Di saat Abi menderita karena kehilangan sang istri, di saat yang bersamaan Aeril pun kehilangan Bayi yang sangat di rindukan kehadirannya selama ini.
Aeril begitu sedih karena di saat ia berjuang antara hidup dan matinya, Vano bahkan tak pernah menghubunginya apa lagi datang untuk memberikan suport untuknya.
Aeril menangis pilu di atas pusara anaknya dengan di temani Bu Diyah. Merasa menjadi Ibu yang gagal karena tak bisa melindungi anaknya sendiri.
"Yang sabar Neng, semua sudah menjadi kehendak Allah. Allah lebih menyayangi Anak Neng Aeril makanya Allah mengambilnya," ucap Bu Diyah menyemangati Aeril.
Bu Diyah memang tidak memiliki ikatan persaudaraan dengan Aeril tapi karena mereka bertetangga dan setiap hari bertemu, jadi Bu Diyah sudah menganggap Aeril sebagai putrinya sendiri.
"Terima kasih Bu kalau saja nggak ada Ibu, saya nggak tahu hidup saya sekarang seperti apa," isak Aeril. Bu Diyah sangat berjasa besar kepada Aeril karena di saat suami dan ibu mertuanya membuangnya, hanya Bu Diyah yang mengulurkan tangan untuk menolongnya.
"Neng ini bicara apa sih, ya sudah sekarang kita pulang ya. Untuk sementara waktu Neng Aeril tinggal di rumah Ibu saja sampai Suami Neng pulang, ya," ucap Bu Diyah lagi.
"Dia nggak akan pulang Bu."
"Loh, maksudnya?" tanya Bu Diyah tak mengerti ucapan Aeril.
"Dia sudah menceraikan saya Bu." Kembali Aeril terisak saat mengatakan hal itu kepada Bu Diyah.
"Ya Allah Neng, tega sekali." Hanya itu yang Bu Diyah ucapkan karena takut Aeril akan semakin sedih.
Aeril dan Bu Diyah meninggalkan area pemakaman karena hari sudah menjelang magrib. Sebenarnya Aeril belum ingin meninggalkan pusara putrinya, tapi Aeril sadar kalau Bu Diyah pasti sangat lelah karena telah mengurusnya beberapa hari ini. Akhirnya dengan berat hati Aeril mengikuti Bu Diyah dan tinggal sementara di rumahnya.
"Bu nanti kalau saya sudah kerja saya akan mengganti semua biaya yang Ibu keluarkan buat saya kemarin saat di rumah sakit," ucap Aeril saat tengah duduk di ruang tamu kontrakan bu Diyah.
"Neng ngomong apa sih, Ibu iklas kok.
Pokoknya sekarang Neng sehat aja dulu, nggak usah mikir yang macem-macem ya."
"Nanti kalau saya udah kuat saya mau cari kerja Bu, saya nggak mau terus-terusan nyusain Ibu."
"Neng nggak nyusahin Ibu, Ibu sayang sama Neng Aeril seperti Anak Ibu sendiri." Aeril memeluk Bu Diyah karena merasa terharu.
Di saat Suami dan mertuanya membuangnya, Bu Diyah malah menganggapnya seperti anaknya sendiri.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali Bu Diyah sudah bersiap-siap untu kembali bekerja di tempat Abi. Sebenarnya masih belum tega meninggalkan Aeril yang masih lemah tapi Bu Diyah juga takut jika majikannya marah dan memecatnya, apa lagi jaman sekarang sangat susah untuk mencari pekerjaan.
"Neng Aeril Ibu harus pergi kerja dulu, nggak pa-pa kan kalau Neng Ibu tinggal, soalnya Ibu nggak enak kalau libur lama-lama."
"Iyya Bu nggak pa-pa, Ibu nggak usah khawatir saya nggak apa-apa kok."
"Ibu udah masak kalau Neng lapar jangan sungkan buat makan ya."
" Iyya Bu terima kasih, Ibu harusnya nggak usah repot-repot karena saya bisa masak sendiri Bu."
"Nggak pa-pa kok Neng, kalau gitu Ibu berangkat dulu ya, Assalamualaikum."
"Waalaikum salam Bu." Aeril mencium tangan Bu Diyah saat Bu Diyah keluar rumah.
Meski tidak bernafsu untuk mengisi perutnya tapi Aeril tetap memaksakan diri untuk makan agar dia cepat pulih dan tidak terus-menerus menyusahkan Bu Diyah.
Di saat tengah makan Aeril mendengar pintu rumah di ketuk lumayan keras. Aeril cepat-cepat meminum air untuk menyelesaikan makannya.
Saat membuka pintu Aeril begitu kaget karena Ibu dari Vano lah yang muncul.
"Kenapa kamu kaget begitu? Kamu berharap Anak saya yang datang kemari untuk mengajak kamu balikan?
Jangan Mimpi!!!" Ibu Vano masuk begitu saja tanpa permisi dan menyenggol bahu Aeril, membuatnya mundur beberapa langkah dan hampir saja terjatuh.
"Saya kesini cuma mau kamu menanda tangani surat perceraian ini dan kita tidak punya hubungan apa-apa lagi," ucapnya lagi.
Aeril hanya menangis mendengar ucapan Ibu mertuanya.
"Bu saya ingin bertemu Mas Vano untuk yang terakhir kalinya," mohon Aeril, meski ia tau permohonannya tak akan di kabulkan, tapi rasa cintanya membuat Aeril berkali-kali menjatuhkan harga diri di hadapan Ibu mertuanya.
"Jangan harap!!! Saya nggak sudi," sarkas Bu Heni.
"Bu, saya baru saja kehilangan Anak saya Bu, cucu Ibu. Apakah tidak ada rasa empati sedikit pun untuk saya, setidaknya saya ingin bertemu dengan Mas Vano sebentar saja."
"Saya nggak pernah kok menganggap anak kamu itu cucu saya, jadi saya tidak perduli jika anak kamu meninggal sekalipun."
DEG!!!!
Bagai di hantam batu besar dada Aeril mendengar kata-kata Ibu mertuanya. Setidaknya jika Ibu membenci Aeril tak perlu membeci anak yang tak berdosa itu.
"Ya Allah Bu, sebenci itu kah Ibu kepada saya?"
"Udah lah nggak usah banyak nanya deh, cepetan tanda tangan karena saya udah muak liat wajah kamu yang sok polos itu."
Dengan hati yang hancur berkeping-keping akhirnya Aeril meraih kertas itu lalu menanda tanganinya.
"Nah gitu dong lebih cepat kan lebih baik
Nih sekalian saya kasih undangan pernikahan Vano dengan gadis pilihan saya, yang jelas bukan gadis kelas bawah seperti kamu." Ibu Vano melempar undangan itu ke arah Aeril lalu pergi dari hadapannya.
Sepeninggalnya Bu Heni, Aeril terus menatap undangan yang berada di dekat kakinya lalu dengan tangan bergetar Aeril meraih undangan yang jatuh ke lantai itu lalu membukanya perlahan.
Hati Aeril makin tersayat pedih ketika melihat foto prewedding yang ada di dalam undangan itu. Vano yang tersenyum begitu bahagia ke arah pasangan di sebelahnya.
"Teganya kamu Mas, di saat aku tengah berduka karena kehilangan anak kita, kamu malah akan berbahagia dengan wanita lain." Aeril meremas undangan yang ada di tangannya, dia menghapus air matanya lalu menyimpan undangan itu agar suatu saat hatinya tidak akan goyah ketika bertemu dengan Vano kembali.
"Cukup sudah air mata yang aku keluarkan selama ini. Aku tidak akan pernah menangis lagi." Aeril sudah bertekad tidak akan membiyarkan air matanya keluar dengan sia-sia lagi untuk seorang Vano.
Sudah cukup selama ini Aeril terus mencintai orang yang salah, baginya Vano sudah ikut terkubur bersama dengan anaknya.
Aeril tak lagi ingin berharap kepada seorang yang tak pernah menghargai pasangannya, tak pernah bisa memperjuangkan pasangannya.
Bagi Aeril Vano hanya lelaki pengecut yang tak pantas di cintai siapa pun.
Suatu saat kamu akan merasakan sakit seperti yang aku rasakan Mas
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments