Ana menggerutu dalam hati. Dipegangi perutnya yang sedari tadi berbunyi meminta asupan. Tetapi mau bagaimana, jam istirahat masih 30 menit lagi. Apa boleh buat, Ana memilih untuk menidurkan kepalanya diatas meja sambil mendengarkan ceramahan Pak Beto—guru fisika yang sangat membosankan.
Bagaimana tidak, selama jam pelajaran siswa hanya mendengarkan penjelasan Pak Beto yang cara mengajarnya mengotot hingga urat-uratnya terlihat. Tetapi, guru satu itu tidak pernah tahu atau tidak mau tahu dengan siswa-siswi yang menidurkan kepalanya diatas meja atau tertidur hingga mengeluarkan dengkuran.
Mata Ana melihati dinding-dinding atap kelas sambil memikirkan masa depan, keluarganya yang entah dimana, hingga sebuah wajah melintas di depan matanya. Bukan wajah Bu Sukmi—penjaga Panti yang dianggap sebagi ibu kandung, bukan juga Gadis—sahabat sejak ia dibangku Sekolah Menengah Pertama, melainkan wajah seorang cowok yang beberapa hari ini selalu mengusiknya. Iya, siapa lagi jika bukan Alan. Cowok aneh yang tidak pernah Ana temukan sebelumnya. Kenapa gue mikirin tuh cowok? gerutu Ana dalam hati. Lalu ditenggelamkan wajahnya diatas kedua tangan. Berusaha menghilangkan wajah Alan yang tersenyum manis kepadanya.
Hingga bunyi bel istirahat membuat Ana senang. Dengan segera Ana berlari menuju kantin setelah Pak Beto keluar dari kelasnya. Diterombosnya kerumunan siswa-siswi yang sedang mengantri. Ana berhenti di depan penjual soto. "Pak, sotonya satu." Pak Nanang sang penjual soto mengangguk lalu membuatkan pesanan Ana dan beberapa siswa lainnya. Dirogohnya uang di saku dan yang bisa Ana lakukan hanyalah memukul keningnya.
"Belum minta uang saku ke Bu Sukmi lagi. Gak makan sampai sore deh," ucap Ana pelan berbicara dengan dirinya sendiri. "Pak, sotoku gak jadi!"
Setelah itu, Ana memilih duduk di pojokan kantin. Tempat dimana dia bisa melihat teman-temannya asik makan sambil bersenda gurau. Sedih juga melihatnya. Sejak MOS sampai sekarang, Ana tidak pernah makan bersama teman-temannya, kecuali kakak-kakak kelasnya yang sekarang jarang bertemu.
Awal ia dekat dengan kakak-kakak kelasnya yang mayoritas laki-laki ialah saat dirinya menangis di atas gedung sekolah. Menangis lantaran sedih akan hidupnya yang berantakan. Dan saat itu, Kak Sakti, Kak Bima, Kak Wahid, Kak Erik, Kak Ayu, dan Kak Candra yang sedang bolos pelajaran mendengarnya menangis. Keenam kakak kelasnya mendekatinya dan merekalah yang membuat Ana tersenyum. Sejak itu, Ana tidak lagi sendirian. Kedekatannya dengan Kakak kelas yang menjadi pentolan membuatnya didekati beberapa siswa. Ada yang ingin berteman, lebih dari teman, dan ada yang hanya ingin berkenalan. Sayangnya itu semua palsu. Kini, kakak kelasnya itu memberi jarak kepadanya. Mungkin karena mereka senior dan tidak mau berhubungan dengan adik kelas yang malang. Sekarang...Ana kembali, sendiri.
"Ini, saya belikan soto ayam."
Ana mendongak, mendapati Alan yang kini duduk di hadapannya. "Gak, gue gak laper."
"Saya tahu kamu belum sarapan. Perut kamu bunyi tuh," ucap Alan yang berhasil membuat Ana malu. Beberapa detik keduanya terdiam. Ana masih menimbang-nimbang apa dia akan menerima soto ayam itu atau tidak.
"Buka mulut," kata Alan menyodorkan sesendok nasi soto ke depan mulut Ana. Aroma soto ayam menggodanya, hingga tanpa sadar gadis itu membuka mulut.
Ana juga bingung akan responnya. Sudah berkali-kali suapan dari Alan masuk ke dalam perutnya. "Saya suka bisa dekat dengan kamu."
"Tapi gue enggak!" sanggah Ana dengan ketus. Lalu gadis itu menerima sesendok suapan dari Alan.
"Kalau enggak, kok mau saya suapin?" Ditodong pertanyaan seperti itu membuat Ana skakmat. Iya yah, kok gue mau? tanya Ana di dalam hati.
"Soto ayamnya sampai habis begini, kamu masih mau bilang enggak suka?" tanya Alan sambil menyodorkan segelas es teh yang langsung diterima Ana dengan cemberut.
Setelah meneguk es teh sampai habis. Ana bangkit dan melangkah pergi, tanpa mengucapkan terima kasih atau kata-kata lain. Dirinya sedang malu pakai banget. Sampai-sampai takut jika harus bertemu Alan nanti sepulang sekolah. Ingin rasanya Ana menghapus ingatan Alan. Tapi semua memang kesalahannya.
"Bodoh, gue emang bodoh," maki Ana pada pantulan dirinya di cermin kamar mandi. "Bisa-bisa, Alan berpikir yang enggak-enggak."
Dibasuh wajahnya agar sedikit lebih tenang. "Jangan baper, Ana. Jangan baper." Gadis itu mencoba meyakinkan dirinya agar tidak terbawa perasaan dengan sikap baik Alan. Karena ia tidak mau jatuh dalam lingkaran cinta.
~·~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments