Seminggu sudah hari-hari Via tanpa kehadiran mamanya. Kepergian mamanya berpengaruh besar terhadap kebiasaan gadis itu. Via yang biasanya ceria menjadi murung. Via yang biasanya cerewet menjadi pendiam.
Tidak hanya Via. Pak Wirawan pun terpukul dengan meninggalnya sang istri. Ia masih merasa bersalah karena tidak memperhatikan kesehatan perempuan yang hampir dua dasawarsa mendampingi hidupnya. Namun, Pak Wirawan berusaha terlihat tegar di hadapan putrinya. Ia tak ingin putrinya tenggelam dalam kesedihan.
Untuk menghibur dirinya, pak Wirawan lebih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan kantor. Namun, hal itu tidak menjadikan perusahaannya berkembang pesat. Konsentrasi pria itu tidak sepenuhnya tercurah kepada pekerjaan. Ia sering kehilangan konsentrasi saat bekerja. Ketika sendirian, pikirannya sering menerawang, terbawa kenangan saat istrinya masih ada.
"Pa, papa sudah makan?" tanya via membuyarkan lamunan Pak Wirawan.
"Sudah. Kamu belum makan, ya? Jangan sampai telat makan, ya!" pesan Pak Wirawan sambil masuk ke kamar.
Via tertunduk lesu. Setelah mamanya tiada, ia jarang makan bersama papanya. Untunglah Mbok Marsih kadang menemaninya makan. Via pun sebenarnya tidak yakin papanya makan teratur.
Saat di sekolah Via sedikit terhibur. Kekonyolan teman-temannya sedikit mengobati kesedihannya. Ia merasa beruntung memiliki teman-teman sekelas yang baik.
"Via, kamu sudah menyelesaikan tugasmu?" tanya Ratna.
Via mengangguk. Disodorkannya buku Matematikanya ke Ratna.
"Temanku yang satu ini memang Joss!"
Via hanya tersenyum tipis. Keceriaan masih belum hadir di wajahnya yang menjadi tirus.
"Vi, kamu baik-baik saja selama ini?" bisik Ratna.
Via menoleh. Keningnya berkerut sembari menatap sahabatnya.
"Ah, kita bicara nanti saja jam istirahat. Sekarang selesaikan dulu tugas ini," kata Ratna lagi.
Begitu bel istirahat berbunyi, Ratna menarik tangan Via keluar kelas. Kantin menjadi tujuan Ratna.
"Aku perhatikan kamu banyak berubah. Aku tahu, kepergian mamamu meninggalkan kesedihan mendalam. Tapi, ini sudah lebih dari satu bulan. Kenapa kau masih seperti ini?" ujar Ratna setelah mereka duduk di sudut kantin.
Via menarik nafas panjang. Digigitnya bibir bawah sebelum ia berkata dengan sendu," Terima kasih, Ratna. Kamu memang sahabat terbaikku. Kamu selalu memperhatikan aku."
"Aku menganggapmu saudara, Vi. Aku tidak ingin kamu terpuruk."
"Iya, Rat. Tapi kepergian mama benar-benar pukulan buatku. Ah, tidak. Tidak hanya aku yang terpukul. Papa juga. Tapi papa pura-pura tegar. Aku tahu diam-diam papa sering menangis sambil memeluk foto mama di ruang kerjanya."
"Papamu juga menjadi pendiam dan selalu murung, Vi?"
"Tidak di depanku. Tapi papa jarang di rumah. Beliau hampir tiap hari pulang larut malam. Akhir pekan pun sering pergi."
"Kalian sangat menyayangi mamamu. Begitu berartinya almarhumah bagi kalian. Tapi, tidak semestinya begini. Kamu harus bangkit, Vi. Ingat, sebentar lagi kita ujian. Bukankah kamu ingin masuk kedokteran? Bagaimana bisa kalau kamu masih seperti ini? Kamu harus bisa menyemangati diri sendiri juga papamu. Kamu harus bisa bangkit dari keterpurukan. Jangan berlarut-larut!" kata Ratna tegas.
Via menatap sahabatnya. Dia tidak mengira sahabat karibnya yang biasanya kocak bisa memberikan nasihat.
"Baiklah, aku akan berusaha."
"Memang tidak mudah. Tapi, aku yakin kamu bisa."
Mereka kembali ke kelas karena jam istirahat telah habis. Ada kelegaan terpancar dari wajah mereka.
Sepuluh menit sebelum jam istirahat kedua, seorang guru piket masuk ke kelas Via. Saat itu, Via dan teman-temannya tengah mengerjakan soal Bahasa Inggris.
"Novia Anggraeni, bisa ikut Bapak? Ada tamu yang ingin menemuimu," kata Pak Rangga.
"Saya, Pak?" tanya Via ragu. Padahal di kelas itu hanya satu yang bernama Novia Anggraeni.
Pak Rangga mengangguk. Akhirnya, Via meletakkan pulpennya dan berdiri. Lalu mereka berpamitan kepada guru Bahasa Inggris.
Sesampai ruang tamu sekolah, Via melihat seorang laki-laki duduk di sofa. Via merasa mengenal orang tersebut.
"Pak Yudi?" pekik Via tertahan. Perasaannya mendadak tidak enak melihat salah satu sopir keluarganya masuk ke lingkungan sekolah apalagi belum waktunya jam sekolah berakhir.
"Mbak Via, maaf saya lancang," kata Pak Yudi sambil menunduk.
"Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?" tanya Via tak sabar.
"E...anu... Papa Mbak Via...ke... kecelakaan," jawab Pak Yudi gugup.
"Kecelakaan? Sekarang di rumah sakit mana? Kondisi papa bagaimana?" Via langsung panik.
"Mbak Via ikut saya saja ke rumah sakit sekarang, ya."
Via menoleh ke Pak Rangga. Guru piket itu mengangguk.
"Silakan, Via. Tasmu nanti biar dibawa Ratna."
Via pun menurut. Ia mengikuti langkah Pak Yudi. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit mereka hanya membisu.
"Ikut saya, Mbak. Pak Wirawan masih di IGD menunggu kedatangan keluarga."
Mereka berjalan cepat ke IGD. Perasaan Via semakin kacau. Sesampai di sana, Via melihat Pak Andi, pengacara papanya.
"Pak Andi kok di sini? Mana papa?" tanya Via heran.
Pak Andi hanya tersenyum yang terlihat dipaksakan. Lalu ia membimbing Via mendekat ke salah satu tempat tidur pasien.
"Mana papa?" Via kebingungan.
Pak Andi terus membimbing Via sampai ke samping tempat tidur. Via menatap Pak Andi. Kemudian Pak Andi menyibak kain putih di atas kasur.
"Pa...papa!" jerit Via. Ia tidak lagi dapat mempertahankan kesadarannya.
Dengan sigap Pak Andi menopang tubuh Via yang hampir jatuh. Dengan dibantu perawat, Via dipapah dan dibaringkan di ranjang pasien.
Sekitar 15 menit kemudian Via mulai tersadar. Ia mencoba mengingat yang terjadi.
"Papa...mana papa? Paaa!" Via berteriak histeris.
Pak Andi mendekat begitu mendengar jeritan Via. Ia berusaha menenangkan anak itu.
"Via tenang, ya. Kamu harus sabar. Papamu sudah tenang.Biarlah papa bahagia bersama mamamu."
"Kenapa papa tega meninggalkan Via? Kenapa Via ditinggalkan sendiri? Kenapa Via tak diajak? Via sama siapa, Pa?" ratap Via menyayat hati.
Pak Andi mengusap kepala Via. Ia berusaha menenangkan gadis itu.
"Via!" seorang gadis berseragam putih abu-abu mendekat.
"Ratna! Sekarang aku sebatang kara. Aku sendirian. Aku takut" Via mengadu kepada sahabatnya.
Ratna segera memeluk Via. Dibiarkannya Via menangis tersedu. Setelah agak tenang, Ratna melepaskan pelukannya.
"Via, masih ada aku juga teman-teman lain. Guru-guru kita, pegawai yang ada di rumahmu, semua keluargamu. Kami menyayangimu. Kau tak perlu khawatir," ujar Ratna menghibur.
Ia langsung disuruh Pak Rangga menyusul Via ke rumah sakit diantar Bu Aisyah. Pak Rangga sebenarnya sudah tahu yang terjadi dari Pak Yudi.
"Via, apa yang Ratna katakan benar. Kami menyayangi kamu. Kamu tidak sendiri," kata Bu Aisyah yang baru masuk dengan lembut.
Via menarik nafas panjang. Ia berusaha menenangkan diri.
Bu Aisyah tersenyum melihat Via sudah bisa tenang. Jemari Bu Aisyah mengusap lembut pipi Via.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
Salsabila Atifah
dari awal dah nangis gw 😭😭😭
2021-05-28
0
Irmawati Wati
mampir di sini...cerita,y bnyk bawang merah,y....😭😭
2021-04-30
1
Dhina ♑
Sabar Via, jangan terlalu larut dalam kesedihan
kamu beruntung punya teman yang baik
2021-04-01
0