Eps 4- Misteri

Lora perlahan membuka matanya, merasakan kesepian yang luar biasa di tempat itu. Kekecewaan kembali menyergap saat ia melihat darah di dekatnya. Ia berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi, namun penderitaan itu nyata adanya. Anehnya, Lora tidak merasakan sakit sedikit pun, padahal tubuhnya, terutama tangannya, sudah berlumuran darah. "Apakah aku sudah mati?" bisiknya pada diri sendiri.

"Jika benar, terima kasih Tuhan," ucapnya lagi dengan mata berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata.

Saat Lora mengangkat kepalanya, ia melihat sosok yang tak asing. "Apakah di alam lain aku juga harus tetap melihat dia, Tuhan?"

"Lora," panggil suara itu, membuat Lora tersadar bahwa ia masih hidup.

"Tidak, aku pasti salah. Kenapa aku tidak merasakan sakit?"

"Lora, ayo keluar," ucapnya lagi.

"Apakah aku sudah mati rasa?" sahut Lora tanpa merespons pria itu.

"Lora, ayo," pria itu berjongkok di depan Lora.

"Kamu... tidak, aku tidak mau. Kamu jahat! Kamu jahat! Aku mau pulang ke rumah Bapak. Bapak pasti sudah menungguku pulang." Lora bangkit lalu berlari keluar karena kebetulan pintu tidak tertutup.

Sean menatap istrinya dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan. Ia merasa Lora sudah cukup menderita, dan ia juga ingin melepaskan Lora. Lora pantas mendapatkan yang lebih baik darinya. Namun, setiap mengingat semua yang telah dilakukan Lora, ia ingin sekali menghabisi gadis itu.

Saat itu, Lora terus berlari hingga tiba di pagar belakang yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia memanjatnya, ia merasakan sengatan listrik yang membuatnya langsung terjatuh. Tanpa sepengetahuannya, pagar itu ternyata telah dialiri listrik.

Pada saat bersamaan, Sean datang. Ia berlari menghampiri istrinya yang tidak sadarkan diri, dengan pakaian berlumuran darah. "Lora, bangun," panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu.

Lora yang belum makan sama sekali, ditambah luka-luka di tubuhnya, membuatnya begitu lemah dengan wajah pucat dan kantung mata menghitam. Sean melihat banyak goresan di tangan istrinya, terlihat seperti beberapa huruf. Namun, ia tidak bisa membacanya karena tertutup darah yang sudah mulai mengering. Ia tahu apa yang telah terjadi dan siapa pelakunya, tapi apa yang harus dilakukannya? Ia yang mengundang semua ini.

Dengan khawatir, Sean menggendong Lora. Bukan khawatir karena cinta, melainkan ia khawatir Lora akan meninggal karena kondisinya yang sudah begitu parah. Ia membawa Lora kembali ke kamar gadis itu lalu memanggil beberapa pelayan untuk membersihkan darah di sana serta membersihkan tubuh Lora.

Setelah menunggu lama, semuanya sudah beres. Namun, Lora hanya dipakaikan selimut karena banyaknya luka di tubuhnya. Bahkan luka cambukan itu sudah membengkak, membuat para pelayan takut. Keluarga di rumah itu adalah orang yang sangat baik, tapi apa yang dilakukan gadis itu sehingga tuan mereka bisa semarah itu?

"Bawakan juga makanan, dia belum makan dari kemarin."

"Baik, Tuan Muda."

Setelah beberapa saat, pelayan itu datang dan hendak masuk, tetapi Sean mencegahnya. "Jangan masuk, berikan pada saya."

Pelayan itu mengangguk dan menyerahkan bubur pada Sean. Sean masuk ke dalam dan melihat istrinya terbaring di tikar tanpa bantal, hanya diselimuti. Sungguh malang nasibnya. Selama sembilan belas tahun Lora hidup, ia tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Sean tahu itu, Lora sudah banyak bercerita.

Sean melihat goresan di tangan Lora adalah beberapa huruf. Diambilnya tangan itu yang kebetulan tidak tertutup apa pun. Namun, tiba-tiba ia menghempaskan tangan itu. "Pembunuh." Ia sungguh benci dengan semua yang mengingatkan tentang hal itu.

**

Sementara itu, di desa, terlihat Bapak Lora, Wawan, sedang duduk sendirian di kursi. Pikirannya saat ini tertuju pada Lora. Entah mengapa, sejak semalam perasaannya tidak enak. Ia ingin sekali menelepon Lora lagi, tetapi ia sungkan pada Sean yang kini sudah memiliki hak penuh terhadap putrinya.

"Mas, sudah waktunya makan," ucap adiknya yang bernama Erika.

"Sebentar dulu, Rik. Mas masih mau duduk di sini," jawab Wawan.

"Tapi sudah mau siang, Mas. Nanti sakitnya kambuh lagi bagaimana?"

"Mas tidak lapar, Rik. Dari semalam Mas kepikiran terus sama Lora, bagaimana keadaannya di sana."

"Lora bukan anak kecil lagi, Mas. Dia sudah besar dan punya suami. Kalau ada masalah pasti dia akan mengabari kita, bukannya semalam dia sudah menelepon Mas, kan? Lagian ini masih pagi, Mas, namanya juga pengantin baru pasti lupa segalanya."

Pak Wawan terlihat berpikir sebentar, kemudian ia berbicara, "Tapi perasaan Mas tidak enak, Rik."

"Maklum lah, Mas. Lora kan perginya tidak kembali."

"Jangan bicara begitu, Rik. Kalau mereka ada uang pasti akan datang menjenguk kita. Waktu Lora ke kota dua tahun yang lalu saja tidak sampai setahun tapi dia pulang katanya tidak bisa jauh sama kita," ucap Pak Wawan menasihati adiknya.

"Tapi siapa tahu isi hatinya, dia kan buk-"

"Sstt, diam, Rik. Mas tidak suka kamu bicara begitu."

"Tapi memang benar, Mas. Mas juga harus kasih tahu dia. Mau sampai kapan Mas menyembunyikan hal sepenting ini sama dia?"

"Tuhan memang sudah menitipkan dia ke kita, jadi sekarang jangan simpan rasa benci di hati kamu lagi. Lora juga sudah tidak tinggal lagi sama kita, mau sampai kapan kamu bawa rasa benci itu? Lagian dia juga tidak ada salah sama kamu."

Erika hanya bisa memajukan bibirnya saat diceramahi oleh sang kakak. Usianya sudah hampir empat puluh tahun, namun ia belum juga menikah, membuat emosinya kadang meningkat tidak jelas.

**

Terlihat seorang pria bertubuh tinggi tegap tengah berjalan gagah menuju sebuah bangunan tinggi, diikuti oleh seorang pria di belakangnya. Semua pandangan tertuju pada keduanya, apalagi sang atasan yang tak lain adalah Sean Wiratama.

Semuanya menunduk memberi hormat kepada sang pemimpin yang berjalan penuh karisma dengan tuxedo hitamnya serta kacamata hitam yang bertengger indah di hidung mancungnya. Wajahnya terlihat begitu sempurna dengan ketampanan yang luar biasa. Bukan hanya ketampanannya, postur tubuh dan kepintarannya yang luar biasa membuatnya diidolakan di mana-mana.

Banyak sekali yang mendambakan dirinya yang terlihat sempurna itu. Namun, siapa sangka jika ia sudah memiliki seorang istri yang hanya gadis desa. Bahkan orang tuanya tidak tahu jika putranya sudah memiliki seorang pendamping yang saat ini mereka siksa.

Keduanya memasuki sebuah lift khusus dengan begitu gagah. Sang asisten yang tak lain adalah John, menekan angka 14, tempat ruang khusus keduanya. Tak lama kemudian terdengar bunyi "Ting" dan pintu lift terbuka. Ketika mereka berdua keluar, mereka sudah disambut oleh seorang wanita cantik yang tak lain adalah sekretaris Sean.

"Good morning, Sir," sapa sekretaris itu dengan hormat.

Sean mengangguk dan John segera membukakan ruangan untuk Sean. Sean memasuki sebuah ruangan dengan tulisan "Ruangan CEO" di atasnya. Sedangkan John memasuki sebuah ruangan kaca di depan ruangan itu dan bertuliskan "Asisten CEO".

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

DhevaSya

DhevaSya

semangat ,,terus thorr ,,,gak sabar buat mentikan up selanjutnyaaaa😁

2021-10-22

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!