Lewat pertengahan tahun, 2009.
Setelah kejadian di kantin, hampir semua cewek penggemar Jevan, Gio dan Mario memilih untuk menghindar dari Lania dan Aruna jika mereka berpapasan dengan dua sahabat itu atau salah satunya. Entah kenapa. Lania tidak perduli. Oh, tenang saja, itu sama sekali tidak jadi masalah bagi Lania dan Aruna. Selama mereka saling mendukung satu sama lain, Lania dan Aruna tidak membutuhkan banyak teman jika memang tidak bermanfaat.
Siang itu, setelah menyelesaikan ibadah shalat dzuhur, seperti biasa Lania dan Aruna akan duduk-duduk sebentar di gazebo di bawah pohon chery yang rindang. Tidak terasa tahun ajaran akan segera berakhir, itu artinya mereka akan segera naik kelas menjadi kelas 11 dan kelas 11 menjadi kelas 12, dan kelas 12 akan segera lulus.
"Kenapa sih lo keliatan lesu gitu?" tanya Lania. "Biasanya kan gue yang lesu, malas, ngantuk." Sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sebentar lagi kan lulus-lulusan, Lan." Sahut Aruna.
"Trus?" Lania acuh, sambil memejamkan mata, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang selalu menenangkan di bawan pohon yang rindang. Sesekali menguap, merenggangkan tubuhnya, mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Kak Jevan juga lulus. Gue ga bisa ngeliat Kak Jevan lagi." Aruna setengah merengek dengan suara pelan.
"Bagus lah, itu orang udah bikin kita ribet."
"Ish, lo mah, kan bukan salah Kak Jevan juga." Aruna menepuk lengan Lania pelan.
"Bukan salah kita juga." Acuh Lania.
Aruna menghela napas.
"Eh, Na, kenapa sih lo ga suka sama cowok lain yang idupnya normal-normal aja gitu?" tanya Lania.
"Eh, memangnya Kak Jevan ga normal hidupnya?"
"Ya normal sih, tapi untuk kalangan dia. Ganteng, tajir, pinter, kayak ga ada kurangnya gitu."
"Makanya gue suka." Sahut Aruna dengan senyum lebarnya.
Lania memutar bola matanya.
"Kenapa lo harus buang-buang waktu dan tenaga suka sama orang yang anggap lo ada aja engga?"
"Hemmm... kenapa, ya?"
"Ya ga tau, lo malah tanya gue balik." Lania mencebik. Ia merogoh saku roknya, teringat sepertinya dia masih menyimpan sebiji lolipop. Dan, ah! Benar saja, lolipop rasa melon ditemukannya seperti menemukan harta karun berusia ratusan tahun.
"Mungkin karena Kak Jevan paket lengkap. Kayak yang tadi lo bilang, ganteng, tajir, pinter, oh satu lagi, Kak Jevan bukan playboy." Aruna memuji Jevan dengan lancar tanpa hambatan.
"Ya tapi, kan, dia ga tau kalo ada orang namanya Aruna yang suka sama dia sampe rela diet, padahal berat badan lo sampe turun 100 kg juga dia ga bakal peduli." Lania mulai mengulum lolipop tercintanya.
"Mungkin karena gue merasa semangat aja kalo liat Kak Jevan, mau Kak Jevan ngeliat gue atau ga, yang penting, kan, hati gue."
Lania berdecak seraya menggelengkan kepalanya, "Ga paham gue. Kenapa lo ga suka sama yang lebih realistis aja, misalnya si Pandu, itu cowok udah jelas-jelas naksir ama lo. Atau Kak. Faiz, lebih bersahaja, ketua OSIS, anak rohis pula. Atau Andika, si juara olimpiade fisika, pas tuh sama lo yang demen matematika."
Aruna mengangkat bahu. "Ga tau, gue udah keburu kepincut aja ama pesonanya Kak Jevan. Memangnya lo ga tertarik sama sekali sama Kak Jevan?"
"Engga." Lania menjawab tanpa ragu. "Bukan tipe gue."
"Memang lo sekarang udah punya tipe cowok idaman? Beneran lo sukanya sama anak pesantren?" Aruna penasaran. Karena Lania yang selama ini Aruna kenal adalah cewek paling cuek sebumi. Tidak perduli sama yang namanya pacar-pacaran, apa lagi sampai punya tipe cowok idaman segala.
"Punya lah, gue, kan, cewek puber yang normal juga."
"Kasih tau dooong, kayak gimana cowok idaman lo. Kan, gue penasaran, ih."
"Yang jelas bukan orang kongklomerat."
"Lah kenapa? Cewek-cewek, mah, malah nyari yang tajir melintir."
"Tapi gue, kan, bukan cewek-cewek itu." Koreksi Lania. "Gue lebih suka sama biasa-biasa aja. Ga susah-susah amat, ga kaya-kaya amat. Ibarat baju nih, ukuran M. Bukan cowok yang punya banyak penggemar, kalo perlu cowok kuper atau kutu buku aja. Trus yang soleh, pinter ngaji, deket sama orang tua, penyayang binatang, pekerja keras, rajin dan pinter." Jelas Lania.
"Tapi kalo memang ada yang udah tajir dari lahir, kenapa harus nyari yang biasa-biasa aja?"
"Gue lebih milih pekerja keras, rajin dan pinter dari pada udah tajir dari lahir."
"Kenapa?"
"Karena roda kehidupan itu berputar, kawan." jawab Lania dengan gaya seorang motivator.
"Maksudnya?"
"Orang tajir ga akan selamanya berada di atas. Mereka yang udah tajir dari lahir ga akan tau gimana rasanya memulai sesuatu dari nol. Memang ga semuanya sih orang kaya seperti begitu, tapi kebanyakan mereka yang anak-anak konglomerat udah ga perlu bingung-bingung nyari kerjaan. Lain sama pekerja keras, rajin dan pinter. Saat mereka berada di bawah, mereka ga akan putus asa, karena mereka udah pernah berada dititik nol, jadi mereka udah tau apa yang harus dilakukan untuk bisa naik lagi. Gitu aja sih gue mikirnya." Lania menjelaskan panjang kali lebar yang direspon Aruna dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tapi gue tetep pilih yang udah tajir dari lahir." Ujar Aruna.
"Ya terserah lo, kita, kan, punya pemikiran dan sudut pandang yang berbeda, asal nanti kalo lo udah jadi orang tajir, lo ga tinggalin gue sendirian aja. Awas aja kalo lo sampe jadi emak-emak sosialita trus lupa deh sama gue."
"Never! NE-VER!" Aruna langsung memeluk Lania. "Kalo gue udah jadi istri miliader, gue bakal bikinin lo toko kue imipian lo, lengkap sama buku-buku novel langka dan lolipop gratis!"
"Aaammmiiiinnnn."
"Eh, tapi di sekolah ini ada ga cowok idaman lo?" Aruna masih dalam mode penasaran.
"Ada."
"Siapa?"
"Ga tau."
"Lah kok ga tau."
"Itu orang pernah beberapa kali diem-diem kasih gue batagornya Pakde waktu gue lagi di perpus."
"Hah? Serius? Kok gue ga tau?"
"Lo, kan, selalu balik duluan." Lania berdecak.
"Berarti lo ga tau dong, itu orang tajir apa bukan?"
"Yang pasti bukan."
"Tau dari mana ente?"
"Karena kalo dia tajir, dia ga akan ngebeliin gue batagor mulu, dia pasti bakal beliin gue jajanan mahal, minuman bermerk kedai kopi yang mahal untuk menarik perhatian gue."
"Hmmm, masuk akal." Pikir Aruna. "Trus ga ada niat buat kita cari tau siapa penggemar rahasia lo ini? Siapa tau kalian bisa jadian gitu."
"Engga."
"Kenapa?" Tanya Aruna bingung.
"Gue ga mau pacaran dulu, nanti aja kalo udah kerja."
"Lama amat. Emang lo ga mau ngerasain indahnya pacaran masa-masa SMA gini?"
"Tidak, terima kasih Nona. Mikirin matematika aja udah bikin otak gue jungkir balik, ga pake deh ditambahin pacaran segala, pasti bakal banyak drama berantem lah, ini lah, itu lah, hadeh, bisa-bisa otak gue jetlag setiap hari."
Dua sahabat itu pun kemudian tertawa, menyadari obrolan mereka siang itu cukup berat, padahal baru mau naik kelas 11. Jalan masih panjang, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di masa depan.
Teeettt! Teeettt!
Bel berbunyi, tanda waktu istirahat kedua sudah usai. Lania dan Aruna bangkit dari gazebo, meninggalkan tempat sambil tetap bercerita hal receh yang membuat mereka tertawa-tawa. Tanpa mereka menyadari, ada seseorang disana, mendengar semua percakapan mereka secara jelas dan diam-diam. Cowok bertubuh tinggi dengan rambut gondrong, wajah blasteran, yang sengaja mencuri dengar. Kini dia mengerti kenapa gadis itu selalu acuh dan tidak menyukainya.
Seulas senyum simpul menghiasi wajahnya, tak apa Lania tidak mengetahui siapa yang selalu mengiriminya batagor saat di perpustakaan, yang jelas secara tak langsung, Lania menyukainya.
"Jev, woy, ngapain lo nongkrong disitu? Nyari keong?" Panggil Mario.
Jevan pun segera meninggalkan tempat persembunyiannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Whyro Sablenk
lania g tau aja... /Grin/
2024-02-06
0