Lukas menghentikan mobil di depan rumah dua lantai bercat putih bergaya futuristik.
Itu adalah salah satu rumah milik keluarga Buwono di Jogja.
Pagar rumahnya juga berwarna putih bermotif bunga sulur yang cantik.
Asal tahu saja, di Jogja ini keluarga Buwono punya satu rumah di tiap kabupaten.
"Bagus banget rumahnya, Sat. Saudaramu hartawan ya?" tanya Lukas begitu meletakkan koper Satrio di samping cowok itu.
Wajahnya kelihatan sekali mengagumi rumah itu.
"Bukan. Saudaraku namanya Budiman." sahut Satrio sambil terkikik yang mendapat balasan tonjokan ringan di lengannya.
"Thanks ya." kata Satrio sambil mengulurkan beberapa lembar uang merah kepada Lukas.
"Ini kebanyakan, Bro." kata Lukas sambil mengulurkan kembali beberapa lembaran uang itu, pada Satrio.
"Bawa aja. Anggap saja aku nitip buat kita jajan kalau kita ketemu besok kapan- kapan." tolak Satrio halus.
"Tapi ini banyak banget sisanya, Sat...."
"Berarti kita bisa jajan beberapa kali dengan itu. Inget, kamu besok yang bayarin kalau kita ketemu di warung." kata Satrio sambil menunjuk uang itu.
"Aku modelan orang yang nggak bisa megang uang. Udah bawa aja." sergah Satrio saat dilihatnya Lukas mau bicara lagi..
"Ya udah deh. Aku jadi bendahara kamu nih." kata Lukas sambil nyengir.
"Sip! Bendahara." kata Satrio sambil terkikik.
"Dah, pergi sana. Aku mau masuk nih, pegel." usir Satrio membuat Lukas meringis keki.
"Iya. Aku pamit ya, Bro." kata Lukas kemudian bergegas menuju mobilnya.
Lukas tersenyum dalam hati dengan kelakuan Satrio.
Kok ada ya orang model kayak gitu? Nitip uang buat jajan kalau kapan- kapan mereka ketemu. Bahasa yang aneh. Apa dia selalu sepercaya itu sama orang lain yang baru dikenalnya?
...🧚🧚🧚🧚🧚...
"Alhamdulillah Mas Satrio wis tekan(dah sampai)." kata Mbak Puji begitu dia membuka pintu depan dan melihat Satrio baru saja melintasi gerbang.
"Hallo mbak Puji !" seru Satrio saat tahu ART itu tergopoh- gopoh menghampirinya.
"Nggak usah. Biar aku bawa sendiri saja." tolak Satrio saat mbak Puji akan meraih tuas koper di tangannya.
"Alhamdulillah...." kata Mbak Puji sambil terkikik.
"Punya makanan nggak?" tanya Satrio sambil menunduk melihat ke arah Mbak Puji yang berjalan di sampingnya.
Entah kenapa, sejak dia SMP, Satrio merasa mbak Puji makin pendek aja.
Lihat aja sekarang, dia hanya sebawah pundak Satrio.
Jangan- jangan Mbak Puji kurang gizi, jadi kena stanting, wkwkwk.....
"Punya dong......Aku sudah masak orak- arik, goreng tempe, sama bikin sambel." jawab Mbak Puji yang langsung mendapat hadiah pelukan hangat dari Satrio dibahunya.
Itu adalah menu kesukaan Satrio bila yang memasak mbak Puji.
"Cakep!!" kata Satrio riang.
"Mau mandi dulu apa langsung makan?" tanya Mbak Puji begitu Satrio sudah sampai di bawah tangga.
"Makan doooong! Aku naikin koper dulu terus langsung turun makan." kata Satrio yang mendapat acungan jempol dari mbak Puji.
Mbak Puji sudah mengurus rumah ini sejak sepuluh tahun lalu,saat rumah ini selesai di bangun. Makanya dia sudah akrab dengan anak- anak keluarga Buwono ini, apalagi pada dasarnya dua pangeran keluarga Buwono, yaitu Satrio dan Wira - adik dan satu- satunya saudara kandung Satrio- adalah orang yang easy going dan agak tengil.
"Mau dawet nggak, Mas? Aku mau beli dawet." tawar Mbak Puji saat Satrio baru saja meletakkan pantatnya di kursi makan.
"Boleh. Dua." kata Satrio tanpa ragu.
"Pakai gula merah atau gula putih?" tanya Mbak Puji saat Satrio baru saja menyuap makannya.
"Merah putih." jawab Satrio cepat.
Mbak Puji menatap Satrio bingung.
"Kenapa?" tanya Satrio keheranan dengan tatapan bingung itu.
"Maksudnya satu merah satu putih, atau satu dawet gulanya campuran gula merah sama gula putih?" tanya Mbak Puji.
"Satu dawet pake gula merah, satu dawet pake gula putih. Paham?" tanya Satrio sambil menatap Mbak Puji gemas.
Rasanya pengen nyi pok pipi Mbak Puji pakai garpu tahu nggak sih?
"OK, Boss!" jawab Mbak Puji sambil tertawa malu lalu sedikit sibuk dengan ponselnya.
"Pesen pakai ojol?" tanya Satrio.
"Iya. Males mau keluar, panasss." jawab Mbak Puji sambil meringis.
"Bayarnya berapa?" tanya Satrio kemudian kembali mengunyah makanannya.
"Dua satu ribu. Tapi udah ku bayar kok, Mas. Santuy saja. Anggap saja ini sebagai welcome drink dariku untukmu." kata Mbak Puji sambil tertawa.
"Sip! Sering- sering aja begitu." kata Satrio sambil tertawa- tawa.
"Kalau keseringan bisa tekor aku. Kamu mintanya jajan double terus." balas Mbak Puji dengan wajah dicemberutkan. Satrio hanya meringis nggak perduli.
...🧚🧚🧚🧚🧚...
Satrio sudah siap bertengger di atas motor sport berwarna putih miliknya yang sudah dibelinya sejak dua tahun lalu tapi lebih sering cuma dipanasin saja di garasi rumahnya di Jakarta.
Motor ini sampai datang duluan di Jogja dua hari lalu.
Sore ini, setelah mandi sore dan untuk menikmati sore yang indah ini, dia memilih akan cek rute menuju calon kantornya agar besok tidak kebingungan.
Dari map pinter di ponselnya, dia lihat akan butuh waktu empat puluh menit menuju sasarannya.
Perjalanan yang lumayan jauh yang nantinya akan dia jalani setiap harinya.
Seulas senyum terukir di bibirnya.
Aku akan mulai adventure ku , Pa, bisik batinnya.
Setelah berteriak untuk pamit pada Mbak Puji, Satrio mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang saja karena niat utamanya memang untuk menikmati sorenya dengan tenang.
Menghapalkan satu demi satu tempat- tempat yang dianggapnya penting sepanjang rute rumah menuju kantor, seperti pom bensin, bengkel motor, juga minimarket.
Seperti yang di tulis di map pinter, sekitar empat puluh menit dengan kecepatan laju motor standar, Satrio sudah berada di seberang sebuah bangunan pabrik bertembok dan bergerbang berwarna abu tua dengan tulisan berwarna emas JONGGRANG FURNI tercetak jelas menempel di sepanjang tembok bangunan pabrik, di sisi gerbang yang tertutup rapat.
Satrio tersenyum dalam hati.
Entah mengapa ada rasa deg- degan dihatinya mengingat besok dia akan memasuki gerbang itu sebagai seorang karyawan baru.
Akan ikut mencari nafkah entah dengan berapa banyak karyawan di balik gerbang itu.
Namun ada kebanggaan juga di hatinya pada dirinya sendiri.
Ini adalah pertama kali dia akan bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri.
Terlambat? Maybe....
Tapi tak masalah bagi Satrio.
Lebih baik terlambat kan daripada tidak pernah memulai sama sekali kan????
Dengan senyum kecilnya Satrio memotret sebagus mungkin area depan pabrik itu.
Menampakkan gerbang dan nama perusahaannya, kemudian mengirimkannya kepada mamanya bersama sebuah tulisan " mohon doanya. Mulai besok aku akan mencari nafkah di tempat ini, Ma 😊💪."
Bu Katarina yang sore itu sedang duduk mengupas jeruk di samping suaminya langsung sumringah saat melongok ponsel di depannya yang baru saja membunyikan sebuah notifikasi pesan masuk.
Setelah mengulurkan jeruk yang sudah terkupas kepada suaminya, wanita paruh baya berpenampilan tomboy itu pun bergegas meraih ponselnya.
"Satrio ngirimin photo kantornya, Pa." katanya dengan gembira walau matanya langsung berkaca- kaca.
Ada keharuan dari rasa bangga tapi juga iba untuk anaknya yang tengah dia rasakan saat ini.
Sang putra mahkota seorang pengusaha farmasi kelas multi nasional malah harus bekerja di perusahaan orang lain sebagai pegawai kantor biasa.
Tapi dia bangga, anaknya itu tak mengeluh apalagi sampai menolak 'ujian' dari ayahnya itu. Satrio bahkan meminta doanya untuk kelancaran pekerjaan pertamanya.
Bu Katarina sudah menitikkan air matanya saat Pak Susilo ikut melongok melihat photo yang dikirimkan anak sulungnya.
Seulas senyum bangga menghiasi bibirnya walau sangat tipis.
"Dia bisa kerja nggak ya, Pa? Ntar kalau dia dimaki- maki atasannya gimana?" tanya Bu Katarina penuh rasa khawatir.
"Paling dia maki balik." jawab Pak Susilo zantai sambil mengunyah jeruk.
"Bisa dipecat dong?!" seru Bu Katarina.
"Dia udah tua. Tahu attitude juga. Dan ingat, dia lelaki." kata Pak Susilo dengan tatapan memperingatkan istrinya yang selalu saja menganggap anak- anak mereka masih seperti bocah TK yang belum mengerti dunia.
"Papa coba cek itu perusahaan bener nggak." pinta Bu Katarina dengan nada memaksa.
"Buat apa?" tanya Pak Susilo ogah- ogahan.
"Biar kita tahu si Mas kerja di perusahaan bonafit nggak. Biar kita yakin kondisinya terjamin aman dengan gajinya." kata Bu Katarina menjelaskan dengan setengah emosi.
"Dia kan masih nerima limapuluh juta tiap bulan dari kita. Amanlah kalau hidupnya normal kayak karyawan, dengan back up dana segitu." kata Pak Susilo santai.
"Dia mana bisa nyukup- nyukupin uang segitu buat sebulan? Selama ini aja paling nggak dia duaratus juta habisnya." kata Bu Katarina masih dengan emosi.
"Itu karena dia mainnya di tempat- tempat mahal. Makan di tempat mahal, belanja di tempat mahal." sergah Pak Susilo.
"Kita sudah sepakat soal ini, Ma. Biarkan dia tahu kenyataan hidup disana, biar dia matang secara emosi dan pikiran. Kita harus mempersiapkan itu. Aku malah pengen dia dikejemin disana, biar dia tahu, hidup itu nggak segampang narik kartu sakti dari lipatan dompet." kata Pak Susilo yang hanya mendapat dengusan pelan dari istrinya.
Ya, dia mengerti maksud baik itu. Tapi sebagai seorang Ibu, rasanya nggak tega membiarkan anaknya sendirian memasuki sebuah dunia yang asing dan benar- benar baru untuknya.
"Dia hanya di Jogja situ. Bisa kita tengokin sehari empat lima kali kalau mau. Nggak usah lebay." kata Pak Susilo sambil tersenyum meledek pada istrinya.
"Kamu mah nggak sayang anak." sungut Bu Katarina dengan wajah di tekuk.
"Tapi aku sayang sama kamu. Banget." bisik Pak Susilo kemudian mengecup pipinya cepat.
"Iiiiih!!!" seru Bu Katarina kesal kemudian bergegas berdiri dan melangkah pergi menjauh.
"Ma, kok aku ditinggalin? I love you lho, Ma!" teriak Pak Susilo sambil tertawa- tawa jahil.
"Mbuh !" teriak Bu Katarina walau pipinya merona juga.
Ah dasar, buaya tua nggak tau diri.
...🧚🧚🧚 b e r s a m b u n g 🧚🧚🧚...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Sri Astuti
jarang ortu yg sadar akan masa depan anak dlm bahaya spt bpk.e Satrio.. menurutku bijak mengajar anak mandiri toh sdh dibekali lbh dr cukup
2023-01-01
2
Yayoek Rahayu
pak susilo,ayah yg bijak
2022-05-08
1
Ersa
🌹🌹
2022-03-21
1