Hanniel baru saja selesai mandi saat mendapati adik perempuannya tengah berada di kamarnya. Adik perempuan yang hanya berjarak dua tahun darinya tengah memegang kertas yang di pinjamnya dari Vivian beberapa hari lalu.
"Kak, maaf. Aku tak sengaja melihatnya di atas meja dan membacanya tanpa izin!" seru sang adik.
Hanniel tak berkata apa-apa. Laki-laki itu menghampiri sang adik yang tengah duduk di atas tempat tidurnya dan duduk disampingnya. "Kania, apa tanggapanmu tentang cerita itu?" tanya Hanniel menatap serius kedua mata adiknya.
Gadis berambut panjang bernama Kania itu tampak ragu-ragu untuk menjawab. Bukan tanpa sebab, dirinya hanya takut jika apa yang akan di ucapkannya akan membuat sang kakak marah.
"Jangan khawatir kakak gak akan marah," seru Hanniel seolah bisa membaca apa yang dipikirkan adik semata wayangnya.
"Se-sepertinya cerita ini memiliki sedikit kemiripan dengan apa yang pernah kakak dan kak Fani lalui." Kania tergugup.
"Ta-tapi kak aku juga belum baca semuanya. Aku hanya baru baca tiga bab saja. Jadi yang baru aku ucapkan itu anggap saja hanya omong kosong!" lanjut Kania cepat.
"Jadi bukan hanya kakak yang merasa begitu, ternyata kamu juga," gumam Hanniel pelan.
"Maksud kakak?" Kania bingung.
"Vivian bilang dia bekerja sama dengan seseorang untuk novel terbarunya. Naskah yang berada di tanganmu itu adalah kisah yang di alami oleh orang itu."
"Ini kisah nyata?" pekik Kania tak percaya.
Hanniel mengangguk.
"Apa mungkin orang yang di maksud kak Vivian itu kak Fani? Tapi bagaimana mereka bisa saling mengenal?" tanya Kania sembari menerka-nerka.
Hanniel terdiam tak menjawab apa-apa. "Apa kamu masih berhubungan dengannya?" tanya Hanniel pelan.
Kania menggeleng. "Aku sudah lama tak pernah mengobrol ataupun saling berkirim pesan lagi, kak. Kalau kakak?"
"Nomornya sudah ku blokir," jawab Hanniel lesu sembari tertunduk dan menghela nafas dalam.
"Oh iya, nanti kalau bertemu kak Vivian tolong jangan berkata macam-macam, terutama tentang hal ini," pinta Hanniel.
Kania menjawab dengan menganggukkan kepalanya dengan wajah yang polos.
"Oh iya, kamu ke kamar kakak pagi-pagi begini ada apa?" tanya Hanniel mengalihkan pembicaran.
"Aku hanya mau mengingatkan kalau jam sepuluh nanti akan ada rapat untuk membahas pergantian manajemen mall, kak."
"Baiklah, kakak tahu. Kalau sudah kamu cepat keluar, kakak mau ganti baju."
Sebelum keluar, gadis itu sempat menatap sebentar ke arah laci meja bagian atas lantas pergi keluar dari kamar sang kakak.
Baru saja menutup pintu, Kania melihat sang mama sedang duduk di sofa ruang keluarga sambil memegang kalender kecil. Dengan wajah serius wanita paruh baya itu tampak menunjuk-nunjuk beberapa angka yang tertera pada kalender.
"Mama sedang apa?" tanya Kania yang kini sudah berdiri disamping sang mama.
"Ini loh, mama sedang melihat-lihat tanggal mana yang terlihat baik untuk pertunangan kakak mu," jawab sang mama membuat Kania mundur satu langkah kebelakang.
"Coba menurutmu mana tanggal yang bagus untuk acara pertunangan itu?" tanya sang mama pada putri bungsunya.
Kania tak tahu harus menjawab apa. Mulutnya mendadak terkunci rapat. Bahkan jari-jari tangannya pun tak ingin menunjuk setiap angka di kalender yang di sodorkan sang mama.
"Kenapa harus bertanya ke orang lain kalau mama dan papa bisa memilih yang terbaik?" sahut Hanniel yang tiba-tiba muncul di belakang Kania.
Kania memandang sang kakak dengan tatapan sedih. Tapi biar bagaimana pun gadis itu tahu bahwa dirinya tak berhak berkomentar apa pun atas kehidupan sang kakak.
"Hei selagi kamu disini, cepat pilih tanggalnya!" seru sang mama pada sang putra dengan bersemangat.
Hanniel hanya menatap lekat-lekat sepasang mata Kania tanpa melirik sedikit pun ke arah kalender. "Terserah mama dan papa saja!" sahut Hanniel dingin.
"Kamu mau ikut dengan ku atau berangkat ke kantor sendiri?" tanya Hanniel pada sang adik semata wayang.
"A-aku ikut!"
Kania langsung mengekor sang kakak sampai pada akhirnya kedua orang itu berada di dalam mobil. Tak ada pembicaraan apa pun di antara keduanya.
Hanniel tampak cuek dan fokus menyetir dan Kania sesekali melirik ke arah sang kakak.
"Kak.." panggil Kania lirih.
Hanniel menghela nafas dalam sebelum akhirnya berbicara, "Kalau kamu ingin membahas masalah tadi lebih baik jangan bicara apa-apa, tapi kalau menyangkut pekerjaan kakak akan mendengarnya."
Kania memilih diam. Ada banyak hal yang ingin dia utarakan, namun sepertinya waktunya belum tepat.
Hanniel begitu mengenal sifat adiknya dengan baik. Kania yang terdiam menandakan bahwa dia memang ingin membicarakan masalah tadi pagi.
**
Sore itu Evan nampak sibuk membalas beberapa pesan yang masuk di telepon genggam miliknya sambil sesekali menyeruput es kopi di sebuah gerai dalam mall. Laki-laki itu sampai tak memperhatikan jika ada dua orang yang datang menghampirinya.
"Evan!" panggil Vivian.
Evan langsung mendongakkan kepalanya mendengar seseorang memanggil namanya. Namun, matanya tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri disamping Vivian.
"Kenalkan, ini calon tunanganku! Hanniel!" seru Vivian memperkenalkan laki-laki yang berada disebelahnya.
Evan masih tetap diam tak bergeming, terus menatap Hanniel dengan tatapan tak percaya. Laki-laki itu merasa bersyukur bahwa Fani tak ikut dengannya saat itu.
"Maaf memintamu datang kesini, pasti merepotkan ya!" ucap Vivian sembari duduk di kursi kosong di depan Evan yang juga di ikuti Hanniel yang duduk disamping Vivian.
Mau tak mau Evan mengalihkan pandangannya. "Tidak apa-apa kebetulan mall ini searah tempat yang akan aku tuju."
Vivian tampak menatap bangku kosong disebelah Evan. "Fani tidak ikut datang bersamamu?" tanyanya.
Hanniel yang mendengar itu langsung mengerutkan keningnya dan menatap Evan dengan tatapan yang sulit diterka, sedang Evan membalas tatapan itu dengan tatapan dingin.
"Iya, dia sedang tidak enak badan. Tadi juga pamit pulang lebih awal," jawab Evan singkat.
Laki-laki itu lantas mengeluarkan sebuah map berisi tiga lembar kertas dari dalam tas laptop miliknya. "Ini kontrak yang harus di tanda tangani, bisa dibaca terlebih dahulu," seru Evan sembari menyodorkannya pada Vivian.
Tanpa banyak bicara gadis itu langsung menandatanganinya, tanpa membacanya sedikit pun.
"Kamu tidak membacanya dulu?" tanya Evan.
"Gak perlu! Aku percaya denganmu dan lagi Fani memberikan ku sebuah ide besar yang menarik untuk ku tulis. Aku sangat berterima kasih," jawab Vivian ramah.
"Oh iya, sewaktu Fani datang ke apartemen ku dia bertanya mengapa impiannya untuk memiliki sebuah buku yang berisi tentang kisahnya dan orang yang dia sukai dapat terwujud dengan begitu mudahnya? Apa ada hubungannya denganmu? Aku langsung menyangkalnya," seru Vivian.
Hanniel yang berada disana hanya diam mendengar percakapan keduanya. Dirinya sama sekali tak berkata apa-apa. Ada hal lain yang terus berkelebat di pikirannya.
"Terima kasih sudah menutupinya," sahut Evan.
"Hmm.. Beruntung sekali dia memiliki atasan sepertimu. Tapi jujur, setiap aku akan mulai menulis, aku selalu penasaran sebenarnya cerita yang aku tulis ini akan berakhir seperti apa?" ucap Vivian.
Evan tak menjawabnya karena dia sendiri tak tahu apa yang akan terjadi di bagian akhir cerita. Tanpa sadar dia menatap Hanniel yang juga menatapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
nine june
awas saingan Hanniel muncul...😁
lanjut Thor 🔥👍
2021-10-18
1