Kotak Kenangan

Langit sudah berubah menjadi lebih redup saat Fani berdiri di depan pintu ruang atasannya. Gadis itu terlihat sumringah dan tak bisa berhenti tersenyum.

Buku yang dibacanya siang tadi masih berada di tangannya. Sambil memandang buku itu, dia berkata "Sebentar lagi aku akan memiliki tulisan tentang kisahku sendiri!"

Pak bos yang baru keluar dari ruangannya tampak terkejut melihat Fani berdiri dihadapannya. "Hei, kenapa kamu masih disini?" tanya atasannya.

"Tunggu kamu," jawab Fani cepat sembari langsung menghampiri sang atasan.

"Kenapa? Kok tumben?" tanya pak bos lagi.

Fani tak menjawab pertanyaan itu, dan justru memeluk lengan kiri sang atasan sambil terus tersenyum. Keduanya berjalan menuju ke lift.

"Apa sebahagia itukah?" tanya sang atasan lagi saat keduanya sudah berada di dalam lift.

Fani mengangguk berkali-kali. "Evan, aku pikir kamu lupa sama apa yang pernah aku ceritakan!"

"Mana mungkin aku lupa. Apalagi kalau itu adalah impian terbesar kamu. Sebagai orang yang paling dekat denganmu, tentu aku harus membantu mewujudkannya saat ada kesempatan!" timpal sang atasan yang bernama Evan itu.

"Apa semua ini hanya kebetulan? Bagaimana bisa Vivian memilih kita sebagai penerbitnya? Apa kamu memohon padanya?" tanya Fani yang merasa mulai curiga.

"Kamu pikir aku apa? Bagaimana mungkin aku memohon-mohon? Otakmu sudah mulai gak beres," timpal Evan.

"Lalu bagaimana bisa hal-hal seperti itu berjalan sesuai dengan keinginanku?" tanya Fani lagi.

"Kalau begitu bisa saja semesta sedang membantumu!" jawab Evan yang kini melepaskan pelukan tangan Fani dan justru berbalik merangkul pundak gadis itu. "Karena kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, maka kamu harus berusaha lebih keras lagi!" lanjutnya.

"Tentu! Aku akan berusaha menceritakan setiap detailnya!" jawab Fani berapi-api.

Kini Evan yang terlihat tersenyum kecil melihat antusias Fani. "Ternyata di dunia ini masih ada laki-laki yang seberuntung itu," gumam Evan pelan.

"Maksudnya?" Fani tak paham maksud ucapan Evan barusan.

"Dia beruntung karena meski dia meninggalkanmu dan tak peduli padamu atau bahkan sekarang mungkin dia sudah tak mengingatmu tapi ada seseorang yang selalu mengingatnya dan berusaha keras untuk tak menghapus setiap jejak dirinya. Bukankah itu bisa dikatakan dia sungguh beruntung?" jelas Evan.

Fani menghentikan langkah kakinya saat akan masuk kedalam mobil milik Evan, padahal laki-laki itu sudah membuka pintu mobilnya.

"Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, sesakit apa pun itu kamu pasti enggan untuk melepasnya. Namun, jika kamu tak benar-benar mencintainya maka semudah apa pun jalannya kamu akan melepasnya begitu saja," jawab Fani sembari menatap Evan.

Evan menyadari untaian kalimat itu menyiratkan sebuah makna. "Apa aku boleh numpang makan malam dirumahmu?" tanya Evan mengalihkan pembicaraan.

Laki-laki itu menyadari bahwa sepertinya cinta Fani untuk seseorang yang tak pernah dirinya tahu cukup dalam. Dan yang menjadi kepastian, tak ada ruang dalam hati gadis dihadapannya bagi siapapun, termasuk dirinya.

"Kenapa masih bertanya? Bukannya kamu sering numpang makan di rumahku? Hahaha.." Fani tertawa kecil membuat Evan menutup pintu mobil sambil sedikit tersipu.

**

Sesampai dirumahnya, Fani langsung masuk kedalam kamar sementara Evan tampak mengobrol dengan mama Fani didapur. Wanita paruh baya itu tengah sibuk memasak makanan untuk makan malam.

"Kamu istirahat saja atau sana mengobrol dengan Fani, jangan bantu-bantu disini. Pasti lelahkan setelah bekerja seharian," seru mama Fani lembut.

"Kalau begitu saya ke kamar Fani ya tante," pamit Evan.

"Kamu ini, seperti dirumah siapa aja," sahut mama Fani.

Evan perlahan pergi meninggalkan mama Fani yang terlihat sangat sibuk memotong sesuatu dan berjalan ke arah sebaliknya. Laki-laki itu mengetuk sebuah pintu yang sedikit terbuka.

Dilihatnya Fani tengah duduk di depan sebuah meja sembari memandangi sebuah kotak besi berukuran 20cm x 20cm berwarna merah tua. "Kamu sedang melihat apa? Serius banget." Pertanyaan Evan otomatis membuyarkan lamunan Fani.

"Ini semua barang-barang yang sudah ku simpan selama sembilan tahun. Dan ini pertama kali aku membukanya lagi," terang Fani.

Evan berjalan pelan menghampiri Fani dan berdiri di samping gadis itu. Laki-laki itu dengan seksama melihat selembar foto, sebatang pensil 2B yang terlihat usang, satu kartu sim telepon genggam, beberapa lembar potongan koran, sebuah gambar goresan pensil yang tak begitu jelas terlihat karena tertutup barang-barang di atasnya dan sebuah ponsel tua.

"Memang kapan terakhir kali kamu melihat benda-benda ini?" tanya Evan pelan.

"Sembilan tahun yang lalu. Tepat saat hari terakhir ujian nasional SMA. Aku masih ingat. Aku memasukan semua barang-barang ini sambil tak henti-hentinya menangis. Dan baru sekarang aku berani membukanya," jawab Fani dengan wajah sedih.

Evan tanpa permisi meraih selembar foto yang menarik perhatiannya. "Apa ini orangnya?" tanya Evan sembari terus menatap foto itu.

Foto seorang remaja laki-laki yang sedang memegang sebuah piala. Remaja laki-laki itu tampak tersenyum dengan bangga dan penuh kemenangan.

"Hmm.."

"Lalu ini?" Evan mengambil beberapa potongan koran yang tampak usang.

"Aku memotong koran disekolah setiap ada berita kalau dia menang perlombaan," terang Fani.

"Wah, ternyata dia pintar," ucap Evan yang terus menatap potongan-potongan koran ditangannya.

"Dia memang pintar, apalagi untuk pelajaran matematika. Dia seperti dewanya matematika. Semua soal yang sulit dengan mudah dia kerjakan," cerita Fani yang tak menyadari bahwa dirinya tersenyum saat mengingat tentang masa lalu.

"Lalu, apa dalam novel yang akan dibuat oleh Vivian, kamu juga akan menceritakan tentang kisah barang-barang ini?" tanya Evan penasaran.

Fani mengangguk. "Setiap barang di dalam kotak ini menyimpan senyuman dan air mata. Dimana kedua hal itu yang membuat kisah ku dan orang itu menjadi berharga, setidaknya untukku."

"Siapa namanya?" tanya Evan menatap Fani yang terlihat tak henti memandang foto dalam kotak itu.

"Hanniel.. Hanniel Adrian Wijaya.." jawab gadis itu.

"Sepertinya, didalam hati mu tak ada ruang untuk siapapun. Benar begitu?" ucap Evan pelan. Namun dalam nada bicara laki-laki itu seolah menyiratkan sesuatu.

"Van, aku.."

"Belum siap?" Evan memotong pembicaraan Fani.

"Bagaimana kamu bisa siap menerima hati yang lain kalau hatimu sendiri terkunci didalam kotak itu? Sampai kapan pun kamu mungkin tidak akan pernah bisa menerima hati yang lain," lanjut Evan.

Fani terdiam lalu mengangguk. "Aku masih belum rela untuk melepasnya. Kenangan-kenangan itu selalu berputar didalam kepalaku. Aku masih ingin terus menggenggamnya, seolah semua hal baru saja terjadi hari kemarin."

Evan terdiam mendengar penuturan Fani yang menurutnya sudah menjelaskan banyak hal.

"Jika dia memang untukmu maka dia akan kembali padamu, tapi jika bukan maka sekuat apa pun kamu menggenggamnya, dia akan menghilang.." ucap Evan sambil menatap sepasang mata Fani yang juga menatapnya.

Tak ada pembicaraan apa-apa lagi diantara kedua orang itu sampai mama Fani mengetuk pintu kamar anak gadisnya, "Ayo, makan malam sudah siap!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!