Udara malam yang terasa menusuk kulit, tak menghentikan laju motornya. Ia membelah jalanan menuju suatu tempat yang hanya disambangi saat sedang sendiri. Seakan sudah menjadi kebiasaan baginya, setiap malam Arkan akan pergi ke tempat itu.
Beberapa menit kemudian, Arkan sampai di sebuah rumah. Ia berhenti di seberang jalan rumah itu, membuka helm dan diam memandang jauh seseorang yang tak dapat ia genggam. Pandangannya tertuju pada balkon rumah itu yang sepertinya terhubung langsung dengan sebuah kamar yang ia ketahui kamar seseorang yang ia rindukan. Seseorang yang ingin ia miliki namun tak dapat diperjuangkan apalagi digapai. Bahkan ia sudah kalah sebelum berperang. Ia tak mampu jika harus bersaing dengan sahabat sendiri.
Arkan tidak melupakan kata-katanya kepada Faris tadi sore di sekolah, ia ingat betul apa yang dibisikkan ke telinga Faris. Namun, itu hanya bentuk ancaman agar Faris tidak lagi sombong dengan hubungannya dan Silva. Mana mungkin Arkan merusak kebahagiaan mereka. Bagaimanapun, Faris adalah sahabatnya sejak kecil. Sementara Silva adalah cinta pertamanya, gadis yang sangat ia cintai. Arkan pasti akan merasa sangat jahat jika ia merusak hubungan mereka.
Tertawa miris, Arkan menertawakan nasibnya yang entah kenapa sangat tidak bagus. Disaat para remaja seusianya merasakan indahnya jatuh cinta, ia malah harus memendam perasaan cintanya dan setiap hari harus menahan rasa cemburu saat melihat adegan mesra Faris dan Silva. Disaat remaja yang lain merasakan kebebasan berekspresi, bergaul dengan siapa saja, ia justru harus bergelut dengan laporan-laporan keuangan dan berkas-berkas lainnya yang harus ia pelajari sebelum lulus SMA. Karena setelah lulus nanti, Arkan harus menggantikan sang papa memimpin perusahaan.
Jika bisa menolak, ia akan menolak rencana papanya. Memimpin perusahaan besar itu tak mudah. Perlu ilmu dan pengalaman yang tidak sedikit. Namun, ia tidak ingin melihat kedua orang tuanya kecewa. Arkan adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Jadi, papa dan mamanya pasti menaruh harapan besar padanya. Maka, sebisa mungkin Arkan akan menuruti semua keinginan mereka, meski harus mengorbankan kebahagiaannya.
Punggung Arkan menegak saat melihat gadis itu keluar dari kamarnya menuju balkon. Berdiri dengan ponsel di telinga, gadis itu nampak ceria dengan senyum lebar. Indah, selalu kata itu yang terlintas di pikirannya saat memandang wajah gadis itu. Hanya memandang dari jauh saja ia sudah sangat senang. Memastikan gadis pujaannya baik-baik saja dan selalu bahagia sudah lebih dari cukup baginya. Meski sang pujaan tak dapat menjadi miliknya, ia akan tetap senang jika sang gadis bahagia.
Senyumnya makin lebar saat sang gadis mengerling. Nampak jengah dengan lawan bicara yang masih enggan menyudahi percakapan.
Cukup lama Arkan berada di sana, hingga gadis yang menjadi objek pandangannya kembali memasuki kamar dan menutup pintu balkon.
"Silva, suatu saat lo tau perasaan gue, tolong jangan pernah minta gue berhenti. Karena sampai kapanpun, lo akan tetap punya tempat tersendiri di hati gue," bisik Arkan seakan angin malam bisa menyampaikan bisikannya melalui celah jendela.
***
"Enggak!" pekik Faris yang terbangun dari tidur.
Dengan napas tersengal dan wajah berkeringat, nampaknya Faris baru saja mimpi buruk. Ia masih mencoba mengatur napas yang tersengal. Faris telah dibuat tidak tenang oleh Arkan karena sesuatu yang dibisikkan padanya tadi sore saat di lapangan indoor sekolah.
Perkataan Arkan dan segala kejadian yang mungkin akan terjadi karena ulah Arkan kembali memenuhi pikiran Faris membuatnya semakin gelisah. Ia takut terjadi hal buruk pada gadisnya.
Flashback on
Arkan membisikkan sesuatu ke telinga Faris. Sesuatu yang membuatnya tak bisa tidur dengan tenang karena khawatir akan benar-benar dilakukan oleh Arkan.
"Gue juga bisa mesra-mesraan sama cewek. Maksud gue, cewek lo. Inget, gue bakal ambil yang seharusnya jadi milik gue! Silva itu harusnya jadi milik gue. So, siap-siap aja buat kehilangan dia," bisik Arkan dengan penuh penekanan.
Flashback off
"Ck, Arkan sialan!" erangnya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.
Satu yang pasti saat ini ada di pikirannya, yaitu, menghubungi Silva untuk menanyakan bagaimana keadaannya. Segera diraihnya ponsel di atas nakas lalu membuat panggilan meski waktu masih menunjukkan pukul satu dini hari. Faris menunggu cukup lama karena Silva pasti sedang sangat terlelap saat ini.
Hingga suara serak Silva menyambutnya. "Halo? Kenapa, Bunny? Ada apa malem-malem telfon? Gak bisa tidur, ya?"
Faris tersenyum mendengar pertanyaan dan suara serak khas bangun tidur kekasihnya. Ia selalu senang mendengarnya, karena terdengar menenangkan dan juga agak... hot?
"Halo, Honey! Iya nih, aku kangen suara kamu. Udah lama kan, kita gak telfonan sampe tidur?" jawab Faris dengan senyum lebar nan manis tercipta di wajahnya yang semula dipenuhi gurat kekhawatiran.
"Hmm, iya. Maaf, ya, kemarin-kemarin kan aku harus fokus belajar buat olimpiade," ucap Silva dengan mengucek sebelah matanya.
"Gak masalah, kok, honey-ku, cintaku, manisku, sayangku, it's okay. Aku tau kamu harus mempersiapkan banyak hal supaya bisa menangin olimpiadenya. Dan, gak sia-sia, kan, perjuangan kamu? Kamu berhasil bawa pulang piala paling besar! Pokoknya aku bangga banget sama kamu!" ungkap Faris panjang lebar.
Terdengar kekehan ringan di seberang sana. "Iya, iya, thanks a lot, bunny-ku, sayangku, ksatriaku, pahlawanku! Aku juga sayang banget sama kamu, love you," bisik Silva di akhir kalimatnya membuat hati Faris seakan meleleh tanpa bisa dicegah.
Saking bahagianya, Faris sampai menggigit selimut untuk menahan pekikan gemas. Sungguh, ia sangat sangat mencintai gadisnya.
"Honey? Halo, Honey?" sapanya karena tak lagi mendengar suara Silva.
"Udah tidur lagi, ya?" tanyanya melihat panggilan masih tersambung. Disusul suara dengkuran halus yang pasti milik gadisnya.
Senyum Faris mengembang. Ia jadi tidak terlalu khawatir sekarang, karena ia bisa memantau keadaan Silva dari sini. Ia tidak akan memutuskan sambungan telepon mereka sampai pagi untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada Silva.
***
Pagi menjelang, Faris terbangun mengucek kedua matanya. Ia melihat ponselnya yang masih digenggam, saat itulah ia baru sadar bahwa ia telah tertidur. Padahal, semalam ia berjanji untuk tidak tidur agar bisa menjaga Silva. Lalu, sekarang bagaimana keadaan gadisnya, ya?
Baru saja Faris akan menghidupkan ponselnya, wajah Silva sudah memenuhi layar benda pipih itu. Ternyata gadisnya sudah bangun dan sekarang meminta panggilan video. Dengan senyum mengembang lebar, Faris segera menerimanya. Nampaklah wajah Silva yang khas baru bangun tidur.
"Wow! So sexy," ujar Faris sambil mengedipkan sebelah mata.
Hal itu membuat Silva memukul layar ponselnya menggunakan bantal sambil berteriak, "Ih, mesum!"
Faris terkekeh geli melihat tingkah Silva. "Eh, eh, udah dong, Honey. Nanti hapenya rusak, gimana?"
"Biarin! Kalo hapeku rusak, kamu yang harus ganti!" pekik Silva menyudahi aksi pemukulannya dan sekarang memasang wajah jutek untuk Faris.
"Loh, kok aku? Kan kamu yang mukulin," tolak Faris mengerutkan keningnya.
"Kan kamu yang salah! Kamu mesum, aku gak suka! Pokoknya kalo mesum lagi, aku gak mau ketemu kamu lagi!" rajuk Silva mencuramkan kedua alisnya dengan bibir mengerucut.
"Iya deh, iya. Aku minta maaf, aku janji gak bakal mesum lagi," ucap Faris dengan puppy eyes-nya.
Silva terlihat menghela napas lalu memasang senyumnya. "Oke, permintaan maaf diterima!"
"Duh, gemes banget, sih! Jadi pengen unyel-unyel pipi kamu. Aku main ke rumah, ya?"
"Ngapain?" tanya Silva memiringkan kepala.
"Ya mainlah, aku udah lama gak main di rumah kamu, cuddle berdua, makan berdua, berenang berdua, olahraga berdua..." ungkap Faris dengan alis naik turun dan seringai lebar.
"Dasar mesum!! Gak usah ke sini!" pekik Silva lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak.
"Loh, kok? Honey? Kok ngambek? Emang salah olahraga berdua?" tanya Faris kepada dirinya sendiri.
"Yah... Salah paham lagi, deh," desah Faris menjatuhkan tubuhnya menjadi telentang di kasur lalu menutup wajahnya dengan bantal.
Sementara Silva sedang menggerutu kesal. Bibirnya maju dengan terus mengomel. "Kenapa sih, Faris tuh mesum banget pikirannya?" pekik Silva mendongak frustasi.
"Jadi curiga deh, gue," sambungnya mengerutkan kening.
Berpikir sejenak sebelum kembali memekik, "Tapi gue udah terlanjur sayang! Gimana dong?!"
Silva menjatuhkan tubuhnya menjadi telentang di kasur dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Silva sangat menjaga privasinya dari orang yang tidak terlalu dekat. Pun juga dengan dirinya. Silva sangat menjaga kehormatannya agar tidak dipandang rendah oleh kaum laki-laki. Maka, sejak pertama kali pacaran, Silva sudah sangat hati-hati memilih pacar. Ia tahu kalau salah memilih pacar, resikonya bisa jadi kehormatannya terenggut. Ia tidak ingin jika itu sampai terjadi padanya.
Faris pun harus melewati seleksi dan tes terlebih dahulu untuk bisa menjalin hubungan dengan Silva. Tidak tes yang terang-terangan, hanya menurut pengamatan Silva saja tentang sifat dan perilaku Faris sebelum dan setelah mereka pacaran. Terbukti, Faris sangat menjaga dan menghormati privasi apalagi kehormatannya. Bahkan, Silva melihat bahwa Faris termasuk tipe lelaki yang sangat peduli pada kaum wanita. Maka, tak ada alasan lagi bagi Silva untuk menolak Faris.
Namun, berbeda dengan akhir-akhir ini. Faris justru nampak seperti om-om pedofil setiap sedang bersama Silva. Hal itulah yang membuat Silva galau. Sebenarnya ada apa dengan Faris?
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Diah Nurpadilah
hati hati makanya Silva
2021-10-12
0
Diah Nurpadilah
Arkan soft banget sumpah
2021-10-12
0