Saat jarum panjang menunjuk angka 6 sementara jarum pendek di antara angka 6 dan 7, Via sudah berada di mobil yang dikemudikan Pak Nono. Ia berangkat ke sekolah dari rumah sakit.
Tidak seperti biasanya, Via menjadi anak pendiam. Tak ada senyum yang menghiasi bibir tipisnya.
"Kenapa, Vi? Sariawan?" tanya Ratna, sahabat Via.
Via tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Ada masalah di rumah? Jangan bilang papamu marah gara-gara kamu kencan!" kata Ratna lagi.
Mendadak Via menelungkupkan tangan ke wajahnya dan terisak. Ini membuat Ratna kaget. Ia belum pernah melihat Via menangis.
"Ada apa, Vi? Aku keterlaluan?" tanya Ratna lembut.
Via menggeleng. Isaknya masih terdengar.
"Lalu kenapa? Kalau mau cerita yang rahasia, mending kita ke UKS. Bagaimana?"
Lagi-lagi Via menggeleng. Ia mengambil nafas panjang, seperti berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Mama, Rat. Mamaku sakit. Sekarang di rumah sakit," kata Via setelah terdiam beberapa saat.
"Sakit apa?"
"Komplikasi. Yang jelas jantung dan ginjal mama sudah rusak. Mama butuh donor."
"Separah itu? Bukankah selama ini mamamu baik-baik saja?" tanya Ratna kaget.
"Itulah, Rat. Itu yang membuat aku merasa bersalah. Aku, anaknya, tidak tahu penderitaan mamaku. Anak macam apa aku ini?" keluh Via. Air mata mulai mengalir lagi.
"Sekarang kondisi mamamu bagaimana?"
"Sejak kemarin belum sadar. Aku takut, Rat. Aku takut kehilangan mama. Aku takut tidak bisa melihat lagi senyumnya." Tangis Via meledak. Ia memeluk erat tubuh Ratna yang duduk di sampingnya.
Melihat Via menangis sambil memeluk Ratna, beberapa teman yang tengah asyik ngobrol tampak heran. Beberapa di antara mereka mendekat.
Begitu melihat ada yang mendekat, Ratna memberi isyarat agar mereka tidak usah ikut campur. Mereka pun kembali menjauh.
"Kamu harus tetap tegar, Vi. Doakan mamamu agar cepat sembuh," Ratna berusaha menghibur. "Nanti aku ikut kamu ke rumah sakit, ya."
Via mengangguk. Jemari tangan kanannya mengusap pipi yang basah oleh air mata.
Begitu bel jam terakhir berbunyi, Via dan Ratna bergegas ke pintu gerbang. Pak Nono sudah menunggu.
Begitu melihat Via, Pak Nono segera membukakan pintu mobil. Tak lama kemudian, mobil pun melaju ke rumah sakit.
Baru saja sampai rumah sakit, ponsel Pak Nono berdering. Nama Tuan Wirawan tertera di layar. Pak Nono segera menerima panggilan.
"Assalamualaikum,Pak."
....
"Ya, kami baru sampai rumah sakit."
....
"Baik, Pak."
Via menatap Pak Nono.Tatapannya seakan meminta penjelasan.
"Papa Mbak Via yang telepon. Nyonya masuk ICU. Kita langsung ke ICU saja," kata Pak Nono.
Kekhawatiran tampak jelas di raut wajah Via. Tanpa menjawab, ia segera melangkah masuk rumah sakit. Pak Nono dan Ratna mengikuti langkah Via.
Di depan ICU, Pak Wirawan berdiri termangu. Tatapannya tampak kosong.
"Pa!" panggilan Via mengagetkan Pak Wirawan. "Bagaimana kondisi mama? Apa mama membutuk?"
Pak Wirawan menatap putrinya. Tangannya direntangkan dan merengkuh Via erat.
Via tercekat. Dari gelagat papanya, jelas sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Mama bagaimana, Pa?" tanya Via.
"Dokter sedang berusaha, Vi," jawab Pak Wirawan lirih.
"Kita berdoa saja, Vi," kata Ratna.
Pak Wirawan melepaskan pelukannya. Dibimbingnya Via ke bangku di teras ICU.
Mereka berempat duduk tanpa bersuara. Semua larut dalam pikiran masing-masing.
Hampir setengah jam mereka terdiam. Hingga seorang perawat memecah kebisuan yang tercipta.
"Keluarga Ibu Dewi Wirawan?"
"Saya," jawab Via dan papanya bersamaan. Mereka lalu berdiri menghadap perawat yang baru saja bertanya.
"Silakan masuk. Tolong pakai baju ini," ujar perawat sambil menunjukkan baju khusus.
Setelah mereka mengenakannya, perawat itu mengajak ke tempat mama Via. Di sana ada dokter dan perawat yang berdiri di dekat tempat tidur.
"Maaf, Pak. Kondisi Ibu Dewi semakin memburuk. Kami sudah berupaya maksimal. Silakan keluarga menunggui pasien karena mungkin ini saat-saat terakhir beliau," kata dokter.
Via mendadak lemas. Kata-kata dokter membuat hatinya hancur. Tubuhnya merosot ke lantai. Pak Wirawan segera menopangnya, mendudukkan ke kursi di dekat mereka.
Ketegangan tampak di wajah mereka. Pak Wirawan berusaha tenang, mendekat ke kepala istrinya.
"Ma, terima kasih atas semua kasih sayangmu. Terima kasih telah mendampingi aku dan anakmu. Maafkan kami yang tak bisa membahagiakanmu," ucap pria itu ke telinga sang istri. Lalu dibisikan kalimat tauhid.
Sementara, Via semakin lemas. Air mata telah membanjiri wajahnya yang memucat.
Tak lama kemudian, EKG di dekat tempat tidur pasien menunjukkan grafik mendatar. Dokter dan perawat dengan sigap memeriksa mama Via.
Sementara itu, Pak Wirawan segera merengkuh bahu Via, menggeser kursi yang diduduki anaknya agar dapat memberikan ruang bagi dokter dan perawat yang tengah bekerja.
"Mohon maaf, Pak. Dengan sangat menyesal kami tidak dapat menyelamatkan istri Bapak. Kami ikut berduka cita," kata dokter.
"Bruggg...." Via terjatuh ke samping. Tangan papanya tidak kuasa menahan tubuh rampingnya.
Hari itu menjadi hari kelabu bagi keluarga Wirawan. Bukan hanya Via dan papanya, melainkan ART dan sopir keluarga.
Karena hari sudah gelap saat jenazah dibawa dari rumah sakit, pemakaman diputuskan dilakukan esok harinya.
Saat jarum pendek menunjuk angka 9, iring-iringan orang berbaju gelap bergerak dari kediaman keluarga Wirawan menuju pemakaman. Pak Wirawan tampak di depan, satu di antara pengusung keranda.
Sesampai kompleks pemakaman, mereka menuju tempat yang sudah disiapkan. Prosesi pemakaman pun berjalan lancar.
Gerimis mulai menetes saat orang-orang mulai meninggalkan kompleks pemakaman. Mereka berjalan dengan langkah cepat, terlihat khawatir kehujanan.
Namun, tidak dengan orang-orang yang masih berada di dekat gundukan tanah basah. Via, papanya, Ratna, dan Bu Aisyah, wali kelas Via, berjongkok di dekat makam. Via masih terisak, enggan beranjak dari tempat itu.
"Via, kita pulang, yuk! Kamu harus mengikhlaskan mama,"bujuk Pak Wirawan.
"Benar, Vi. Kalau kamu seperti ini, kasihan papa mamamu. Mama justru tidak tenang di sana. Papamu akan bertambah beban karena harus memikirkan kondisi kamu. Kita pulang, ya! Mamamu lebih membutuhkan doa, bukan kehadiranmu di sini. Kamu sayang papa mama, kan?" bujuk Bu Aisyah lembut.
"Via mau di sini. Via nggak mau ninggalin mama sendirian. Kasihan mama."
"Via, mama justru akan tersiksa melihat kamu meratapi kepergiannya. Langkah mama menghadap Sang Khalik akan berat. Kamu sayang mama? Jangan memperberat langkahnya!"
Via menatap wali kelasnya. Bu Aisyah balik menatap wajah Via yang sembab.
"Jadilah anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Karena mama telah tiada, kewajiban Via kepada mama adalah mendoakannya. Via mau, kan?"
Akhirnya, Via mengangguk. Perlahan ia bangkit dengan dibantu Ratna.
Ia menoleh saat sampai gerbang makam. Terasa berat baginya berpisah dengan orang yang melahirkannya, yang menyayanginya dengan tulus. Air matanya pun terus berjatuhan seiring rinai gerimis pagi itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
Dhina ♑
#100
😭😭😭 sedih banget, ternyata mama Via tidak tertolong. tapi memang Allah SWT lebih menyayangi mama Via, makanya di panggil menghadap sang Ilahi 😥😥😥
2021-03-06
0
Nana chan
lansung luncur aja thor😂semangat thor❤salam dari"Hanya Bisa Berusaha"
2020-12-30
0
Caramelatte
jangan kasi kendor thorr
semangat terosss
2020-11-24
0