Sesekali, mereka menendang atau bahkan memukul tubuh Giselle. Mengatai Giselle dengan kata-kata kasar yang terdengar tidak mengenakan.

"LO ITU GAK USAH KECENTILAN JADI CEWEK! LO TUH, GAK CANTIK! CANTIKAN JUGA GUE KEMANA-MANA! LO MENDING GAK USAH NGEDEKETIN PACAR GUE!"

"DAN LO DENGER, YA!!! MUKA LO ITU KAYAK ANJ*NG, TAHU GAK! GAK PANTES MUKA BEGITU BERSANDING SAMA COWOK SEKEREN PACAR GUE!" Gertak beberapa kakak kelas perempuannya kala itu.

Sudah sembilan tahun berlalu, tapi Giselle tidak akan pernah bisa melupakannya.

Disana Giselle sadar. Fisiknya tidak sempurna. Benar kata kakak kelasnya sewaktu SMA. Dia tidak pantas mencintai siapapun. Atau bahkan dicintai. Memangnya, siapa yang akan bersanding dengan seorang yang tidak cantik sepertinya? Dunia sudah berbeda. Lelaki zaman sekarang memacari wanita hanya karena fisik mereka yang cantik dan tubuh mereka yang molek. Sedangkan dirinya? Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi.

Ting tong!

Sebuah bunyi bel di depan pintu apartemennya mampu menyadarkan Giselle tentang lamunannya di masa lalu. Tanpa terasa, setetes bening dari pelupuk matanya menetes hingga sedikit membasahi pipi chubby-nya.

Tanpa mengelapnya terlebih dahulu, Giselle lalu keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu apartemen.

Diliriknya sekilas jam dinding di ruang tv menunjukkan pukul enam sore. Dan di luar, cuaca juga masih terlihat sore.

Siapa yang datang bertamu?

Tidak mungkin itu Aiden bosnya!

Orang, dia janjinya mau jemput jam setengah tujuh malam, kok!

Cklek

"Eh? Pak!?" pekik Giselle. Didapatinya, sang bos tengah berdiri tegap di ambang pintu apartemennya.

"Kamu belum siap-siap?" Sebuah sapaan yang terdengar seperti pertanyaan dilontarkan oleh Aiden.

Giselle terlihat salah tingkah dengan menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Dirinya saat ini masih memakai kaos polos lengan pendek berwarna putih dengan celana pendek diatas lutut berwarna merah terang.

Aiden menatap Giselle dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu beralih menatap wajah sekretarisnya yang terlihat sedikit mencurigakan.

Iya, bola matanya sedikit berair dengan sebelah pipinya yang sedikit basah. Seperti sebuah tetesan air hujan yang tiba-tiba tumpah ke wajahnya. Namun, Aiden yakin. Wajah sekretarisnya itu basah bukan karena air hujan, melainkan sehabis menangis.

"Kamu gak pa-pa?" pertanyaan Aiden, setelah keduanya tadi sempat saling terdiam.

Giselle mengalihkan seluruh perhatiannya pada Aiden. Kedua alisnya bertaut. Ia merasa sedikit bingung dengan pertanyaan dari bosnya barusan.

"Memangnya, saya terlihat seperti baru kena musibah, ya, Pak?" Tanya Giselle cengo.

Aiden terlihat menghela napas, lalu berjalan satu langkah menghadap tubuh pendek sang sekretaris dihadapannya.

*Ehm, tubuh Giselle jadi pendek jika berhadapan dengan Aiden. Lebih pendek malah.

"Kamu habis nangis?" pertanyaan datar dibarengi sentuhan hangat disebelah pipinya, mampu menghentikan sejenak degup jantung wanita itu.

Giselle menengadahkan wajahnya. Menatap wajah sang bos yang berada sangat dekat dengan wajah dirinya. Kedua bola mata sipit itu menatapnya datar, namun tersirat kekhawatiran disana.

Tangannya yang halus, menyentuh pipi chubby Giselle. Mengusap sisa air mata yang sama sekali tidak disadari oleh wanita itu.

"Siapa yang udah berani bikin kamu nangis?" tanya Aiden lagi. Tatapan mata keduanya kini bertemu.

Giselle yang semula tengah bergelut dengan isi pikirannya, kini berbagai pikiran itu enyah setelah mendengar pertanyaan baru yang dilontarkan Aiden padanya.

"Tidak ada," jawab Giselle, seraya memalingkan wajahnya yang mulai terasa memanas.

Heuh... Jangan bilang blushing karena salting lagi!?

"Ehm. Mau masuk dulu, Pak?" sahut Giselle. Ia berusaha untuk mengalihkan perhatian Aiden tentang pertanyaannya beberapa menit lalu.

Aiden terlihat sadar. Lalu dia juga ikut berdeham kecil sembari mengalihkan pandangannya kearah lain. Lalu kembali menatap sang sekretaris yang sudah mempersilakannya masuk ke dalam apartemen wanita itu.

"Masuk dulu, Pak."

Aiden tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menuruti perkataan sang sekretaris yang menyuruhnya masuk.

"Saya ke kamar dulu," ucap Giselle, berpamitan sebentar. Lalu setelah mengucapkan kalimat itu, ia langsung melenggang menuju kamarnya.

Di dalam apartemen Giselle, tepatnya di ruang tv, Aiden terlihat menduduki salah satu sofa disana. Kemudian tatapannya mulai menjelajah seisi ruangan itu yang terlihat begitu rapi, dengan beberapa foto Giselle yang menggantung di tembok polos yang dicat dengan cat berwarna putih.

Tak sadar, tubuhnya mulai beranjak dari sofa. Langkah kakinya membawanya menuju salah satu foto yang diyakini bahwa foto itu adalah foto semasa SMA. Terlihat dari seragam putih abu-abu yang dipakai Giselle dan seorang gadis difoto itu.

"Lho? Ini kayak Chelsea?" Gumam Aiden, sembari terus menyelidik foto tersebut.

"Oh iya. 'Kan mereka satu SMA." Gumamnya lagi sembari menganggukan kepala beberapa kali.

Setelah cukup puas memandangi foto tersebut, Aiden lantas berjalan kembali menuju sofa.

Namun sebelum langkahnya sampai di sofa, ia dikejutkan dengan sebuah suara pintu yang ditutup dengan cepat.

Perhatiannya seketika tertuju pada seorang wanita berpakaian kasual berwarna putih polos dengan lengan pakaiannya yang hanya dipotong sesiku, dan celana jeans panjang berwarna biru langit yang dia kenakan. Rambut bergelombangnya yang panjangnya hanya sepunggung dibiarkan tergerai begitu saja.

Make-up yang tidak terlalu tebal yang terlihat begitu natural, memberikan kesan cantik pada wanita yang tak lain adalah Giselle. Sekretarisnya sendiri.

"Sudah?" sahut Aiden dengan wajah berbinar. Seperti menyiratkan kepuasan dari sesuatu yang baru saja dia lihat dihadapannya.

"Sudah, Pak." jawab Giselle cepat. Sebuah senyum manis lantas wanita itu terbitkan.

"Ya sudah. Kita langsung pergi sekarang," ujar Aiden, seraya melengos pergi meninggalkan Giselle begitu saja.

Giselle yang ditinggalkan begitu saja oleh bosnya hanya mampu menghela napas. Sudah biasa. Sikap bosnya itu kadang manis, kadang datar, kadang dingin, kadang cuek, kadang jahil, dan banyak lagi varian rasanya. Eeh,

****

Di tempat lain,

Cup

Seorang pria berstatus ayah dua anak, baru saja mencuri sebuah ciuman dibibir wanita yang menjadi istrinya.

Wanita yang menjadi istrinya, saat ini tengah berkutat dengan peralatan masak di dapur luas mansion. Wanita itu melirik sebal suaminya yang selalu saja berhasil mengganggu aktivitasnya.

Ditatapnya tajam sang suami, namun yang ditatap hanya cengengesan tidak jelas.

"Jangan ganggu!" ucapnya ketus. Lalu melenggang dari dekat kompor, menuju kulkas.

"Kenapa gak pembantu aja yang masak! Kenapa harus kamu? Udahlah, kamu diem aja. Duduk dipangkuan aku, ngapain pake masak segala! Pembantu disini gak cuma satu, ya," ucapan random dari suaminya tak digubris wanita itu. Dia malah terlihat santai mengambil beberapa sayuran dari dalam kulkas dengan kedua tangan mungilnya.

"Itumah maunya kamu, kalo aku duduk dipangkuan kamu! Enggak, yah. Aku itu sengaja masak sendiri, 'kan Giselle mau kesini, gimana sih. Giselle itu sahabat aku," katanya sembari mencuci sayuran yang sudah selesai ia potong.

Ya, pasangan suami-istri itu tak lain adalah Kenan dan Chelsea. Pasangan romantis namun kadang suka bertingkah diluar nalar itu tengah berdebat saat ini.

Biasalah, Kenan. Masalah kecil, dibesar-besarkan. Ditambah sikap manjanya yang melebihi kedua anak mereka yang masih bayi. Sungguh, rasanya Chelsea saat ini tengah mengurusi tiga bayi sekaligus.

"Taruh, sayang." dengan tiba-tiba, Kenan lalu memeluk Chelsea dari belakang. Membuat wanita itu terkejut bukan main. Wadah sayuran yang habis dibersihkan itu hampir saja terjatuh.

"Ken, jangan mulai, deh. Aku lagi masak. Jangan ganggu!" ucap Chelsea, sembari berusaha melepaskan diri dari cengkraman Kenan.

Bukan Kenan namanya, jika meloloskan mangsanya begitu saja.

Dengan jahilnya, Kenan semakin memeluk erat tubuh sang istri. Tak memedulikan Mama Lucy yang terdiam mematung diambang pintu dapur.

"Dasar anak muda!" celetuk Mama Lucy pelan.

Niatnya yang ingin membantu menantu kesayangannya memasak, malah diurungkan begitu saja setelah melihat pemandangan romantis antara anak dan menantunya.

Mama Lucy lalu melengos dari dapur. Ia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah, untuk sekedar menonton acara tv disana. Dan bertepatan dengan itu, wanita paru baya itu dikejutkan dengan sepasang anak muda lainnya yang memasuki mansion dengan raut wajah sopan.

"Sore, Tante." sapa hangat dari Giselle dan Aiden berbarengan, lalu menyalimi sopan Mama Lucy.

"Sore juga,"

"Cepet banget sampenya!? Kata Chelsea, kalian datangnya paling setengah jam lagi." Mama Lucy tersenyum senang kearah muda-mudi itu, yang sempat dikenalkan Kenan padanya beberawa waktu lalu.

"Chelsea-nya dimana, tante?" tanya Giselle.

"Tuh, lagi berduaan di dapur. Gangguin sana, biar tahu rasa!" celetuk Mama Lucy. Aiden dan Giselle terlihat saling tatap satu sama lain.

"Kita nyusul ke dapur, gak pa-pa nih, Tan?" tanya Aiden, yang diangguki anggukan antusias dari Mama Lucy.

"Gak pa-pa! Udah, kalian kesana aja," paling-paling entar si Kenan yang ngambek, tambah Mama Lucy dalam hati.

Keduanya pun mengangguk ragu, lalu berjalan beriringan menuju dapur.

Dan ketika keduanya telah sampai diambang pintu dapur yang terbuka, sebuah pemandangan yang menyiksa para jomblo terlihat langsung alias live dihadapan mereka.

Kenan tengah mencium Chelsea!

"Astagfirullah haladzim! Maaf, salah masuk!" pekik Giselle sekencang mungkin. Hingga kegiatan sepasang suami-istri itu terhenti.

"Inget, woy! Ini dapur, Mas Bro!" kekeh Aiden, dengan disertai tawa ringan.

Dalam hati Chelsea, ia berteriak malu atas kejadian yang telah disaksikan oleh Aiden dan Giselle.

Namun dalam hati Kenan, ia berteriak kesal karena kedua orang itu datang diwaktu yang bukan seharusnya.

"Kok datangnya cepet banget?" tanya Kenan, sarkas.

Aiden dan Giselle terlihat kembali saling pandang dengan raut wajah terkejut.

"Katanya mau datang jam setengah tujuh! Ini baru jam enam, lho!?" katanya lagi. Seakan tidak terima atas apa yang baru saja sepasang bos dan sekretaris itu perbuat pada rencana manisnya.

"Sorry, Ken! Gue disuruh Tante Lucy cepet-cepet kesini tadi. Katanya, dia kangen sama gue!" Kata Aiden. Memuai pembelaan dirinya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Biasalah, alibi.

Omong-omong, Aiden jika bersama Kenan tidak akan bicara formal. Dia akan berbicara santai, layaknya anak muda. Padahal, umur keduanya sudah kepala tiga. Bukan anak muda lagi, jika salah satunya sudah jadi bapak!

"Oh." balas Kenan, jengah. Lalu kembali memeluk sang istri, tanpa peduli pada orang lain yang berada tepat dibelakang mereka.

To be conrinue...

Yeyeyeyy!!! Balik lgi ma aku setelah sekian lamanyah kgk update! Kangen gak? Enggak yah? Huhuu, kirain.

Part ny aku panjangin dikit, hehe. Itung2 menebus dosa karena gk ada kabar selama beberapa hari kebelakang ini.

Sibuk mikirin tugas sekul, kan skrng SFH. Harus banyk kuota gimna gituh di hp ini hahaa,

Btw, mau di up kapan nieh???

Terpopuler

Comments

Sena

Sena

, seru... like...

2020-11-10

0

Sartini Cilacap

Sartini Cilacap

Dasar Kenan sibucin

2020-04-29

0

🎧Kim Taehyung😶

🎧Kim Taehyung😶

lanjuutt

2020-04-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!