Eps 5- kebenaran

Siang itu, entah kenapa Sean merasa tidak nyaman di kantor. Padahal selama ini, ruangan itu adalah tempat paling damai baginya, dengan tumpukan dokumen yang tak pernah ada habisnya, menemaninya setiap hari.

Ia berdiri, melangkah keluar dari ruangannya, lalu menuju ke ruang John.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” sapa sang sekretaris, sedikit bingung. Biasanya Sean cukup menelepon jika butuh sesuatu, tapi kini, pria itu keluar sendiri dari ruangannya.

“Tidak.”

Tanpa menjelaskan apa-apa, Sean melangkah ke ruangan di sebelah, membuka pintu. Ia tak masuk, hanya berdiri di ambang pintu.

“John, hari ini kamu yang tangani semua pekerjaan.”

“Baik, Tuan.”

Sean menutup pintu dan kembali ke ruangannya sebentar. Tak lama kemudian, ia keluar lagi, kali ini dengan tas di tangan.

Ia masuk ke dalam lift dan menunggu hingga pintu terbuka. Beberapa karyawan yang berpapasan menunduk hormat, tapi Sean hanya melangkah tanpa menoleh sedikit pun.

Turun ke basement, ia langsung masuk ke dalam Lamborghini-nya. Untuk kali ini, ia memutuskan menyetir sendiri. Tanpa sopir.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan kota. Beberapa jam kemudian, ia tiba di mansion miliknya.

Sean keluar dari mobil, masuk ke dalam rumah, langsung menuju dapur tanpa mengganti pakaian kantornya. Para pelayan di dapur menunduk hormat saat melihatnya datang.

“Selamat siang, Tuan Muda. Ada yang bisa kami bantu?” tanya kepala pelayan.

“Ambilkan kotak obat,” ucapnya datar.

“Baik, Tuan.” Kepala pelayan segera menyerahkan kotak obat beserta salep penghilang bekas luka, yang didatangkan langsung dari China.

“Perlu dibantu lagi, Tuan?”

“Tidak,” ucap Sean singkat, lalu berbalik hendak pergi. Namun ia berhenti, menoleh kembali. “Mama sama Papa ke mana?”

“Tuan Besar sedang ada urusan di luar kota. Mereka pergi sejak pagi.”

Sean mengangguk, lalu melangkah meninggalkan dapur.

**

Dengan kotak obat di tangan, Sean menuju ke mes lama yang kini ditempati oleh istrinya.

Setelah membuka pintu dan menguncinya kembali, ia langsung menuju kamar Lora. Ruangan itu gelap. Ia menyalakan lampu, dan pemandangan di depannya membuat dadanya terasa sesak.

Lora tertidur dalam posisi tak beraturan. Mangkuk bubur yang disajikan tadi pagi sudah tidak ada. Tubuhnya tampak menggigil walau diselimuti.

Sean berjongkok di samping ranjang, duduk perlahan. Ia membuka selimut dari punggung sang istri dengan hati-hati.

Yang tampak di hadapannya adalah luka-luka mengerikan. Punggung Lora penuh bekas cambukan, sebagian sudah membiru dan membengkak. Beberapa luka tampak seperti sobekan dalam. Napas Sean tercekat. Ia meraba perlahan punggung itu, seolah mencoba meminta maaf lewat sentuhan.

Tanpa sadar, air matanya menetes. Ia tahu, semua ini akibat perbuatannya.

Ia membuka kotak obat, mengambil salep, lalu mengoleskannya dengan lembut di punggung Lora. Setelah itu, ia menggenggam tangan kiri gadis itu, memandangi tulisan di sana, tanda bekas ukiran yang ia sendiri tahu asal-usulnya. Dengan penuh penyesalan, ia mengoleskan lebih banyak salep di sana.

“Ak… sakit,” suara Lora lirih, pelan sekali. Matanya terbuka. Ia cepat-cepat menarik selimut, bangun dari posisi tidurnya.

Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, tapi tubuhnya gemetar hebat. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia menggenggam erat selimut di dadanya, seperti seseorang yang sangat ketakutan.

“Lora…” panggil Sean pelan.

Lora hanya diam, air mata jatuh membasahi wajahnya. Ia mengulurkan tangan kirinya pada Sean.

“Aku… pembunuh…” bisiknya, menatap Sean dengan mata sayu dan penuh luka.

Sean memalingkan wajah, enggan menunjukkan emosinya. Situasi ini terlalu menyiksa. Ia ingin membenci gadis ini, tapi di sisi lain hatinya seolah ditikam berkali-kali.

“Kenapa kamu lakukan itu?” tanyanya pelan, namun tajam.

“Siapa dia?” lanjutnya, suaranya kini lebih dingin.

“Dia… adikku. Kamu tahu itu. Leon, adik yang aku sayangi, kamu bunuh! Kamu nggak pantas hidup, Lora. Kamu pantas menderita!”

Lora menggenggam rambutnya sendiri, menarik-narik dengan kasar.

“Dia… dia mau nyakitin aku… a-aku… aku nggak sengaja… aku takut… dia…”

Tangis Lora meledak. “Aku pembunuh… aku berdosa… hiks… aku jahat…”

Ia terus memukul kepala dan wajahnya sendiri dengan tangan gemetar. “Maaf, Leon… maaf… aku nggak mau…”

Mendengar nama itu membuat dada Sean terbakar.

“JANGAN SEBUT NAMA ITU!” bentaknya. “KAMU NGGAK PANTAS SEBUT NAMA ITU! KAMU PENGHANCUR, LORA! PEMBUNUH!”

BRAKK!!

Kotak obat yang ia pegang dibanting keras ke wajah Lora. Tepat di pangkal hidung. Darah langsung mengucur deras dari sana.

Lora tak mengeluarkan suara, hanya menutup wajah dengan selimut.

Sean langsung tersadar. Ia berlutut panik di depan Lora, tubuhnya bergetar hebat. Belum satu hari Lora tinggal di mes ini, tapi sudah sebanyak itu penderitaan yang ia timbulkan.

Dengan tangan yang gemetar, ia menarik selimut Lora, mengangkat wajah gadis itu perlahan. Darah terus mengalir dari pangkal hidungnya. Luka di wajahnya menganga, membuat Sean menggigil.

“Ma…af,” lirih Lora, meski wajahnya berlumuran darah.

Tanpa ia duga, Sean memeluknya erat. Tapi Lora mendorong tubuh Sean dengan lemah.

“Ayo pulang,” kata Sean lirih.

Lora menggeleng. “Aku nggak punya tempat buat pulang… aku nggak punya masa depan… aku pembunuh. Aku pantas menderita,” ucapnya sambil kembali menyembunyikan wajahnya dalam selimut.

Beberapa saat kemudian, ia menatap Sean dengan mata basah.

“Kita menikah karena dendam, kan?” Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu penuh getir dan luka.

Sean tak mampu menjawab. Memang benar, ia menikahi Lora demi balas dendam atas kematian adiknya. Tapi melihat gadis ini… sesakit itu… Sean merasa dirinya lebih kejam dari siapa pun.

**

Dua tahun lalu.

Lora, seorang gadis desa yang lugu, menjalin hubungan dengan Leon, adik Sean. Awalnya semua terlihat baik-baik saja, hingga malam itu di apartemen mewah milik Leon.

Leon memaksa. Ingin berbuat sesuatu kepada gadis desa itu. Lora berontak. Berkali-kali ia menolak, memohon. Tapi Leon tak peduli.

Tangannya mencengkeram pergelangan Lora, mendorong tubuh gadis itu ke sofa. Nafas Leon memburu, pandangannya liar. Lora meronta sekuat tenaga, dan di tengah kepanikan, ia berhasil mendorong Leon sekeras-kerasnya.

Leon jatuh. Kepalanya menghantam ujung meja kaca.

BRUK!

Pecahan kaca menancap di pelipis Leon, Dalam. Darah langsung mengalir. Nafasnya berhenti tak lama kemudian.

Lora panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tanpa sadar, ia melarikan diri, meninggalkan tempat kejadian.

Namun Lora tak tahu, seluruh apartemen dipenuhi kamera pengawas.

Sejak malam itu, hidupnya berubah. Ia tidak pernah tenang. Setiap malam dihantui bayang-bayang Leon, rasa bersalah yang tak kunjung pergi. Ia hidup dalam penyesalan, mengurung diri dalam siksaan mental yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya.

Dan kini, semuanya kembali menghantuinya.

...****************...

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Rmantisvn (Ajiee)

Rmantisvn (Ajiee)

ditunggu yaa thor jangan lama2 up nya

2021-10-24

0

Gadis Manggar

Gadis Manggar

lanjut...leon yg salah delora hanya membela diri

2021-10-24

0

who you

who you

lanjut

2021-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!