Bab 3: Maafkan Saya

Ana, ini saya belikan obat buat kamu. Gara-gara saya tidak mengantarmu pulang, kamu jadi sakit. Diminum yah.

Maafkan saya.

Ana terdiam melihat stiky notes berwarna kuning yang tertempel di atas obat penurun panas yang dibawah obat tersebut terdapat bekel. Ana mendudukkan dirinya. Dibuka bekel tersebut dan terdapat nasi goreng dengan telur mata sapi. Aroma harum membuat Ana ingin memakannya. Tetapi, ia ingin tahu siapa yang memberikan ini semua.

Dari yang Ana tahu, satu-satunya manusia yang berbicara menggunakan bahasa saya- kamu dengan dirinya adalah...."Alan?"

Sebuah senyum tipis terukir diwajah Ana. Tanpa banyak berpikir lagi, Ana melahap nasi goreng tersebut. Perutnya sudah berbunyi sejak ia duduk di angkot Bang Didit.

~·~

Sungguh, Ana merasa bosan. Dia bingung apa yang harus ia lakukan. Diketuk-ketuk meja kantin pelan. Mencari sesuatu yang mungkin membuatnya semangat.

Ana merasa capek menjalani hidupnya yang tidak bisa ia jelaskan. Jujur, Ana ingin bisa menikmati hidup layaknya orang-orang disekitarnya. Dimana mereka bisa berbincang sambil bersenda gurau bersama keluarga. Namun sayang seribu sayang, Ana tidak memiliki keluarga.

"Ana, kenapa ngelamun?"

Pertanyaan yang Alan lontarkan tidak digubris oleh Ana. Gadis itu dengar, tapi pura-pura tidak dengar. Alan menempelkan telapak tangan kanannya pada kening Ana. "Kamu masih sakit Ana?"

"Gue gak sakit," ucap Ana sambil melepaskan tangan Alan dari keningnya.

"Lebih baik kamu pulang. Biar saya yang antar kamu," kata Alan tapi Ana menggeleng pelan.

"Ana, jangan buat saya merasa bersalah yang kedua kalinya gara-gara saya sudah buat kamu sakit."

"Gue gak nyalahin lo. Jadi lo gak perlu merasa bersalah."

"Tidak, saya yang salah Ana. Coba saja kemarin saya tidak membiarkan mu pulang sendiri, kamu tidak akan sakit Ana."

Ana bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar dari area kantin. Kepalanya sedang pusing dan tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa. Jalan Ana mulai tidak seimbang. Pandangannya mulai buram, hingga semuanya menjadi gelap.

~·~

"Ana?" panggil Gadis saat melihat mata Ana yang mulai membuka.

Dengan perlahan, mata berlensa hitam pekat itu membuka. Pertama yang Ana dengar dan lihat adalah suara dan keberadaan Gadis. Saat merasa penglihatannya sudah jelas, Ana mendudukkan dirinya.

"Dis, kepala gue pusing," ucap Ana pelan sambil memegangi kepalanya.

"Tadi lo pingsan An, gue udah bilang kan kalau jangan sekolah dulu," kata Gadis sambil mengambil segelas air putih dan obat penurun panas, "minum obatnya."

Diambilnya segelas air putih dan obat tersebut. "Pasti pahit."

"Diminum An. Biar lo sembuh."

"Tapi ini..."

"Air putihnya udah dicampur sama gula, jadi rasa pahitnya cuma sebentar."

Dengan terpaksa Ana meminum obat tersebut. Benar, rasa pahitnya hanya sebentar. "Siapa yang bawa gue pulang?"

"Gue gak tahu namanya, dia ngantar lo dan bilang ke gue, kalau gue harus pastiin lo gak telat makan dan minum obat."

"Dia sudah pulang?"

"Dua jam yang lalu, An."

"Gue mau istirahat Dis," ucap Ana. Gadis mengangguk lalu pergi ke kasurnya yang dimana masih satu kamar dengan Ana.

Dibaringkan tubuhnya ke kanan. Memandang tembok putih yang selalu tahu jika dia sering menangis ditengah sepinya malam hari. Ana penasaran, siapa yang sudah membantunya. Dia hanya ingin berterima kasih dan meminta maaf karena sudah merepotkan.

~·~

Makan malam telah berakhir. Satu persatu penghuni Panti masuk ke dalam kamar masing-masing. Tetapi Ana masih duduk di bangku. Nasi yang awalnya masih mengeluarkan asap panas, kini sudah dingin karena hanya di diamkan oleh Ana. Gadis itu hanya memutar-mutarkan sendok. Sementara pikirannya sedang memikirkan siapa gerangan yang menolongnya.

Yang membuat Ana heran. Ternyata masih ada murid SMA Bangsa 5 yang mau menolongnya. Dulu saat masih duduk dikelas 10, dirinya pernah pingsan saat jam pelajaran olahraga. Saat itu Pak Jamil—guru olahraga—sedang tidak masuk. Beliau menitipkan agar anak-anak berlari mengililingi kompleks sekitar SMA Bangsa 5. Sialnya Ana tidak kuat saat kembali ke sekolah dan dia pingsan dijalan. Paling membuat Ana sedih, teman-temannya tidak ada yang menolongnya. Untungnya, tidak lama ia sadar dan melihat teman-temannya hanya mengerubunginya.

"Anak ini selalu melamun," ucap Bu Sukmi—Ibu Panti—yang sangat dekat dengan Ana. Beliau lah yang merawat Ana sejak kecil hingga sekarang. Sebab itu, Ana menganggap Bu Sukmi seperti ibunya sendiri.

"Tuhkan, masih ngelamun," kata Bu Sukmi sambil mencubit pipi Ana.

"Tidak melamun, Bu."

"Kamu masih sakit, Ana. Kamu harus banyak-banyak makan."

"Tidak nafsu makan, Bu. Ana mau tidur saja."

Bu Sukmi mengangguk. Beliau sangat tahu jika Ana sangat susah dibujuk. Ibu separuh baya itu pun melangkah pergi meninggalkan Ana. Lalu tiba-tiba Gadis berlari mendekatinya. "Apaan sih lo, udah malam, tidur sana!"

"Gue cuma mau bilang, ada cowok nelpon lo."

"Ha?"

"Cepetan, kasihan dia nunggu."

Terpaksa, Ana bangkit menuju ruang tengah panti. Ditaruhnya telpon rumah itu ditelinga. "Halo, ini siapa ya?"

"Alan." Seketika Ana jadi salah tingkah. Untuk pertama kalinya Ana ditelpon oleh seorang cowok, malam-malam juga. Dia jadi bingung harus bicara apa.

"Ana sudah makan?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Gak nafsu makan. Lo ngapain telpon malam-malam? Dapat nomer Panti dari siapa?"

"Cuma mau pastiin Ana sudah makan dan minum obat. Alan dapat dari Bu Sukmi."

Ana jadi bingung. Bagaimana bisa Alan bertemu dengan Bu Sukmi. Jadi pusing sendiri memikirkannya.

"Ana, maafkan saya, gara-gara saya Ana jadi sakit. Alan cuma minta Ana segera makan, jangan lupa minum obat. Biar obatnya tidak terasa pahit, airnya dikasih gula," ucap Alan dan Ana menyimak, "yasudah, Alan tutup. Maaf sudah mengganggu."

Sambungan terputus. Ana masih diam sambil memegangi gagang telpon yang sedari tadi tertempel ditelinganya. Lalu sebuah kalimat terucap tanpa menimbulkan suara.

Terima kasih, Alan.

~·~

Terpopuler

Comments

JiRaa_song

JiRaa_song

Hai kak 😊 aku mampir yaa~
semangat kak.. bakal nyicil bacanya hehee

salam dari karya "yes,i'm single!" ❤️

2020-08-02

0

Pembacaaaa_

Pembacaaaa_

lanjut baca

2020-08-02

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Murid Laki-Laki
2 Bab 2: Ajakan
3 Bab 3: Maafkan Saya
4 Bab 4: Dijemput
5 Bab 5: Soto Ayam
6 Bab 6: Kata Teman
7 Bab 7: Malu
8 Bab 8: Tamu
9 Bab 9: Ketahuan
10 Bab 10: Cerewet
11 Bab 11: Terpesona
12 Bab 12: Sabtu Bersama Alan
13 Bab 13: Terwujud?
14 Bab 14: Nggak Sabar
15 Bab 15: Bertemu Pram
16 Bab 16: Halte
17 Bab 17: Mulai Terbuka
18 Bab 18: Sore yang Hangat
19 Bab 19: Tidak Sendirian Lagi
20 Bab 20: Kepo
21 Bab 21: Gisel
22 Bab 22: Memenuhi Undangan
23 Bab 23: Bingung
24 Bab 24: Tugas Pertama
25 Bab 25: Gol Untuk Ana
26 Bab 26: Flying Kiss yang Trending
27 Bab 27: Bertemu Kembali
28 Bab 28: Ketiga Kalinya
29 Bab 29: Cerita Pengiring Tidur
30 Bab 30: PMS, yah?
31 Bab 31: Es Krim 4 Lapis
32 Bab 32: Mobil-mobilan Merah
33 Bab 33: Menunggu Lagi
34 Bab 34: Kenapa Bisa Rindu?
35 Bab 35: Seporsi Berdua
36 Bab 36: Tidak Bisa Menolak
37 Bab 37: Di atas Sepeda Butut
38 Bab 38: Aku? Kamu?
39 Bab 39: Kerumah Alan
40 Bab 40: Alan yang Tersudutkan
41 Bab 41: Ciuman Untuk Alan
42 Bab 42: Malam yang Ramai
43 Bab 43: Ana yang Berubah
44 Bab 44: Terima Kasih Atas Waktunya
45 Bab 45: Bang Didit Patah Hati
46 Bab 46: Tetap Tersenyum Walau Dihukum
47 Bab 47: Karena Alanalovers
48 Bab 48: Donatur Panti
49 Bab 49: Renggang
50 Bab 50: Ada Jarak Diantara Kita
51 Bab 51: Terima Kasih
52 Bab 52: Solusi Dari Teman
53 Bab 53: Surat Untuk Alan
54 Bab 54: Tidak Mungkin
55 Bab 55: Alana Comeback
56 Bab 56: Pasar Malam
57 Bab 57: Haruskah?
58 Bab 58: Adik Kakak?
59 Bab 59: Pemikiran Gadis
Episodes

Updated 59 Episodes

1
Bab 1: Murid Laki-Laki
2
Bab 2: Ajakan
3
Bab 3: Maafkan Saya
4
Bab 4: Dijemput
5
Bab 5: Soto Ayam
6
Bab 6: Kata Teman
7
Bab 7: Malu
8
Bab 8: Tamu
9
Bab 9: Ketahuan
10
Bab 10: Cerewet
11
Bab 11: Terpesona
12
Bab 12: Sabtu Bersama Alan
13
Bab 13: Terwujud?
14
Bab 14: Nggak Sabar
15
Bab 15: Bertemu Pram
16
Bab 16: Halte
17
Bab 17: Mulai Terbuka
18
Bab 18: Sore yang Hangat
19
Bab 19: Tidak Sendirian Lagi
20
Bab 20: Kepo
21
Bab 21: Gisel
22
Bab 22: Memenuhi Undangan
23
Bab 23: Bingung
24
Bab 24: Tugas Pertama
25
Bab 25: Gol Untuk Ana
26
Bab 26: Flying Kiss yang Trending
27
Bab 27: Bertemu Kembali
28
Bab 28: Ketiga Kalinya
29
Bab 29: Cerita Pengiring Tidur
30
Bab 30: PMS, yah?
31
Bab 31: Es Krim 4 Lapis
32
Bab 32: Mobil-mobilan Merah
33
Bab 33: Menunggu Lagi
34
Bab 34: Kenapa Bisa Rindu?
35
Bab 35: Seporsi Berdua
36
Bab 36: Tidak Bisa Menolak
37
Bab 37: Di atas Sepeda Butut
38
Bab 38: Aku? Kamu?
39
Bab 39: Kerumah Alan
40
Bab 40: Alan yang Tersudutkan
41
Bab 41: Ciuman Untuk Alan
42
Bab 42: Malam yang Ramai
43
Bab 43: Ana yang Berubah
44
Bab 44: Terima Kasih Atas Waktunya
45
Bab 45: Bang Didit Patah Hati
46
Bab 46: Tetap Tersenyum Walau Dihukum
47
Bab 47: Karena Alanalovers
48
Bab 48: Donatur Panti
49
Bab 49: Renggang
50
Bab 50: Ada Jarak Diantara Kita
51
Bab 51: Terima Kasih
52
Bab 52: Solusi Dari Teman
53
Bab 53: Surat Untuk Alan
54
Bab 54: Tidak Mungkin
55
Bab 55: Alana Comeback
56
Bab 56: Pasar Malam
57
Bab 57: Haruskah?
58
Bab 58: Adik Kakak?
59
Bab 59: Pemikiran Gadis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!