Ana, ini saya belikan obat buat kamu. Gara-gara saya tidak mengantarmu pulang, kamu jadi sakit. Diminum yah.
Maafkan saya.
Ana terdiam melihat stiky notes berwarna kuning yang tertempel di atas obat penurun panas yang dibawah obat tersebut terdapat bekel. Ana mendudukkan dirinya. Dibuka bekel tersebut dan terdapat nasi goreng dengan telur mata sapi. Aroma harum membuat Ana ingin memakannya. Tetapi, ia ingin tahu siapa yang memberikan ini semua.
Dari yang Ana tahu, satu-satunya manusia yang berbicara menggunakan bahasa saya- kamu dengan dirinya adalah...."Alan?"
Sebuah senyum tipis terukir diwajah Ana. Tanpa banyak berpikir lagi, Ana melahap nasi goreng tersebut. Perutnya sudah berbunyi sejak ia duduk di angkot Bang Didit.
~·~
Sungguh, Ana merasa bosan. Dia bingung apa yang harus ia lakukan. Diketuk-ketuk meja kantin pelan. Mencari sesuatu yang mungkin membuatnya semangat.
Ana merasa capek menjalani hidupnya yang tidak bisa ia jelaskan. Jujur, Ana ingin bisa menikmati hidup layaknya orang-orang disekitarnya. Dimana mereka bisa berbincang sambil bersenda gurau bersama keluarga. Namun sayang seribu sayang, Ana tidak memiliki keluarga.
"Ana, kenapa ngelamun?"
Pertanyaan yang Alan lontarkan tidak digubris oleh Ana. Gadis itu dengar, tapi pura-pura tidak dengar. Alan menempelkan telapak tangan kanannya pada kening Ana. "Kamu masih sakit Ana?"
"Gue gak sakit," ucap Ana sambil melepaskan tangan Alan dari keningnya.
"Lebih baik kamu pulang. Biar saya yang antar kamu," kata Alan tapi Ana menggeleng pelan.
"Ana, jangan buat saya merasa bersalah yang kedua kalinya gara-gara saya sudah buat kamu sakit."
"Gue gak nyalahin lo. Jadi lo gak perlu merasa bersalah."
"Tidak, saya yang salah Ana. Coba saja kemarin saya tidak membiarkan mu pulang sendiri, kamu tidak akan sakit Ana."
Ana bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar dari area kantin. Kepalanya sedang pusing dan tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa. Jalan Ana mulai tidak seimbang. Pandangannya mulai buram, hingga semuanya menjadi gelap.
~·~
"Ana?" panggil Gadis saat melihat mata Ana yang mulai membuka.
Dengan perlahan, mata berlensa hitam pekat itu membuka. Pertama yang Ana dengar dan lihat adalah suara dan keberadaan Gadis. Saat merasa penglihatannya sudah jelas, Ana mendudukkan dirinya.
"Dis, kepala gue pusing," ucap Ana pelan sambil memegangi kepalanya.
"Tadi lo pingsan An, gue udah bilang kan kalau jangan sekolah dulu," kata Gadis sambil mengambil segelas air putih dan obat penurun panas, "minum obatnya."
Diambilnya segelas air putih dan obat tersebut. "Pasti pahit."
"Diminum An. Biar lo sembuh."
"Tapi ini..."
"Air putihnya udah dicampur sama gula, jadi rasa pahitnya cuma sebentar."
Dengan terpaksa Ana meminum obat tersebut. Benar, rasa pahitnya hanya sebentar. "Siapa yang bawa gue pulang?"
"Gue gak tahu namanya, dia ngantar lo dan bilang ke gue, kalau gue harus pastiin lo gak telat makan dan minum obat."
"Dia sudah pulang?"
"Dua jam yang lalu, An."
"Gue mau istirahat Dis," ucap Ana. Gadis mengangguk lalu pergi ke kasurnya yang dimana masih satu kamar dengan Ana.
Dibaringkan tubuhnya ke kanan. Memandang tembok putih yang selalu tahu jika dia sering menangis ditengah sepinya malam hari. Ana penasaran, siapa yang sudah membantunya. Dia hanya ingin berterima kasih dan meminta maaf karena sudah merepotkan.
~·~
Makan malam telah berakhir. Satu persatu penghuni Panti masuk ke dalam kamar masing-masing. Tetapi Ana masih duduk di bangku. Nasi yang awalnya masih mengeluarkan asap panas, kini sudah dingin karena hanya di diamkan oleh Ana. Gadis itu hanya memutar-mutarkan sendok. Sementara pikirannya sedang memikirkan siapa gerangan yang menolongnya.
Yang membuat Ana heran. Ternyata masih ada murid SMA Bangsa 5 yang mau menolongnya. Dulu saat masih duduk dikelas 10, dirinya pernah pingsan saat jam pelajaran olahraga. Saat itu Pak Jamil—guru olahraga—sedang tidak masuk. Beliau menitipkan agar anak-anak berlari mengililingi kompleks sekitar SMA Bangsa 5. Sialnya Ana tidak kuat saat kembali ke sekolah dan dia pingsan dijalan. Paling membuat Ana sedih, teman-temannya tidak ada yang menolongnya. Untungnya, tidak lama ia sadar dan melihat teman-temannya hanya mengerubunginya.
"Anak ini selalu melamun," ucap Bu Sukmi—Ibu Panti—yang sangat dekat dengan Ana. Beliau lah yang merawat Ana sejak kecil hingga sekarang. Sebab itu, Ana menganggap Bu Sukmi seperti ibunya sendiri.
"Tuhkan, masih ngelamun," kata Bu Sukmi sambil mencubit pipi Ana.
"Tidak melamun, Bu."
"Kamu masih sakit, Ana. Kamu harus banyak-banyak makan."
"Tidak nafsu makan, Bu. Ana mau tidur saja."
Bu Sukmi mengangguk. Beliau sangat tahu jika Ana sangat susah dibujuk. Ibu separuh baya itu pun melangkah pergi meninggalkan Ana. Lalu tiba-tiba Gadis berlari mendekatinya. "Apaan sih lo, udah malam, tidur sana!"
"Gue cuma mau bilang, ada cowok nelpon lo."
"Ha?"
"Cepetan, kasihan dia nunggu."
Terpaksa, Ana bangkit menuju ruang tengah panti. Ditaruhnya telpon rumah itu ditelinga. "Halo, ini siapa ya?"
"Alan." Seketika Ana jadi salah tingkah. Untuk pertama kalinya Ana ditelpon oleh seorang cowok, malam-malam juga. Dia jadi bingung harus bicara apa.
"Ana sudah makan?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Gak nafsu makan. Lo ngapain telpon malam-malam? Dapat nomer Panti dari siapa?"
"Cuma mau pastiin Ana sudah makan dan minum obat. Alan dapat dari Bu Sukmi."
Ana jadi bingung. Bagaimana bisa Alan bertemu dengan Bu Sukmi. Jadi pusing sendiri memikirkannya.
"Ana, maafkan saya, gara-gara saya Ana jadi sakit. Alan cuma minta Ana segera makan, jangan lupa minum obat. Biar obatnya tidak terasa pahit, airnya dikasih gula," ucap Alan dan Ana menyimak, "yasudah, Alan tutup. Maaf sudah mengganggu."
Sambungan terputus. Ana masih diam sambil memegangi gagang telpon yang sedari tadi tertempel ditelinganya. Lalu sebuah kalimat terucap tanpa menimbulkan suara.
Terima kasih, Alan.
~·~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
JiRaa_song
Hai kak 😊 aku mampir yaa~
semangat kak.. bakal nyicil bacanya hehee
salam dari karya "yes,i'm single!" ❤️
2020-08-02
0
Pembacaaaa_
lanjut baca
2020-08-02
0