"Woy, Dek! Mau naek gak lo?!"
Arkan tersadar lalu bangkit hendak menjawab. Namun, bus itu sudah keburu pergi. Untuk kesekian kalinya, ia melewatkan bus. Itu karena ia melamun di halte. Diliriknya jam yang melingkar di tangan kanannya dan ia yakin jika tertinggal satu bus lagi, sudah dapat dipastikan ia akan terlambat masuk sekolah. Jadi, jika tidak ingin dihukum, ia harus naik di bus yang akan segera tiba.
Arkan memilih untuk tetap berdiri agar jika bus tiba, ia bisa langsung naik. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana, pandangan lurus ke depan--kosong. Ya, lagi-lagi Arkan melamun. Di kepalanya kembali terputar percakapannya dengan sang papa semalam. Seharusnya ia bahagia mendengar rencana tersebut. Namun, jika rencana itu disampaikan padanya sebelum Silva dimiliki Faris. Jika sekarang, rasanya semua sia-sia saja.
Flashback on
"Gadis itu cantik, namanya Silvana Oktavia Hanum," jawab Setya.
"Tapi, Silva itu pacarnya Faris, Pah," sanggah Arkan.
"Iya, Papa juga tau, kok, kalau Silva sudah punya pacar. Tapi, kata ayahnya kita gak perlu khawatir. Ia akan mengurus semuanya sampai Silva mau memutuskan pacarnya lalu menerima kamu. Karena sejujurnya, dia gak suka Silva pacaran," jawab Setya.
Semakin tidak karuan hati Arkan. Jujur, ia bingung harus menjawab apa.
Flashback off
"Woy, Dek! Mau naik gak lo?"
Lamunan Arkan kembali buyar. Ia melihat bus yang meninggalkannya tadi masih tak jauh dari halte. Sepertinya pak kernet dan supir kasihan padanya. Arkan segera berlari kecil menghampiri bus itu.
"Punya masalah hidup apa sih lo, Bocah? Ngelamun mulu?" tegur si kernet bus yang masih berdiri di samping pintu bus.
"Banyak, Bang. Saya yakin Abang gak akan kuat. Udah, biar saya aja yang tanggung sendiri," jawab Arkan dengan asal.
"Halah, gegayaan lu, Bocah! Kaya yang masalahnya paling gede aja di dunia! Ayo cepet naik! Kita berenti cuma buat nungguin lu, nih! Gak jadi naek, abis lu!" seru si Abang kernet.
Namun, tanpa menjawab, Arkan berlalu--mencari kursi penumpang yang masih kosong. Hingga di kursi paling belakang, terdapat seorang gadis yang berseragam SMA yang sama dengannya sedang menunduk memainkan ponsel. Arkan harus menegur gadis itu agar ia bisa duduk di kursi dekat jendela di samping si gadis yang masih kosong.
"Permisi! Boleh gue duduk di pojok?" tanya Arkan berkata dengan menatap wajah gadis itu yang masih setia menunduk hingga ia harus merutuki nasib yang seakan tidak memihaknya hari ini saat ia tahu bahwa gadis itu adalah sosok yang sedang membuatnya galau.
"Silva?" gumam Arkan tanpa sadar. Tatapannya menjadi kosong sementara jantungnya berdebar tak menentu. Karena ia sadar, saat ini hanya ada dirinya dan Silva, tanpa Faris. Hanya mereka berdua diantara para penumpang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Ia senang kalau saja kenyataan yang sebenarnya tidak menghantam pikirannya. Bahwa Silva tidak pantas ia harapkan, karena Faris sudah memiliki gadis ini.
"Arkan, hei! Kok malah ngelamun? Ayo, mau duduk gak, lo?"
Seketika Arkan mematung di tempat saat Silva bertanya sambil menyentuh punggung tangannya. Seakan tangan itu mengalirkan listrik bertegangan tinggi yang menyengat saraf-saraf tubuhnya menimbulkan debaran yang semakin menggila di dada.
Arkan masih dengan posisi berdiri hingga bus berjalan dan tubuhnya yang seakan kehilangan tenaga, hampir saja terhuyung ke depan jika refleksnya kurang baik.
"E-eh!" Arkan mencari pegangan dan mendarat di sandaran kursi yang diduduki Silva hingga membuat Silva berada diantara tangan kokoh Arkan.
Jelas itu membuat keduanya kaget. Arkan merasakan jantungnya berhenti berdetak mengakibatkan napasnya pun berhenti.
"A-arkan, napas, hey! Ar, ayo napas!" panik Silva mengguncang tubuh Arkan dengan menyentuh kedua sisi seragam Arkan.
Lagi-lagi Arkan menegang. Ia semakin kesulitan bernapas akibat menyadari posisinya dengan Silva. Hingga wajahnya memerah sampai ke telinga dan dadanya semakin sesak, Arkan kembali berdiri tegak. Merapikan penampilannya, ia memilih berpegangan pada besi di atas kepala saja daripada harus duduk di samping Silva malah membuatnya pingsan karena keseringan menahan napas.
"Loh? Gak jadi duduk di pojok?" tanya Silva mendongak menatap Arkan heran.
Arkan menggeleng kaku lalu menjawab, "E-enggak deh, lagi pengen berdiri."
"Ya udah," tutup Silva mengangkat kedua bahu lalu kembali fokus pada ponselnya.
Sementara Arkan menghabiskan waktunya dengan menetralkan detak jantung sepanjang perjalanan menuju sekolah.
***
Kriiiiing.....
Bel panjang terdengar nyaring di seluruh penjuru sekolah. Tepat dengan Arkan dan Silva yang baru saja menginjakkan kakinya di halaman sekolah sebelum gerbang ditutup.
"Untung aja belum saya tutup gerbangnya. Kebiasaan kamu kalo datang tepat waktu banget! Ini lagi, dek Silva tumben banget baru datang jam segini?" gerutu Pak Satpam yang hendak menutup gerbang sekolah.
"Hehe, maap, Pak Ganteng, gak lagi-lagi, deh," jawab Arkan tersenyum lebar hingga memperlihatkan eye smile-nya.
"Halah, bisa aja modusnya! Udah, sana masuk kelas!"
"Makasih, Pak satpam! Aku masuk, ya!" seru Silva melambaikan tangan sambil berlari masuk menuju kelasnya di kelas 12 IPA 2.
Arkan pun segera berlari menuju kelasnya 12 IPA 1. Meski sering terlambat, Arkan memiliki otak yang cerdas hingga bisa mendapat kelas unggulan.
Sebelum sampai di kelasnya, Arkan mendengar suara Faris dan Rafan berbisik memanggilnya. Ternyata, kepala mereka menyembul keluar jendela. Arkan menghampiri keduanya.
"Baru dateng? Kebiasaan banget lo, kalo telat gak ngajakin kita!"
Geplak!
"Apa-apaan lo, hah?!" murka Faris pada Rafan yang memukul kepala belakangnya.
"Ya lo salah mulu kalo ngomong! Masa telat minta diajakin?" jawab Rafan frustasi pada cowok otak setengah yang sialnya adalah sahabat sendiri.
"Terserah gue, dong! Hidup gue kan gue yang jalanin, bukan lo! Kalo gue telat juga kan gue yang dihukum, bukan lo! Mau apa lo?!"
Sementara Rafan malah mengejek Faris dengan menirukan perkataannya dengan gerakan bibir yang berlebihan.
"Anjir! Sini lu, biar gue gibeng!"
Setelahnya Arkan hanya menyaksikan aksi kejar mengejar antara dua orang sahabat yang sudah kelas 12 SMA tapi kelakuan masih seperti anak TK. Jadi, ia pun kembali menyambung langkah menuju kelasnya. Beruntung masih belum ada guru yang masuk.
***
Salah satu hal yang paling menyebalkan sekaligus menyakitkan bagi Arkan adalah saat Silva menemani Faris yang sedang latihan basket sepulang sekolah. Seharusnya ia akan sangat menikmati permainan dan latihan mereka karena basket adalah salah satu hobinya. Namun, beda lagi cerita jika Silva turut hadir di sini dengan berbagai afeksi yang ia berikan pada Faris.
Seperti sekarang, mereka sedang beristirahat setelah latihan sparing dengan tim basket kelas 11. Seperti biasa, Silva dengan sigap akan menghampiri Faris dengan membawakan sebotol air mineral beserta handuk kecil yang digunakannya untuk mengelap keringat di wajah Faris. Setelahnya mereka akan saling melempar candaan dan tertawa bersama. Tak mempedulikan orang-orang di sekitar mereka yang menyaksikan semua itu. Seakan dunia hanya milik mereka berdua.
"Betapa indahnya dunia kurasa, saat ini, saat ini, karena malam ini malam-- adoh!!"
Rafan yang semula bernyanyi sambil menari langsung meringkuk kesakitan karena pipinya dicubit oleh manusia raksasa--begitu Rafan memanggil Kevin.
"Udah heh, lebay banget lo, Bocil!" sindir Kevin dengan tangan kekarnya menarik bahu Rafan agar duduk dengan benar dan berhenti mengaduh sakit.
"Tau ah, dasar manusia raksasa!" teriak Rafan di depan telinga Kevin.
"Ya lo gaje banget, jelas-jelas masih siang, dibilang malem," jawab Kevin sembari mengusap-usap daun telinganya.
"Nyenyenyenye. Untung pipi gue gak lepas dari tempatnya!" gerutu Rafan membenarkan posisinya kembali duduk di samping Arkan dengan mengusap kedua pipinya yang memerah.
Arkan yang duduk di sampingnya melihat ekspresi Rafan sangat menggemaskan. Dengan dorongan hati yang merasa kasihan pada Rafan yang nampak kesakitan, Arkan menggantikan tangan Rafan untuk mengusap-usap pipi Rafan dengan lembut.
Sebenarnya pemandangan seperti itu sudah biasa bagi mereka karena Arkan dan Faris sangat menjaga Rafan. Namun, entah ada apa dengan Faris yang malah melontarkan kata-kata yang seakan mengejek mereka.
"Kalian kayanya harus cepet-cepet cari pacar, deh. Kaya gue nih, mesra-mesraan tuh sama cewek, jangan sama sesama juga dong! Kasian gue sama lo berdua," katanya diakhiri tawa yang pecah di suasana yang hening.
Semua orang nampak kaget dengan perkataan yang dilontarkan Faris. Mereka tahu maksud Faris memang hanya bercanda, namun seharusnya tidak setajam itu.
Faris masih terus tertawa hingga Arkan berdiri dengan tatapan tajamnya mengarah pada Faris. Dengan kedua tangan mengepal dan rahang mengeras, Arkan menghampiri Faris.
Faris bangkit saat Arkan sampai di hadapannya. "Eh, eh, lo kok marah beneran, sih? Gue kan cuma becanda, Bro!" ujar Faris berusaha menenangkan Arkan.
"Tapi, becandaan lo keterlaluan, Ris. Bukannya kita udah janji bakal terus ngelindungin Rafan walaupun kita udah punya pasangan masing-masing sampe Rafan bisa jaga dirinya sendiri? Sekarang, mana janji lo? Kalo lo lupa, itu janji yang lo usulin sendiri! Terus, lo mau ngingkarin sendiri juga? Bener-bener pengecut, lo!" desis Arkan di depan wajah Faris.
Faris ikut menajamkan tatapannya karena tak terima disebut pengecut. "Gue bilang, gue cuma becanda!" teriak Faris terbawa emosi.
"Tapi lo keterlaluan!" balas Arkan yang juga berteriak.
Semua orang yang ada di sana mulai berdiri untuk berjaga-jaga karena suasana yang mulai menegang.
Kedua orang yang menjadi pusat perhatian masih saling bertatapan tajam. Arkan melangkah maju hingga menghadap langsung ke telinga Faris dan membisikkan sesuatu.
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Saae
aku datang mendukung karyamu...
mari kita saling dukung..
salam dari malaikat tak bersayap..
2022-01-08
0
Diah Nurpadilah
semangaaatt
2021-10-11
0