Minggu pagi menjadi hari yang sibuk untuk orang-orang di rumah Via. Sejak matahari belum terbit, mereka sudah berkemas.
Ratna membantu Via mengemas baju-bajunya. Dua koper penuh berisi baju Via.
Sebagian baju Via yang jarang dipakai sudah dimasukkan ke kardus beberapa hari sebelumnya. Demikian juga baju mendiang papa dan mamanya. Via hanya menyisakan beberapa setel untuk kenang-kenangan. Baju-baju itu disumbangkan.
Via memesan makanan untuk sarapan mereka. Karena rumah akan dikosongkan, akan ribet jika harus memasak.
Mereka butuh waktu hampir empat jam untuk mengemasi semua barang. Menjelang pukul 11 semua sudah rapi. Mereka pun segera membersihkan diri sebelum Bu Aisyah dan Pak Andi datang.
Lima menit sebelum jarum pendek menunjuk angka 11, terlihat dua mobil memasuki halaman rumah. Bu Aisyah dan Pak Andi turun dari mobil itu.
"Sudah siap, Vi?" tanya Bu Aisyah.
Via mengangguk. Lalu ia menoleh ke arah sopir dan ART-nya.
"Pak Yudi, Pak Nono, Bi Inah, dan Mbok Marsih bagaimana?"
"Biar saya yang mengantar. Via dan Ratna ikut Bu Aisyah," jawab Pak Andi.
"Tidak usah, Pak. Biar kami naik angkot saja," Bi Inah menolak.
"Memang kenapa? Tidak usah sungkan. Mini bus saya masih nyaman kalau hanya mengangkut 4 penumpang dan barang segitu," sanggah Pak Andi.
"Ayo, kita masukkan barang ke mobil!" ajak Bu Aisyah.
Tidak lebih dari 10 menit semua barang telah masuk ke dalam mobil. Mereka pun siap berangkat.
"Mbak Via, kami mohon diri. Jaga diri Mbak Via baik-baik!" kata Mbok Marsih dengan suara gemetar.
"Mbok juga. Maafkan Via telah merepotkan selama ini. Terima kasih atas bantuan semuanya," Via pun tak kuasa menahan tangis. Ia memeluk erat wanita yang telah menjadi pengasuhnya sejak Via kecil. Kemudian, Via ganti memeluk Bi Inah dan menyalami Pak Yudi juga Pak Nono.
Mau tak mau adegan tersebut membuat tiga orang yang lain terbawa keharuan. Mata mereka pun berkaca-kaca.
Setelah itu, mereka masuk ke mobil. Via dan Ratna menuju kediaman Bu Aisyah.
Tiga puluh menit waktu yang diperlukan Bu Aisyah mengemudikan mobilnya sampai ke rumah. Setelah memarkir mobil di garasi, Bu Aisyah mengajak kedua muridnya masuk.
"Selamat datang di rumah Ibu. Maaf, rumah ini tak sebesar rumahmu. Mari ke kamar," ajak Bu Aisyah.
"Kok Ibu minta maaf. Saya justru sangat berterima kasih karena Ibu bersedia menampung saya."
"Menampung? Kok seperti gelandangan," ledek Bu Aisyah.
Ratna langsung terbahak mendengarnya. Tangan Via pun spontan memukul lengan temannya.
"Ups, maaf," kata Ratna sambil menutup mulutnya.
"Kebiasaan," desis Via.
"Sudah, ayo sini! Sementara kamu menempati kamar ini. Sebenarnya ini kamar Farhan, putra sulung Ibu. Dia masih menyelesaikan S-2 di Jakarta. Sebulan sekali dia pulang. Kadang malah lebih. Besok kalau kamar untukmu selesai direnovasi, kamu pindah ke kamar itu. Jadi, bajumu tidak usah dibongkar. Insya Allah lusa kamarmu siap."
Via dan Ratna memasukkan koper dan tas ke kamar. Ruangan itu lebih sempit dibandingkan kamar Via yang telah ditinggalkan. Namun, masih sangat lapang untuk satu penghuni. Apalagi tidak ada pernak-pernik di ruang bercat hijau tersebut.
"Kita sholat dulu, yuk! Paling tak lama lagi mereka pulang. Kita bisa makan siang bersama," kata Bu Aisyah.
"Mereka?" gumam Via lirih tetapi masih tertangkap telinga Bu Aisyah.
"Suami dan anak kedua Ibu. Pagi tadi ada acara di rumah sakit. Kemungkinan sekarang sudah selesai. Mereka tentu ke masjid dulu baru pulang. Yuk ke belakang!"
"Maaf, Bu, saya... saya sedang...," Via tampak ragu.
"Oh, sedang ada tamu bulanan? Ya sudah, Ibu sama Ratna sholat dulu. Kamu tunggu di ruang makan situ."
Via masuk ke ruang makan lalu duduk. Pandangannya menyapu ruangan. Meja makan masih kosong, hanya ada buah.
Sedari tadi Via tidak berjumpa dengan siapa pun di rumah Bu Aisyah. Sepertinya tidak ada ART di rumah itu. Via pun membayangkan hidup bersama keluarga Bu Aisyah kelak.
"Melamun, ya?" suara cempreng Ratna disertai tepukan di bahu sukses membuat Via kaget.
"Ih, apaan sih?"
Bu Aisyah tersenyum melihat kedua anak didiknya.
"Bisa bantu Ibu menyiapkan makan siang?"
"Tentu siap," jawab Ratna cepat.
Mereka pun berjalan membuntuti Bu Aisyah ke dapur. Via tampak canggung. Ia tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumahan seperti itu. Biasanya semua dikerjakan oleh Mbok Marsih dan Bu Inah.
"Ibu tidak punya pembantu. Untuk masak dan mencuci Ibu kerjakan sendiri dibantu suami dan anak. Kalau seterika serungnya pakai jasa laundry."
"Via bingung ya? Nggak pernah tahu urusan begini, kan?" Ratna meledek.
"Memang kamu bisa?" Via balik bertanya.
"Ish, apa sih yang Ratna nggak bisa? Boleh privat ma aku kok."
"Jiah, makasih tawarannya. Paling juga modus,"cibir Via.
Mereka tertawa bersama. Kehangatan dan keakraban tampak melingkupi ketiganya.
"Duh, yang lagi bahagia sampai tidak mendengar ada yang memberi salam," ujar seorang pria setengah baya.
Mereka bertiga kaget. Bu Aisyah buru-buru mendekat dan mencium punggung pria itu.
"Maaf, Yah. Maafkan kami, terutama Bunda," kata Bu Aisyah.
"Iya, iya, tidak apa-apa. Eh, ini Via?"
"Iya, Yah. Ini Via dan yang ini Ratna teman Via. Via, Ratna, perkenalkan ini Pak Haris, suami Ibu," Bu Aisyah memperkenalkan mereka.
"Aku nggak dikenalin, Bun?" mendadak seorang cowok menyeletuk.
"Aaah, iya. Ini anak Ibu yang bandel. Azka namanya."
"Yaaah, Bunda jangan terlalu jujur kenapa. Bikin pasaran makin ancur aja," sungut cowok itu.
"Tenang, nanti Ayah bantu masarin," sahut sang ayah.
"Tos, Yah!"
"Mau dipasarin di mana? Pasar induk?" Pak Haris melanjutkan.
Ucapan itu disusul tawa empat orang yang menggema. Sementara yang satu hanya bisa garuk kepala sambil memonyongkan bibirnya.
"Sudah, ayo kita makan dulu," akhirnya Bu Aisyah menengahi.
Mereka pun menurut. Tak lama kemudian keheningan tercipta di ruang makan. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang sesekali terdengar.
Ada hal yang menarik perhatian Via. Sebelum dan sesudah makan keluarga Bu Aisyah tampak terdiam seperti khusuk berdoa. Itu tak pernah ia jumpai di keluarganya.
"Biar Ratna yang membereskan, Bu. Via, ayo bantu! Ini pelajaran awal untukmu," ujar Ratna sambil menatap sahabatnya.
"Iya," sahut Via sambil menyeka bibirnya.
"Beneran nih?" Bu Aisyah terlihat ragu.
"Iya, Bu. Serahkan kepada Ratna. Saya profesional, kok. Tinggal tunggu sertifikat. Sekalian ngajari Via nih."
Bu Aisyah tersenyum. Ada kelegaan terpancar dari wajahnya.
Ratna dan Via beranjak dari tempat duduknya. Mereka membawa piring kotor ke dapur. Pelajaran mencuci piring Ratna ajarkan ke Via. Untungnya Via termasuk cekatan dan bisa belajar dengan cepat.
Selesai beres-beres, Via dan Ratna ke ruang keluarga. Bu Aisyah dan Azka sedang menonton siaran pertandingan bulutangkis.
"Permisi, Bu. Ratna mohon izin pulang dulu."
"Tidak menemani Via dulu, Rat?" tanya Bu Aisyah.
"Via sudah berani kok. Ya kan, Vi?"
Via hanya mengangguk.
"Ya sudah. Azka, tolong kamu antar Ratna pulang, ya!" Bu Aisyah memerintah cowok yang tengah asyik menonton televisi.
"Bentar, Bun. Ni lagi seru, lagi kejar-kejaran poin. Selesai nomor ini deh."
Akhirnya, Bu Aisyah dan Ratna mengalah. Mereka menunggu pertandingan selesai barulah Azka mengantar Ratna pulang.
"Pakai mobil Bunda saja. Jangan ngebut!" pesan Bu Aisyah.
"Siap, bos!"
Azka pun mengantar Ratna menggunakan mobil bundanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
Dhina ♑
❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
2021-08-08
0
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2020-12-03
0
Asni J Kasim
Semangat
2020-11-23
0