Dari pagi Faris bermain di rumah Silva. Mereka sudah melakukan banyak hal bersama. Memasak bersama, makan bersama, bermain musik bersama, menonton film bersama hingga berenang bersama. Kini, sudah saatnya Faris pulang karena hari sudah senja. Setidaknya, sebentar lagi orang tua Silva pulang dan seharian ini tidak ada tanda-tanda Arkan akan melancarkan rencana jahatnya, pikir Faris.
"Kamu mau pulang sekarang? Gak nunggu mama papa dulu?" tanya Silva saat mereka berdiri di halaman depan rumah Silva dengan Faris yang sudah menaiki motor sportnya dan sedang memakai jaket.
Senyum Faris mengembang melihat raut sedih di wajah gadisnya. Silva akan seperti ini jika ia pamit pulang setelah bermain di sini. Seakan gadis itu tidak ingin Faris meninggalkannya. Faris mengulurkan tangannya menuju dagu Silva agar mendongak menatapnya.
"Jangan nunduk terus, dong! Aku jadi gak bisa liat kecantikan kamu," ujar Faris dengan senyum lebarnya.
Namun, Silva malah semakin mengerucutkan bibirnya mendengar kalimat Faris. Lalu dipukulnya tangan Faris yang masih bertengger di dagunya. "Gombal mulu! Awas aja, kalo cewek lain juga kamu gombalin!"
"Ya gak akan lah, Honey. Aku kan orangnya setia, hehe."
"Kok pake 'hehe'? Kamu selingkuh, ya?" tuduh Silva memicingkan mata.
"Enggaklah, Honey! Aku mana bisa berpaling dari kamu. Sini, dengerin aku!" Faris menarik tangan Silva dengan lembut agar gadis itu bisa lebih dekat dengannya.
Satu tangannya menggenggam tangan Silva dan satu tangan lainnya terangkat ke atas untuk menyelipkan rambut panjang Silva ke belakang telinga, lalu diusap lembut kepalanya.
"Aku cinta sama kamu itu karena kamu spesial. Kamu ngertiin aku banget, Honey. Selama ini aku selalu nyari seseorang yang bisa ngertiin perasaan aku, karena papa mamaku beda dengan yang lain. Mereka gak punya banyak waktu buat aku, makanya, aku butuh kamu sebagai tempat bersandar saat aku butuh sandaran. Gak cuma itu, aku juga sayang banget sama kamu. Ada sesuatu yang cuma kamu yang punya, dan itu bikin aku jadi selalu pengen di samping kamu. Sekarang aja, rasanya aku gak mau pulang, mau nginep aja kalo boleh mah," ungkap Faris diiringi kekehan lembut di akhir.
Silva masih diam mendengarkan.
"Jadi, kamu gak perlu khawatir lagi, aku adalah lelaki paling setia yang pernah kamu miliki, tenang aja, oke?" sambung Faris meyakinkan Silva dengan senyum lembutnya melekat di bibirnya membuat Silva juga ikut tersenyum.
"Iya, aku akan selalu percaya sama kamu. Kamu juga percaya kan, sama aku?" jawab Silva yang berbalik bertanya.
"Pastinya, dong! Aku sangat percaya sama kamu, Honey," jawab Faris sembari mengusap pipi Silva dengan ibu jarinya.
"Ya udah, kalo gitu aku pulang, ya!" pamit Faris lalu mengenakan helm fullface-nya.
Silva mengangguk lalu mundur selangkah untuk memberi ruang pada Faris.
Setelah menyalakan mesin motornya, Faris terdiam memandangi Silva dengan lekat lalu berkata, "Kamu hati-hati, ya!"
Silva terkekeh mendengarnya. "Harusnya aku dong yang bilang hati-hati ke kamu."
"Aku pasti hati-hati, kok. Kamu gak perlu khawatir. Jangan kemana-mana tanpa izin dari papa mama, ya! Pokonya malam ini jangan kemana-mana!" seru Faris seakan memberi perintah.
Sementara Silva mengerutkan kening bingung. "Kenapa? Kok aku gak boleh kemana-mana?"
"Pokoknya gak boleh! Kalau mau pergi, kamu harus kabarin aku, biar aku yang antar, oke?" ujar Faris.
"Ciee, possesif, nih?" goda Silva mengejek Faris sambil mencubit pinggang cowok itu.
"Heh, gak boleh nakal, ya! Takutnya nanti ada yang bangun," bisik Faris di akhir kalimat.
Silva berhenti dan berpikir. "Hah? Ada yang bangun? Emang siapa yang lagi tidur?" gumamnya berpikir tanpa menyadari Faris yang telah melajukan motornya memutari Silva.
Saat sudah menemukan maksud terselubung di kalimat Faris, Silva lantas memekik, "Dasar mesum!"
"Hahaha, dadah, honey-nya Faris!" tutup Faris sambil melambaikan tangan lalu benar-benar meninggalkan halaman rumah Silva.
Senyum bahagia tak dapat lagi Silva tahan. Ia sungguh bersyukur mempunyai kekasih seperti Faris yang sangat menyayanginya dengan caranya sendiri yang terbilang unik. Tak lama, Silva pun memasuki rumah.
Sementara Faris melajukan motornya melewati gerbang rumah Silva. Namun, belum sampai di bahu jalan, seorang lelaki berhoodie menghalangi jalannya. Faris tahu persis siapa yang ada dibalik hoodie hitam itu. Seketika cengkraman tangannya menguat dan rahangnya mengatup keras. Pikirannya sontak tertuju pada kejadian sore itu.
"Arkan," gumam Faris menatap tajam sahabatnya yang kini melangkah menghampirinya. Faris turun dari motornya dan berdiri menunggu Arkan sampai di hadapannya.
"Seneng ya, bisa sayang-sayangan sama cewek yang lo cinta?" Arkan membuka percakapan dengan tatapan lurus tak menatap mata lawan bicaranya.
Arkan yakin jika Faris pasti sedang menatapnya tajam. Ia tak ingin emosinya tersulut karena melihat amarah yang berkobar di netra milik Faris.
"Sejak kapan lo ada di sini?" Arkan bertanya dengan nada rendahnya yang akan membuat orang lain terintimidasi. Lain halnya dengan Arkan. Ia sudah terbiasa dengan semua sifat Faris.
"Sejak ..." Arkan memberi jeda untuk berpikir. "Kamu mau pulang sekarang?" lanjutnya menirukan pertanyaan Silva.
Kedua tangan Faris mengepal makin kuat. "Jangan ganggu Silva!"
Arkan malah mendengus lalu terkekeh pelan. Sambil menggeleng ia menepuk bahu Faris beberapa kali. "Tenang aja, Ris, lo gak perlu khawatir gue bakal ngerebut Silva. Kita sahabatan kalo lo lupa. Mana tega gue nikung sahabat sendiri."
Faris mulai melunak mendengar ucapan Arkan. Ia seakan dapat melihat ketulusan dan kepasrahan dalam sorot mata Arkan.
"Denger gue, Bro! Jujur, gue suka Silva. Oh, bukan cuma suka, tapi gue cinta sama Silva. Kalo dibandingin, mungkin sama besarnya kaya cinta lo buat dia. Tapi, gue tau diri. Dia udah jadi milik lo, gue gak akan pernah ngerebut dia dari lo. Ya, walaupun sempet ada pikiran kaya gitu, sih," ungkap Arkan diakhiri kekehan ringan.
"Gue yakin lo pasti bisa bahagiain Silva. Tapi, kalo lo sampe bikin dia nangis, gue janji gue bakal ngerebut dia dari sisi lo," lanjutnya menatap lurus ke dalam netra kelam milik Faris.
Sementara Faris dapat melihat kesungguhan dalam netra Arkan. Seakan ia mengatakannya dengan sangat serius. Faris masih bungkam. Ia masih belum percaya dengan yang dikatakan Arkan. Ia masih membiarkan Arkan menyelesaikan kalimatnya.
Arkan menepuk bahu Faris beberapa kali sambil berkata, "Jaga Silva baik-baik!" Lalu melenggang pergi mendekati motornya yang terparkir di depan pagar rumah Silva. Mengenakan helm lalu melajukan motornya. Meninggalkan Faris yang masih diam di tempat, menatap punggung Arkan yang perlahan terlihat makin mengecil.
Menengadah ke langit yang sebentar lagi menumpahkan airnya, sambil memejam Faris merasakan hatinya berkecamuk.
'Kenapa kita selalu menyukai satu hal yang sama?'
***
Flashback on
Sepuluh tahun yang lalu, tiga keluarga sedang berkumpul dan bersenda gurau di sebuah rumah salah satu dari mereka. Para orang tua memperhatikan anak-anak mereka yang ketiga-tiganya laki-laki.
Sebut saja, Arkan kecil, Faris kecil, dan Rafan kecil. Mereka bertiga sedang bermain kemah-kemahan dengan sebuah tenda yang berhasil didirikan. Arkan kecil asik dengan sebuah kompor yang di atasnya terdapat potongan-potongan sayuran sambil berakting layaknya koki hebat. Lalu Faris kecil sedang sibuk melahap makanannya yang tadi dibuatkan oleh Arkan. Sementara Rafan entah sedang sibuk mencari apa.
"Temen-temen! Ayo olahraga! Nih, aku bawa banyak alat olahraga," seru Rafan kecil mendorong sebuah keranjang besar berisi berbagai jenis alat olahraga yang baru dibelikan sang ayah kemarin. Ia dorong keranjang itu hingga sampai ke hadapan Faris dan Arkan.
"Wah, ada bola basket!" pekik Arkan dan Faris bersamaan. Keduanya mendekat ke keranjang.
Faris lebih dulu mengambil bola basket mainan tersebut lalu berlari menjauh sambil memainkan bola tersebut. Membuat Arkan menatap sedih isi keranjang karena tidak menemukan bola basket lagi.
"Yah... Bola basketnya gak ada lagi," cicit Arkan dengan bibir mengerucut.
Rafan yang melihat Arkan mencoba menenangkan. "Bola basketnya cuma ada satu. Ya udah, ayo kita minta barengan mainnya sama Faris!"
Arkan mengangguk lalu keduanya berlari menghampiri Faris yang sedang mendribble bola dengan gerakan asal.
"Faris, ayo barengan mainnya!" seru Rafan tak mampu menghentikan Faris.
"Gak mau! Aku mau main ini sendiri dulu. Kalian ambil bola yang lain aja dulu! Kalo aku udah bosen, baru kita barengan main bola ini," jawab Faris tanpa menghentikan permainannya.
Arkan menukik alisnya tajam. Ia merebut dengan paksa bola basket itu lalu lari menjauhi Faris.
"Hei, Arkan curang! Kembalikan bola basket aku!" teriak Faris sambil mengejar Arkan.
"Enak aja! Itu bola basket aku!" balas Rafan ikut berteriak namun tidak ikut berlari. Ia memilih sibuk dengan mainan legonya.
Ketiga pasangan orang tua mereka tertawa melihat tingkah anak-anak mereka yang terlihat lucu.
Papa Arkan menggeleng sambil terkekeh geli. "Arkan dan Faris tuh sering banget rebutan mainan, haduh... Maaf ya, Pram."
Papa Faris itu ikut tertawa geli. Ia melambaikan tangannya meminta sahabatnya itu agar tidak perlu khawatir. Ia tidak akan menganggap serius pertengkaran anak-anak mereka.
"Tenang aja, Setya! Cuma barang kok, yang gak boleh itu mereka rebutan cewek, bahaya kalo itu."
Jawaban papa Faris itu disambut gelak tawa geli. Tanpa mereka sadari, keadaan anak-anak mereka malah sesuai dengan kekhawatiran mereka.
Flasback off
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Snowball Power
Hi Kak. Aku mampir, jika berkenan silahkan Mampir juga di cerita aku " MAKNA PERNIKAHAN"..
2022-01-10
1