"Kenapa tanganmu mendadak dingin seperti itu? kamu kenapa?" tanya Ervin.
"Owh, ini hanya gugup saja. Kamu tenang aja!" Tania tersenyum samar.
"Vin, lihat itu pemain favorit kamu!" tunjuk Mimi.
Ervin bertepuk tangan melihat pemain favoritnya memasukkan bola ke dalam ring
Hiruk pikuk suara penonton dan pemain beradu dalam satu ruangan.
Satu jam telah berlalu, Tania pamit pada kedua temannya.
"Kenapa kamu gak mau bareng kita? mobil kita udah canggih kok, tidak seperti yang biasanya!" Mimi membujuk temannya.
"Ayah menyuruhku membawa dua orang bodyguard. Mereka menungguku di luar sana dan mereka juga yang akan mengantarkan aku pulang dengan mobil Limosin keluaran terbaru," ia membanggakan dirinya.
"Ya sudah... pergi saja sana! kami mau berkeliling dulu," Ervin segera menggandeng tangan Mimi.
Tania menatap keduanya dengan sebuah senyuman palsu.
"Sok cantik," ia menyunggingkan sebelah bibir.
Tania masih memperhatikan ke-dua temannya.
"Aku tidak akan kalah dari kamu Jasmine," ia berlalu dari tempatnya berdiri.
Ervin dan Mimi pergi menjauh dari bangku penonton.
"Kenapa kamu gak nonton virtual aja sih? duduk di bangku penonton itu sudah kuno," ia melepaskan genggaman tangannya.
"Aku mau ngenalin kamu dengan Tania juga, makanya aku suruh kamu cepat-cepat kemari!" sahut Mimi.
"Temen apa kalau sombongnya udah ada di ubun-ubun seperti Tania itu," ia mencibir.
"Sebenarnya dia itu baik, hanya saja jutek dan sombong!" gadis muda itu membela temannya.
"Sekarang kita pulang! aku sendirian di rumah, kamu mau main gak?" tanya Ervin yang mulai bosan. Ia tak menanggapi hal tentang Tania lagi.
"Maaf, tapi Daddy nyuruh aku pulang dengan Pak supir!" lanjutnya.
"Ya sudahlah kalau begitu kamu pulang aja sana bareng supirmu itu!" usir Ervin.
Wajahnya ditekuk bak kertas kusut.
"Kamu marah? lain kali kita kencan oke?!" Jasmine mengecup pipi Ervin dengan cepat.
Ia langsung berlalu pergi setelah melakukannya.
Ervin dengan spontan memegang pipi bekas kecupan Jasmine.
"Rasanya lembut," ia tersenyum kecil.
Tiba-tiba logikanya berpikir logis.
"Hey... jangan sampai kamu jatuh cinta sama Mimi. Ingatlah kalau dia itu seperti saudara sendiri!" Ervin menepuk pipinya berulang kali.
Ia melihat jam digitalnya, angka sudah menunjukkan pukul 5 sore hari.
Ia memanggil Supir untuk bersiap di jam tersebut.
Sebuah hologram tersembul dari jam digitalnya.
"Pak...cepat siapkan mobil! kita pulang sekarang!" ia melangkah keluar ruangan.
Setelah menyetel ulang fungsi jam tangannya, ia berlari sekencang mungkin untuk meluapkan emosi.
Hosh...Hosh
Suara nafasnya yang memburu membuat orang lain menoleh ke arahnya. Ervin langsung masuk dan mulai mengambil sebuah benda mirip sedotan. Kemudian dengan sekali tarikan benda itu membesar. Ia memainkannya dengan segala cara untuk menghilangkan stress.
"Aden gak minum dulu? emang gak capek setelah berlari tadi?" tanya supirnya sambil menyetir dengan santai.
"Minum sekalian di rumah aja Pak! Papa beliin aku mesin minuman otomatis. Jadi kalau aku mau apa tinggal pencet gak usah nyuruh si Bibi," jelasnya berbinar-binar.
"Wah... canggih bener Den!" ia melihat majikan kecilnya dibalik kaca spion.
"Sekarang kan serba otomatis dan praktis Pak.
Papa aja punya ide mau ngembangin mesin otomatis untuk obat-obatan," ucapnya bangga.
"Keren kalau gitu den Ervin," ia langsung meluncur keluar dari tempat parkir.
Ervin melihat ada seorang pria tua yang memungut biaya parkir. Ia geleng-geleng kepala melihatnya.
"Udah tahun 2035 masih saja ada tukang parkir?" ia tersenyum kecut.
"Mungkin karena bapak itu gak punya keahlian lain den," sahut pak supir.
Ervin hanya mengangguk lemah, ia bersandar dan memejamkan netranya.
Sampai di rumah ia langsung memesan minuman yang ia sukai dan tanpa memencet apapun minuman instan itu sudah keluar.
"Yeess, akhirnya aku punya mesin ini. Hanya dengar suaraku aja udah keluar deh minuman yang aku minta," ia bersemangat.
Hari sudah senja, matahari sudah hampir hilang dari peraduannya. Ervin mulai melakukan ritual sorenya. Nissa dan Rico baru sampai rumah. Mereka menghempaskan tubuhnya ke sofa yang empuk.
"Capek banget mas," ia mengeluh.
"Mau gimana lagi kalau ingin nilai kita bagus," sahut Rico.
"Untung saja besok hari Minggu dan waktunya kita libur," ia tersenyum senang.
Setelah beristirahat sejenak di sofa, mereka kembali ke kamarnya masing-masing.
****
"Bapak sama Ibu pindah saja ke rumah kami ya? Ervin kesepian di rumah, ia selalu mengeluh!" Elisa menghela nafas.
"Bapak gak sanggup kalau berada di rumah kalian lama-lama. Rumah itu besar sekali!" jawabnya beralasan.
"Di rumah kita kan ada lift untuk ke lantai dua dan tiga Pak, jadi bapak tenang saja!" sahut wanita itu.
"Sekarang juga waktu perjalanan sudah lebih singkat Pak. Dulu pertama kami pindah perlu waktu 6 jam perjalanan untuk sampai ke sana.
Tapi, sekarang hanya memakan waktu 2 jam lebih saja karena banyaknya jalan tol dan jembatan layang raksasa," Malik kegirangan.
"Tapi biarlah kami berada di rumah itu sampai kami tiada," Sugeng berkata spontan.
"Kasian Zeta gak ada temennya Pak! Rico dan Nissa sibuk kuliah dan tugas akhir. Jadi mereka tidak bisa menemani Ervin. Kalau ada Zeta kan mereka bisa main bareng," bujuk Elisa lagi.
"Kalau begitu kalian bawalah Zeta! biar kami di sana saja! kakakmu titip salam Lik, mereka bulan depan baru bisa pulang!" ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
Malik yang fokus menyetir tak membalas perkataan bapaknya.
"Kenapa Ibu diam saja? biasanya Ibu yang paling semangat kalau mau bertemu dengan Nissa," wanita itu menelisik wajah Sumiyati.
"Entahlah... perasaan Ibu tak tenang sedari semalam." Ia memegang tangan menantunya.
"Mungkin Ibu gak enak badan mungkin, ibu mau minum obat?" tanyanya.
"Ndak usah, tadi Ibu sudah minum minuman herbal yang dibuat Zeta." Ia tersenyum kecil.
"Sebentar lagi kita akan naik ke jembatan layang. Aku paling suka lewat sini," Malik tersenyum lebar.
Mereka terdiam menikmati keindahan pantai di sekelilingnya. Apalagi Zeta yang baru pertama kali pergi ke kota dimana Malik dan keluarganya berada.
"Aku kangen sama mas Rico, cuma telponan dan panggilan video aja gak puas rasanya," ia tersenyum getir.
"Sabar nduk, sebentar lagi kamu ketemu sama Rico," Sumiyati tersenyum pada cucunya.
Mobil mereka sudah turun dari jembatan layang dan meluncur bebas di jalanan.
Tiba-tiba saja ada truk di sebelah kanan yang dekat seakan ingin menyerempet mobil yang mereka kendarai.
Malik berusaha untuk menyingkirkan mobilnya, ia bermanuver dan hasilnya memang tidak diserempet oleh truk tadi.
Duagh... Braakkkk
Suara benturan keras mobil dengan pembatas jalan. Seketika jalan mendadak macet dan padat di area kecelakaan. Ada yang langsung menghubungi ambulans, ada juga beberapa orang yang melakukan live streaming dari smartphone mereka yang mahal.
"Ibu, Bapak, Elisa, Zeta," Malik memanggil orang-orang yang dia sayangi sebelum kesadarannya hilang.
*
*
*
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Maretha♚⃝҉𓆊
semangat,,
2022-03-04
0
Putra_Lombok
semangaaat
2022-01-09
2
Bie²🌺
betul tuh sombong amat si tania🙄
2022-01-06
0