Suasana berkabung masih tampak di kediaman Via. Rumah yang sepi semenjak meninggalnya mama Via kini semakin suram.
Hingga hari ke-5 meninggalnya Pak Wirawan Via belum masuk sekolah. Ratna dengan setia menemani sahabat karibnya. Dia menginap di rumah Via semenjak papa Via meninggal.
Siang itu Ratna pulang bersama Bu Aisyah. Saat itu Via baru saja mandi.
"Assalamualaikum. Apa kabar, Via?" sapa Bu Aisyah.
Via tidak mengira wali kelasnya datang menjenguk.
"Waalaikumsalam. Baik, Bu," jawab Via sambil mencium tangan Bu Aisyah. "Silakan duduk. Maaf, Bu, Via belum bisa masuk."
"Tidak apa-apa."
"Saya ke dalam dulu, Bu, Via," kata Ratna. Ia bergegas ke kamar tamu yang ia tempati selama menginap di rumah Via.
Baru beberapa menit Bu Aisyah ngobrol, Pak Andi datang. Setelah basa-basi, Pak Andi meminta agar Via memanggil sopir dan ART keluarganya.
Begitu keempat orang datang bersama Via, Bu Aisyah berpindah duduknya ke samping Via.
"Mbak Via, mohon maaf sebelumnya. Saya tahu Mbak Via masih berduka. Mbak Via baru saja mendapat cobaan yang cukup berat. Namun, terpaksa saya menyampaikan hal ini sekarang karena sangat penting. Ini menyangkut masa depan Mbak Via. Saya minta Mbak Via bisa mengerti," Pak Andi membuka pembicaraan.
Via berdebar mendengar ucapan Pak Andi. Ia merasa ada hal buruk yang akan ia dengar.
"Sampaikan saja, Pak," kata Via dengan wajah tegang.
Pak Andi menghela nafas panjang sebelum berbicara lagi, "Sepeninggal Bu Wirawan, bapak sangat terpukul. Beliau menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, konsentrasi beliau tidak sepenuhnya kepada perusahaan. Hal itu dimanfaatkan oleh pesaing bisnisnya hingga perusahaan kolaps. Karena butuh dana, almarhum terpaksa mengagunkan rumah ini."
Via tersentak. Sementara Pak Andi berhenti sejenak.
"Lima hari yang lalu, almarhum menerima kabar kalau perusahaan kalah tender lagi. Padahal, proyek itu harapan almarhum untuk mempertahankan perusahaan. Beliau bermaksud meminta perpanjangan tempo utang, tetapi justru dalam perjalanan mengalami kecelakaan. Mungkin waktu itu beliau tidak konsentrasi saat menyetir."
"Kalau saja saya tidak keluar, mungkin ini tidak terjadi. Bapak seharusnya tidak mengemudikan mobil sendiri," Pak Yudi menyela.
"Jangan menyalahkan diri sendiri, Pak. Semua sudah diatur Allah," kata Bu Aisyah.
"Jatuh tempo pelunasan utang almarhum Senin lusa. Jadi,..." Pak Andi menggantung kalimatnya.
"Jadi bagaimana, Pak?" Via tertunduk lesu. Betapa cobaan demi cobaan menderanya dalam waktu dekat.
"Rumah ini harus segera dikosongkan. Saya gagal memohon perpanjangan. Maaf," kata Pak Andi lirih.
Air mata Via sudah tidak bisa dibendung lagi. Isaknya begitu jelas terdengar. Dua ART-nya pun tak kuasa menahan air mata mereka.
"Papa, Mama, kenapa aku ditinggal sendiri? Aku tak sanggup menghadapi ini semua sendiri. Aku tak sanggup...," ratap Via terdengar memilukan.
Bu Aisyah segera merengkuh Via. Dibiarkannya gadis itu menangis menumpahkan kesedihannya. Bu Aisyah membiarkan jilbabnya basah oleh air mata Via.
Setelah agak tenang, Bu Aisyah berbisik ke telinga Via,"Kamu tidak sendiri. Ibu dan Ratna pernah mengatakan hal ini. Percayalah, setiap masalah ada jalan keluarnya. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya."
Via mengangguk. Tangisnya mulai mereda. Yang tersisa tinggal isaknya.
"Via, sebelum ke sini Ibu sudah bicara dengan Pak Andi dan suami Ibu. Kebetulan Pak Andi adik kelas suami Ibu waktu SMP. Kami punya rencana kamu tinggal bersama Ibu. Kamu Ibu anggap sebagai anak Ibu. Itu kalau kamu setuju," kata Bu Aisyah lembut.
Via menatap wali kelasnya tak percaya. Ia sendiri bingung harus tinggal di mana setelah rumah disita.
Bu Aisyah tersenyum dan mengangguk. Ia sepertinya mengerti keraguan Via.
"Sudah lama Ibu ingin punya anak perempuan lo."
"Bagaimana Mbak Via?" tanya Pak Andi.
"Via...Via ikut saja bagaimana baiknya. Lalu Pak Nono, Pak Yudi, Mbok Marsih, dan Bu Inah bagaimana?"
Pak Andi menghela nafas dalam-dalam sebelum berkata,"Mohon maaf semua, karena kondisi seperti ini, Bapak dan Ibu ... terpaksa harus berhenti. Ini ada sedikit uang untuk pesangon." Pak Andi mengeluarkan 4 amplop berwarna cokelat.
"Kami mengerti. Sebenarnya berat berpisah dengan keluarga Pak Wirawan. Namun, takdir Allah sudah digariskan. Kita tidak mungkin bisa mengelak," ujar Pak Nono.
"Kami di sini diperlakukan dengan sangat baik. Bapak dan ibu menganggap kami seperti keluarga. Terima kasih, Mbak Via. Kami belum bisa membalas kebaikan almarhum juga Mbak Via,"Mbok Marsih menambahkan.
Via memeluk Mbok Marsih dan Bu Inah. Mereka larut dalam keharuan untuk beberapa saat.
"Sebaiknya Minggu pagi mulai berkemas. Saya jemput Via sekitar jam 11, ya," kata Bu Aisyah.
Via mengangguk. Tangannya sibuk menyeka air mata yang membasahi pipinya.
"Kalau begitu, saya pamit dulu. Sebentar lagi masuk waktu maghrib," Bu Aisyah berpamitan.
"Saya juga pulang. Kita lanjutkan besok," kata Pak Andi menimpali.
Via beserta sopir dan ART-nya bangkit mengantar keduanya sampai teras depan rumah. Setelah mobil mereka tak tampak, Via masuk langsung ke kamar.
Dalam kamar ia menyapukan pandangannya ke semua sudut. Ruangan ini penuh dengan kenangan. Di ruang ini ia menghabiskan malamnya. Di kamar ini ia mempersiapkan untuk masa depannya. Tak terasa matanya mulai berkaca-kaca.
"Tok...tok...tok" terdengar pintu kamarnya diketuk.
"Via, boleh aku masuk?" terdengar suara Ratna.
"Masuk, nggak dikunci kok," jawab Via sambil mengusap wajahnya.
"Sedang apa, Vi?"
Via tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke Ratna lalu melangkah ke meja belajarnya.
"Sebentar lagi aku akan meninggalkan semua yang ada di sini. Berat rasanya. Begitu banyak kenangan yang terpatri di kamarku."
"Aku mengerti perasaanmu. Semua begitu cepat terjadi tanpa diduga. Namun, aku percaya kamu bisa melewati ini semua. Kamu akan menemukan indahnya pelangi setelah hujan."
"Hei... dari mana kau dapat kata-kata itu?" tanya Via sambil menahan tawa.
"Ish...kau tak tahu bakat terpendamku. Bu Nita yang tahu kalau aku calon pujangga," sahut Ratna dengan muka dibuat cemberut.
"Pujangga? Pujangga cinta?"tawa Via akhirnya meledak.
Ratna pura-pura kesal. Sebenarnya dia senang mendengar tawa lepas Via. Sudah lama ia tidak mendengar Via tertawa seperti itu.
"Awas lo, lama-lama kamu bisa jadi bucin," ledek Via.
"Eits... jadi pujangga bukan berarti bucin. Kamu harus bisa membedakan."
"Oh begitu? Iya lah Nona Penyair. Ngomong-ngomong kok Nona tak pernah menulis puisi di mading? Tugas menulis puisi dulu malah terlambat sampai ditagih."
"Aaah... puisiku bukan untuk konsumsi publik," Ratna mencoba ngeles.
"Konsumsi semut?"
"Ah kau ini. Udah, ah! Aku sholat maghrib dulu."
Ratna keluar kamar Via dengan perasaan lega. Ia merasa Via mulai bisa menepis kesedihannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
Eli Maliani
baru juga baca sampe sini eeh udah mewek😭😭
2023-01-05
0
Dhina ♑
👍👍👍👍👍👍👍👍
2021-08-08
0
Radin Zakiyah Musbich
Ceritanya seru kak 👍👍👍
ijin promo ya 🐞🐞🐞
jgn lupa baca novel dg judul "HITAM"
kisah tentang pernikahan yg tak diinginkan,
jangan lupa tinggalkan like and comment 🐞🐞🐞🙏
2021-01-04
1