Part 4

Roberto menyulut rokoknya lalu menghisap benda ramping itu begitu dalam. Menghembuskan asapnya perlahan.

Dia tengah berada diruang bawah tanah saat ini. Duduk bersilang kaki dan menghisap sebatang rokok.

Ruang pengap dan lembab tanpa jendela itu berbau anyir. Roberto menatap sosok pria muda dengan tubuh penuh luka yang berada di depannya. Bau anyir tadi ternyata berasal dari darah yang keluar dari tubuhnya.

"Tuan ampuni keluargaku mereka tidak bersalah," ucap Pria itu dengan suara lirih. Dia tak berdaya, seluruh tubuhnya di penuhi luka, tapi dia masih bisa memikirkan keselamatan keluarganya.

"Lancang kau memintaku mengampuni keluargamu! Tenang saja aku tidak akan menghabisi keluargamu. Aku dengar istrimu sangat cantik, aku akan menjualnya di pasar gelap, begitu juga kedua anak lelakimu. Kau berdoa saja sebelum mati. Kedua anakmu kelak bisa membalas kematianmu!" Ujar Robert sembari menatap tubuh penuh luka itu dengan tatapan tajam.

"Kau bang sat Robert, kau bukan manusia! kau bina tang!" Umpat pria itu lirih, dia bahkan tak punya tenaga untuk sekedar membuka matanya.

Robert berdiri dari duduknya menatap pria itu dengan seringai.

"Aku benci dihianati." Geram Robert, jemarinya mengepal erat.

"Bereskan penghianat ini, jangan ada bukti tertinggal. Jual istri dan anaknya di pasar gelap." Titah Rober kemudian berlalu meninggalkan ruangan pengap itu.

Mobil Robert melaju menuju ke kediamannya. Dia sudah berjanji membawa Elea keluar. Menghabiskan waktu di luar bersama putri semata wayang mereka.

Begitu sampai di halaman rumah kamelia sudah menyambutnya dengan antusias.

"Senangnya daddy menepati janji," ujar Kamelia sembari bergelayut manja. Sementara Elea memperhatikan keduanya dengan senyum didir merahnya.

"Ayo sayang, Kamel sudah tidak sabar."

Elea mengangguk lalu melangkah masuk kedalam mobil. Mobil yang baru sampai tadi, kini kembali melesat pergi membawa keluarga Robert menghabiskan waktu bersama.

"Kemana kita sayang?" Tanya Robert pada Kamel.

"Aku ingin bermain salju di Mall milik daddy. Bukankah disana sedang ada wahana salju buatan?" Tanya Kamel dengan mengerjabkan kelopak matanya berulang kali.

"Benar, darimana kau tau itu sayang?"

"Lihat digawai ku," sahut Kamel dengan senyum menggemaskan.

"Baiklah, tapi kau hanya bermain bersama ibumu. Daddy menunggu di luar sambil bekerja."

"Daddy sibuk ya, baiklah aku mengerti. Bermain dengan ibu saja kan?" Ujar Kamel dengan patuh.

"Anak pintar," puji Robert sembari memeluk tubuh mungil itu penuh kasih sayang.

Alea harus puas dengan Robert yang bisa mendapingi mereka tanpa bisa ikut bermain. Sesekali dia mengalihkan tatapannya dari layar laptop memandang dua wanita itu dengan ekspresi datar.

Dengan sepatu roda Kamel menghampiri Robert yang sedang focus pada pekerjaannya.

"Daddy masih sibuk?"

"Hemm."

"Oke baiklah." ucapnya sembari kembali ketengah hamparan salju bermain bersama ibunya.

Setelah puas bermain salju Robert membawa mereka ke resto untuk makan malam setelah itu pergi berbelanja.

"Sudah puas bermain?" Tanya Roberto pada kamel saat sudah berada di dalam mobil.

"Sudah, tapi daddy gak bisa main bareng," sungut Kamel dengan mimik manja.

"Maaf sayang, daddy benar-benar sibuk hari ini, demi janji pada Kamel daddy harus membatalkan beberapa pertemuan dengan kolega daddy." Jelas Robert sembari mengusap rambut ikal Kamel.

"Maaf mas, kami membuatmu repot," timpal Elea merasa tak enak hati harus membuat repot suaminya.

"Tidak apa sayang, sudah lama juga aku tidak menemani Kamel bermain." Jawab Robert sembari menggengam jemari istrinya.

Elea menyandarkan tubuhnya di bahu Robert, dia tak ingin kehilangan momen berharga yang jarang bisa dia lakukan dengan suaminnya.

Robert bersiap-siap keluar kamar saat Elea menegurnya.

"Mau kemana mas?" Tanya Elea sembari menatap Robert.

"Keruang kerja sayang, ada pekerjaan penting yang harus aku kerjakan. Kalau tidak terlalu penting jangan menggangguku." Jelas Robert lalu beranjak pergi meninggalkan Elea.

Elea menarik napas panjang. Menahan Robert juga untuk apa? toh dia tak bisa melayani suaminya. Di saat seperti ini dia merasa sangat putus asa dengan penyakitnya. Karena penyakitnya dia tak berani cemburu, hanya bisa diam mendam rasa itu dalam-dalam.

***

Vero duduk di tepi kolam renang, dengan kaki menjuntai kekolam, bermain gemercik air. Tidak melakukan apapun seharian membuatnya jenuh. Menelpon Robert juga tak bisa, belum lagi para pelayan di Vila ini lebih memilih menghindarinya saat dia mendekat ingin sekedar berbincang.

"Nona sudah waktunya minum obat."

Vero beralih menatap pelayan yang datang dengan nampan kecil di tangannya. Dia datang membawakan obat untuk Vero.

"Terimakasih Sus."

"Sama-sama Nona. Apa tidak sebaiknya Nona masuk kedalam. Udara di luar terasa dingin, Nona bisa masuk angin nanti," ujar Susi. Netranya menatap gadis belia itu dengan seksama. Wajahnya begitu canti bak dewi kecantikan, tubuhnya juga sangat sempurna. Dia saja begitu mengagumi setiap lekuk tubuh nonanya apalagi Robert.

"Ada apa menatapku seperti itu? tidak takut di marahi Robert?"Tanya Vero dengan senyum tipis di bibirnya.

"Aku wanita, coba pria tuan Robert pasti memenggal kepalaku." Jawab Susi dengan tubuh begidik ngeri.

Vero tertawa renyah, tawa yang begitu sempurna fi mata Susi. Saat tertawa bulan seakan menyinari tubuhnya begitu indah dan sempurna. Tapi sayang jalan yang ditempuh terlalu terjal untuk di lalui.

"Nona masih muda kenapa memilih jalan ini." Celetuk Susi, tawa di wajah Vero hilang seketika.

"Di hidupku, aku tidak boleh memilih. Dari kecil sudah tak memiliki orang tua. Setelah dewasa aku malah di jual keluargaku sendiri, menjadi pemuas ***** lelaki hidung belang," tutur Vero sembari menatap Susi yang termangu di tempatnya.

"Terdengar tak adil untuk Nona," gumam Susi, ada gurat kesedihan dimata Vero. Tapi hanya sesaat, sesaat kemudian mata itu sudah terlihat biasa saja.

"Tidak takut dimarahi tuan cerita masalah pribadi begini?" Tanya Vero dengan senyum.

"Selama tak mengungkit masalah pribadi tuan, tidak masalah."

"Begitu rupanya."

"Iya, Tuan tidak suka masalah pribadinya jadi bahan pembicaraan."

"Pantas pelayan disini semuanya bersikap waspada terhadapku."

"Yah begitulah Nona,"

Saat sedang asik berbincang, Adrian datang menyerahkan ponsel pada Vero. Robert melakukan panggilan Video padanya. Melihat itu Susi memilih masuk kedalam Vila. Meninggalkan Vero dan Adrian.

Vero menatap wajah Robert dilayar ponsel dengan senyum manisnya. Wajah tampan Robert seketika membiusnya, rasa rindu belaian dan sentuhan Robert seketika memenuhi isi kepalanya.

"Sudah baikan?" Tanya Robert dengan suara lembut.

"Sudah."

"Seharian tadi ada kambuh, tidak?" Tanya Robert lagi, netranya memindai wajah Vero.

"Tidak. Kalaupun kambuh tuan jangan khawatir banyak lelaki gagah di Vila ini sebagai ganti tuan," ucap Vero sembari melirik Andian genit. Andrian yang tengah duduk di bangku taman tak jauh dari Vero tersentak kaget, tak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Vero.

"Jaga ucapanmu! Jangan sembarang melirik lelaki lain di hadapanku!" Bentak Robert terpancing emosinya. Bukannya takut Vero malah terkekeh pelan.

"Jaga pandanganmu Rendra!" Bentak Robert kasar.

"Baik tuan!" sahut Rendra tegas lalu berbalik badan memunggungi Vero, seakan Robert ada di hadapannya saat ini. Vero semakin jadi tawanya.

"Aku akan mencongkel matamu kalau kau berani main-main!" Ancam Robert geram.

"Main-main apa? Lelaki disini seperti tak menyukai wanita, sama sekali tak memandangku. Jadi tuan tidak perlu takut." Ujar Vero dengan senyum penuh kelembutan.

"Sudah minum obat?" Tanya Robert mengalihkan pembicaraan. Dia tak mau membahas lebih lanjut hanya membuat emosi saja.

"Belum,"

"Sudah jam berapa ini kenapa belum minum obat?!"

"Bagaimana lagi, obatnya juga tidak ada disini," jawab Vero dengan mimik manja.

"Minta pelayan mengambilkan pilnya, lalu minum."

"Saat ini bukan pil yang aku butuhkan sebagai obat, tapi kehadiran tuanlah yang aku butukan. Jangan sampai aku menarik Adrian kekamarku sebagai ganti tuan." Ujar Vero tanpa rasa takut.

Robert menatap Vero dengan penuh kemarahan. Kalimat Vero batusan membuat amarahnya meluap. Vero memang wanita malam sebelumnya, tapi setelah disisinya dia tak mau Vero disentu siapapun selain dirinya.

Robert memutus panggilan tanpa sepatah kata, emosi memenuhi kepalanya saat ini. Ruang kerjanya bahkan sudah berantakan sebagai pelampiasan Amarahnya.

"Nona sebaiknya jangan memancing kemarahan tuan, atau Nona bisa kehilangan nyawa Nona yang berharga," ujar Andrian menasehati, dia takut tuannya tak mampu mengontrol emosinya dan melukai Vero.

"Tidak usah khawatir. Kalau tuan membunuhku tidak ada menangisi kematianku." Jawab Vero sembari berlalu pergi.

Andrian menghela napas berat. Kalau bisa memilih dia lebih senang mendapat misi berbahaya dari pada mengawal Nona Vero. Bisa-bisa dia kehilangan nyawa tanpa bertarung.

.

Happy reading.

Hay readers, jangan lupa tinggalin jejak kalau sudah mampir.🥰🙏

Terpopuler

Comments

Hafiz Ghany

Hafiz Ghany

novel ini bagus bgt lho ...tp yg baca kok dikit sih😩😩😩
ttep semangat KK.... semoga semakin banyak pembaca yang membaca karyamu 👍👍💪💪💪💪💪💪

2022-01-31

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!