Nevan sudah mulai bekerja dan Shanessa menyempatkan diri datang untuk makan siang bersama. Padahal pukul 12.15 WIB nanti ada jadwal kuliah dan Shanessa sama sekali tidak khawatir terlambat. Ya, baginya kuliah memang tidak terlalu penting.
Mereka memilih makan di kantin kantor bersama rekan-rekan baru Nevan, setelah itu memutuskan duduk di kursi taman sambil berbincang.
Sejak tadi Shanessa cekikikan saja. Ia benar-benar tampak bahagia sejak kepulangan Nevan.
Bahkan ketika Nevan baru menceritakan sepenggal kisah dan Shanessa langsung menyambutnya dengan ledakan tawa.
"Ini nggak lucu, loh," protes Nevan akhirnya.
"Ah, masa. Temanmu memilih jurusan karena takut pada ayahnya itu lucu, Sayang."
Nevan mendengkus, lalu tersenyum geli. Kemudian, ditatapnya Shanessa dalam. Sebenarnya apa kurang gadis itu? Selama ini Shanessa sudah membanjirnya banyak cinta tanpa tuntutan.
Shanessa yang ditatap demikian, sontak menjadi salah tingkah. Terlebih ketika Nevan meletakkan sebelah telapak tangannya ke atas kepala Shanessa, lalu perlahan turun menutup mata sang kekasih. Tangannya yang lebar dan hangat membuat Shanessa mulai memejamkan mata.
Nevan melakukan hal itu cukup lama, hingga Shanessa berujar menggoda, "Aku kira akan ada adegan drama korea."
Mendengar ucapan Shanessa tersebut, Nevan langsung terkekeh pelan. Ia menarik tangannya dari mata Shanessa, kemudian berkata, "Aku nggak pernah nonton drama Korea, sayangnya."
Shanessa mengerucutkan bibirnya, kemudian teringat sesuatu. "Sebenarnya, mau ngomong serius apa sama papa?"
"Sama kakek juga," ralat Nevan.
Shanessa mengangguk, kemudian memicingkan matanya. "Harusnya ngasih tau aku dulu nggak, sih?"
Nevan diam saja. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai meredup. Membiarkan sepoi-sepoi angin menyapu wajahnya.
Shanessa masih menatap Nevan berharap jawaban, lantas ditariknya ujung lengan kemeja pria itu. Membuat Nevan menyerah juga.
Akhirnya Nevan memutar tubuh dan menatap Shanessa lekat. "Akan aku beritahu disaat bersamaan, dan ...." Nevan menggantungkan kalimatnya, tatapannya semakin dalam ketika melanjutkan, "Semua keputusan aku serahkan kepadamu."
***
Seorang pria berusia 40 tahunan dengan kacamata yang membingkai sepasang matanya menghela napas lelah ketika keluar dari mobil APV hitam. Sudah dua minggu ini dia tidak pulang ke rumah dan mondar-mandir mengurus bisnisnya di Kalimantan. Dia menyusuri rerumputan yang melapisi halaman rumah dengan langkah gontai.
Di belakangnya mengekor seorang gadis berkulit putih pucat dengan rambut ikal sebahu. Alis yang merambat rapi secara alami, membingkai apik matanya yang kecil, namun mampu mengintimidasi.
Ditambah lagi, hidungnya yang mungil dan mancung cukup mampu membuat para lelaki betah lama-lama menatapnya dan ingin mencubitnya gemas. Nama wanita itu, Gantari Dihyan Irawan.
"Gantari, semua berkas kasih sama pada Pak Surya aja. Besok kamu libur dulu. Tubuh Om aja rasanya sudah remuk begini," sang paman mengerling, menatap singkat sang keponakan yang masih berjalan di belakang.
Gantari mengangguk pelan. Menjadi asisten sang paman lebih dari setahun ini membuatnya terbiasa cekatan.
Ia masih berjalan sembari menjinjing tas yang berisi setumpuk berkas yang pamannya maksud menuju ke dalam rumah.
"Pa!"
Shanessa berlari dari dalam dan menghambur memeluk pria yang merupakan orang tua tunggalnya.
"Perginya lama banget," ucapnya di sela pelukan sang ayah.
Ardiman terkekeh. Dikecupnya puncak kepala putri semata wayangnya itu sayang.
"Baru dua minggu."
Shanessa cemberut. Ia melonggarkan pelukan dan menatap ayahnya lembut, "Aku kangen papa."
Ardiman Ardiwinata membulatkan matanya, kemudian menoleh pada Gantari, "Apa kemarin dia meminta oleh-oleh?"
Pertanyaan itu hanya dibalas senyum tipis oleh Gantari. Kemudian, Shanessa buru-buru mencubit pinggang sang ayah hingga tertawa renyah. Mendadak ia lupa dengan rasa lelah yang dikeluhkannya tadi.
Ayah dan anak itu kemudian memasuki rumah dengan canda tawa. Segala kabar langsung Shanessa ceritakan tanpa jeda.
Di belakang, Gantari hanya menatapnya dengan senyum tipis. Raut wajahnya mendadak berubah sendu. Dia juga merindukan ayahnya.
***
Nevan mengembuskan napasnya dalam. Pagi ini Shanessa memberi kabar jika sang ayah sudah pulang dan sekarang dia sedang bersiap untuk menemuinya.
Kemeja polos berwarna biru langit dengan celana chino nutella yang membungkus tubuhnya sudah membuat Nevan tampak begitu formal. Ditambah sepatu pantofel berwarna cokelat gelap dan rambut yang disisir super rapi membuatnya benar-benar terlihat kaku. Sejak kapan ini menjadi stylenya? Entahlah.
Nevan menekan bel dan langsung disambut senyum tersipu Shanessa. Shanessa tampak cantik dengan dress berwarna peach selutut. Rambutnya ia biarkan tergerai hingga menyentuh punggung. Dia cantik dalam kesederhanaannya.
"Ayo, masuk," ajaknya sumringah.
Nevan melangkah masuk sesuai instruksi. Di dalam, rupanya Kakek dan Ayah Shanessa sedang menikmati teh pagi mereka.
"Selamat pagi." Nevan menyapa, kemudian menghampiri secara bergantian untuk mencium tangan mereka
Kakek mengangguk ringan, lantas menepuk sisi sofa di sampingnya, sebagai kode agar Nevan duduk disana.
"Ini dia yang tidak sabar menunggu kepulangan mu," ucap Darya Ardiwinata, sang tetua keluarga.
Ardiman tersenyum menanggapi. Dia memanggil Shanessa agar ikut duduk di sampingnya.
"Kenapa jadi tegang begini, ya?" celetuk Shanessa yang disambut tawa renyah dari Darya dan Ardiman. Berbeda dengan Nevan yang sedang membulatkan tekad untuk menyampaikan hal yang ia maksud kemarin.
Nevan pernah terluka. Dia sendiri saja masih ragu, apa luka itu sudah sembuh atau belum. Hatinya pernah patah, dan dia juga tak tau apa patahan itu sudah bertunas kembali atau belum.
Wanita masa lalunya yang selama ini sengaja ia kubur dalam-dalam kini ingin ia buka. Meski sakit, meski harus tertatih, tetapi harus. Karena dia sudah memutuskan membuka lembaran baru dengan Shanessa dan semua harus dimulai tanpa kebohongan.
"Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Shanessa, Om, dan Kakek," mulai Nevan. Belum apa-apa dadanya sudah sesak. Belum apa-apa otaknya sudah penuh dengan kilasan kusut masa lalu.
Maka itu dia terdiam sesaat, mencoba mengumpulkan keberanian, kemudian melanjutkan, "Saya ingin memiliki hubungan yang lebih serius dengan Shanessa, jadi ...."
"Tunggu sebentar! Ada satu anggota keluarga Ardiwinata lagi yang belum ada disini," potong Shanessa cepat.
Ia ingin kabar bahagia ini disaksikan langsung oleh semua anggota keluarga. Kemudian, tanpa menunggu lagi, Shanessa beranjak dan dengan sedikit berlari menaiki anak tangga.
Nevan mengembuskan napasnya pelan. Dia menunduk menatap tangannya yang berada di atas paha. Hanya kamuflase saja.
"Anak itu kapan seriusnya?" kekeh sang ayah sembari menatap Shanessa yang masih berlari tanpa dosa.
Nevan tersenyum. Ia hanya diam selama kepergian Shanessa.
"Ini dia! Serius, aku lupa memperkenalkan kalian." Suara Shanessa menyeruak lagi, membuat Nevan mengangkat kepala dan menoleh ke arah sumber suara.
"Dia sepupuku ... Gantari."
Deg! Nevan merasa jantungnya berhenti berdetak. Disana ia melihat Shanessa yang sedang tersenyum dan seorang gadis lainnya yang sama sekali tak berniat menatapnya.
Nevan tidak langsung merespons. Dia masih terdiam cukup lama. Memandang keduanya dengan tatapan tidak terbaca.
Mendadak wajah Nevan berubah makin suram saja. Berkali-kali ia memalingkan wajahnya, tak lagi menatap ke arah Shanessa.
Gantari mengambil alih pembicaraan. Ia berdeham memecah kecanggungan, lantas pamit mau pergi.
"Mau kemana, Gantari?" Ardiman mengamati pakaian Gantari, kemudian mengernyit. "Liburlah dulu. Istirahat."
"Ada hal mendesak harus diselesaikan," balas Gantari singkat.
Ardiman mendengkus. "Lihat, Ayah! Cucumu gila kerja sekali."
Cucu? Pikiran Nevan berkecamuk.
Kakek tergelak. Kemudian mengangguk bangga. Sedangkan, Gantari tak banyak bicara lagi, dia hanya mengangguk hormat kemudian pergi begitu saja.
Sejak kepergian Gantari, hening kembali menguasai karena tidak ada yang bersuara. Termasuk yang ditunggu pengakuannya. Hingga, akhirnya Shanessa menyentuh pundak Nevan hati-hati.
"Sayang?"
Nevan tersentak. Dia tampak gelagapan, namun kemudian bisa segera mengendalikan diri. Tubuhnya membungkuk dengan kepala tertunduk. Sesaat dia menatap kosong tangannya yang bertaut erat.
Akhirnya Nevan menarik napasnya dalam. Pengakuan ini tidak boleh ditunda lagi. "Aku ....," ia menjeda ucapannya, tampak mengumpulkan keberanian, baru kemudian melanjutkan, "Sudah pernah bercerai sebelumnya."
Nevan berdiri dan mengangguk hormat untuk sekedar pamit, lantas berlalu cepat dari sana. Pikirannya kacau, hatinya kembali berantakan.
Kenapa di saat ia ingin membuka hati, sang mantan istri justru muncul kembali?
Dia ... Gantari Dihyan Irawan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
apa Kakek gantari engga tau klo cucunya udah menikah?
lanjutttt bau bau Clbk ini sih 🤭
2023-03-28
0
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
ini alurnya mundur kak kak?
menarik nihh
lanjut baca deh
2023-03-28
0
Eti
dia mantan istriku.......kata Nevan.
2022-09-13
0