Tak asing

Vivian tampak sibuk didepan laptopnya sambil duduk bersila dilantai dan menyender di sofa saat bel rumahnya berbunyi. "Sebentar," seru Vivian sedikit berteriak sambil berjalan ke arah pintu.

Saat pintu dibukanya, sesosok laki-laki berdiri disana membuatnya terkejut sekaligus senang. "Hanniel?!" pekik Vivian memanggil nama laki-laki itu dengan girang.

Kedua tangannya langsung merangkul leher Hanniel dengan manja. "Jangan seperti ini, gak enak kalau dilihat orang!" seru laki-laki itu dingin.

Vivian langsung melepaskan tangannya dan menyuruh tamu yang baru saja tiba itu masuk.

Mata Hanniel tertuju pada banyaknya lembaran kertas di atas sofa yang tampak berantakan. "Kamu sedang menulis novel baru lagi?" tanya Hanniel sembari mengambil selembar kertas dan membacanya sekilas.

"Iya, tapi kali ini berbeda. Untuk novel yang sedang ku tulis, aku bekerja sama dengan seseorang. Dia bilang itu kisah masa lalunya dan ingin membuat kisah itu menjadi sebuah buku."

"Oh." Hanniel mengumpulkan setiap lembaran kertas dan mengurutkannya sesuai dengan nomor halaman yang tertera di pojok kanan bawah.

Namun, tangannya terdiam sejenak saat mengambil selembar kertas dan tak sengaja membaca isi ceritanya. Hanniel nampak tertegun. Entah kenapa laki-laki itu seolah mengenal kisah yang ditulis disana meskipun itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan cerita.

"Dua hari ini aku sudah menulis sebanyak sepuluh bab. Dan yang membuat ku heran, aku merasa jika karakter si tokoh laki-laki dalam cerita ini mirip sama kamu," seru Vivian yang tampak sibuk memulai aktivitas memasaknya di dapur.

"Maksudnya?" tanya Hanniel yang kini tengah duduk di sofa sembari membaca setiap lembaran kertas itu mulai dari urutan yang pertama.

"Entahlah, aku hanya merasa mirip denganmu saja," jawab Vivian singkat. "Oh iya, kamu bukannya baru akan pulang dari Bandung besok? Kok hari ini sudah kembali?" tanya gadis itu lagi.

"Aku hanya mempercepat pekerjaanku dan ingin beristirahat, tapi mama ku menyuruhku datang kesini," terang Hanniel.

Laki-laki itu mengerutkan keningnya setiap membaca kata per kata yang tertuang disana. Sementara Vivian yang kini sedang sibuk menata meja makan sesekali melirik ke arah Hanniel.

"Tumben sekali kamu membaca cerita ku dengan serius begitu. Biasanya kamu hanya membaca atau melihatnya sekilas saja," ucap Vivian.

"Aku hanya berpikir kalau cerita ini cukup menarik." Hanniel menaruh setumpuk kertas itu di atas sofa dan berjalan ke meja makan.

"Aku juga merasa begitu. Saat pertama kali aku mendengar ceritanya, aku langsung tertarik. Aku tak menyangka kalau akan ada seorang perempuan yang bisa menyukai cinta pertamanya sampai empat belas tahun."

Mendengar kata 'cinta pertama', Hanniel nampak termenung sesaat. Laki-laki itu termenung sejenak memikirkan kurang lebih satu bulan yang lalu saat 'cinta pertamanya' datang kerumah namun dirinya memilih untuk tak menemui gadis itu.

"Hanniel? Hanniel?" panggil Vivian yang melihat Hanniel melamun.

"Kenapa?" tanya Hanniel pada akhirnya.

"Oh iya coba deh baca di bab enam itu isinya tentang saat si tokoh utama laki-laki berjanji lewat telepon dimalam hari akan mengajari si tokoh utama perempuan esok pagi di sekolah. Mereka bahkan sudah menentukan jam pertemuan mereka tapi si tokoh utama laki-laki datang terlambat setengah jam. Padahal si tokoh utama perempuan sudah berada di sekolah sejak pukul setengah enam pagi," celoteh Vivian yang nampak antusias sekali menceritakan kisah itu.

"Dan yang lucu, si tokoh utama perempuan ini sampai sekarang masih menyimpan sebuah pensil yang pernah dipakai si tokoh utama laki-laki saat itu. Bukankah itu hebat? Tapi sebenarnya saat aku mendengar kisah ini, aku merasa cukup kasihan karena jika ku baca ulang apa yang sudah ku tulis maka itu adalah kisah cinta sepihak," lanjut Vivian.

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu? Bisa saja si tokoh utama laki-laki memang menyukai si tokoh utama perempuan. Jangan hanya karena dia datang terlambat lalu kamu langsung menyimpulkan itu sebagai cinta sepihak," timpal Hanniel dengan mimik wajah serius seolah sedang membela diri.

"Bukan!" sergah Vivian cepat.

"Waktu itu dia bercerita kalau laki-laki yang dia sukai tiba-tiba saja menghindarinya dan seolah membencinya di tiga bulan terakhir kebersamaan mereka di SMA. Sementara dia terus berusaha bertemu laki-laki itu sampai sekarang. Oh iya kalau gak salah baru-baru ini dia juga pernah datang ke rumah laki-laki itu untuk mengantar undangan pernikahan kakak perempuannya, tapi saat satpam rumahnya sudah memberitahu laki-laki itu lewat pesan, laki-laki itu hanya membacanya tanpa mau menemuinya. Semakin aku mendengar kisahnya, aku merasa sedikit kasihan," jelas Vivian.

Hanniel tak menanggapi apa-apa. Laki-laki itu justru diam termenung sembari mendengarkan ucapan gadis di depannya.

"Coba bayangkan, saat kamu mencintai seseorang dengan tulus tapi orang yang kamu cintai hanya pergi begitu saja tanpa pernah melihatmu. Tanpa pernah menghargai perasaanmu. Sedangkan kamu masih terus berdiri ditempat yang sama seperti di masa lalu, menunggunya kembali tanpa ada hal yang pasti. Jika aku menjadi dia, aku sudah pasti akan sangat terluka. Di ibaratkan jika kamu menunggu hal yang mungkin tak akan pernah kembali. Seolah itu hanya akan berujung sia-sia," lanjut Vivian.

Hanniel menaruh sendok dan garpu di atas meja, tak melanjutkan makan malamnya. "Aku pulang," serunya tiba-tiba seraya bangkit berdiri dan berjalan ke arah sofa.

Sementara Vivian masih menyantap makan malamnya.

Hanniel mengambil tumpukan naskah cerita yang tadi sempat dibacanya. "Aku pinjam ini, nanti setelah selesai ku baca akan aku kembalikan."

Vivian tak berkata apa-apa karena Hanniel langsung pergi keluar dari rumahnya. Laki-laki itu masuk kedalam mobilnya dan memandang tumpukan kertas yang masih dipegangnya dalam kegelapan.

"Bagaimana bisa dia sekeras kepala ini?" gumamnya pelan.

**

Ditempat lainnya diwaktu yang sama, Fani tampak berkumpul dengan Hansen dan Riri. Ketiganya berjalan di trotoar sembari mengobrol dan sesekali tertawa melepas penat seusai kerja.

"Hei, aku yakin sekali kalau bos kita itu menyukaimu!" cetus Riri tanpa basa-basi.

Fani langsung menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. "Kalian ini suka aneh-aneh aja. Aku sama pak bos itu teman kuliah. Jadi kalian jangan buat gosip yang aneh-aneh," jawab Fani.

"Hei tunggu!" seru Hansen tiba-tiba membuat Fani dan Riri menatap ke arahnya.

"Sepertinya ucapan Riri benar! Coba lihat!" Hansen menunjuk ke arah sebuah mobil sedan hitam yang baru saja berhenti tak jauh dari tempat mereka bertiga berdiri sekarang.

Dari dalam mobil sedan itu keluar Evan yang kini berdiri bersandar pada mobilnya sambil melambaikan tangannya pada Fani. "Dia hanya berniat mengantarku pulang lalu numpang makan di rumah ku," terang Fani tak ingin ada kesalahpahaman.

"Baiklah baik kami mengerti. Sudah sana pergi, kasian pak bos menunggu," ucap Riri dengan nada sindiran sembari tertawa kecil.

Terpopuler

Comments

no name

no name

rajin sekali pagi-pagi berangkat ke sekolah 🤭 panutan yang bagus👍

2021-10-16

2

nine june

nine june

lanjut Thor....
jadi ingat jaman masih putih abu dulu,
semangat yaaa. 😁💪👍

2021-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!