Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, akhirnya Cita bisa merasakan tidur lelap. Meski kamar yang ia tempati kecil dan sederhana, namun Cita justeru bisa tidur jauh lebih nyaman daripada tidur di kamarnya sendiri di rumah.
Mengabaikan bentakan Ayah ketika Cita mengabari menginap di rumah teman, Cita mematikan hp nya dan memilih menjauh dari dunianya sejenak.
Yah, apa yang sebetulnya paling dibutuhkan anak? Meski uang juga butuh, tapi lebih dari itu anak juga butuh diperhatikan dan dianggap keberadaannya ada.
Hingga subuh menjelang, dan sayup Cita mendengar suara ketukan di luar pintu kamar di sertai suara Bi Imah memanggil namanya.
Cita bangun dari tidurnya, duduk sebentar di tepi tempat tidur baru kemudian melangkah ke arah pintu dan membukanya pelahan.
Bi Imah tersenyum.
"Maaf Bibi harus membangunkan, karena Neng Cita kan harus pulang dan berangkat sekolah."
Kata Bi Imah.
Cita mengangguk.
"Kalau mau mandi Bi Imah sudah siapkan air hangat untuk mandi, setelah itu sarapan baru nanti pulang, jadi di rumah tinggal ganti seragam dan bisa berangkat."
Kata Bi Imah.
Cita kembali mengangguk.
Ia terlalu terharu mendapat perhatian dari Bi Imah yang sebetulnya hanya pengasuhnya saja, itupun saat ia masih kecil dan akhirnya keluar kerja karena kasus yang seharusnya tak terjadi.
Bang Damar tampak juga baru bangun dan keluar kamar, ia menoleh pada Cita dan Ibunya yang tengah bicara di depan kamar kakaknya.
"Ta, nanti pulangnya tek anter, jangan pulang sendiri."
Kata Damar, lalu berjalan menuju ruang belakang untuk ke kamar mandi.
Bi Imah mengusap lengan Cita.
"Bibi buatkan dadar telur dan mie goreng, masih suka kan?"
Tanya Bi Imah.
"Iya Bi, masih."
Jawab Cita dengan suara tertahan.
Bi Imah tersenyum.
"Ya sudah nanti mandi gantian sama Bang Damar."
Cita mengangguk.
Bi Imah kemudian sibuk membuka tirai jendela rumah, terdengar suara kucing liar mengeong di depan pintu rumah.
Bi Imah ke ruang belakang sebentar, ia tampak membawa banyak kepala ikan goreng dan di bawa ke luar rumah, Cita mengikuti dan berdiri di ambang pintu, memperhatikan Bi Imah yang meletakkan kepala ikan di atas wadah itu di depan rumah dan kemudian dinikmati beberapa kucing liar yang berdatangan.
"Bi Imah masih suka kucing rupanya."
Kata Cita mengingat dulu Bi Imah juga sering melakukannya saat di rumah Cita.
Biasanya Bi Imah akan memisahkan lauk-lauk bekas makan semua orang rumah, seperti kepala ikan, atau tulang ayam, atau bahkan juga ia sengaja menyediakan makanan kering untuk para kucing liar yang meminta makan ke rumah.
Cita ingat sejak Bi Imah tidak ada, kucing-kucing liar itu berdatangan lalu diusir Bi Lastri yang menggantikan Bi Imah.
Kadang mereka disiram air dengan selang, kadang yang membandel di gebuk dengan sapu.
Cita menghela nafas.
Rasanya Cita makin merasa bahwa kehidupan di rumahnya memang sekarang dipenuhi orang-orang yang tak memiliki hati.
Setelah selesai mengganti air di wadah yang Bi Imah sengaja letakkan di luar rumah, Bi Imah mengajak Cita kembali masuk, menutup pintunya dan menyuruh Cita mandi lalu sarapan.
"Kenapa Bi Imah sangat peduli dengan kucing liar?"
Tanya Cita iseng saja sambil mengikuti Bi Imah ke belakang, Bang Damar tampak muncul dari kamar mandi.
Dengan mengenakan celana kolor saja dan bertelanjang dada karena baru selesai mandi, ia tampak santai berpapasan dengan Cita yang langsung memalingkan wajah karena enggan melihat laki-laki bertelanjang dada di depannya.
"Kucing itu kan juga butuh makan, sama seperti kita, mereka yang diadopsi manusia, makan terjamin, tidur di tempat hangat, bahkan sakit diobati mungkin beruntung. Tapi yang di jalanan, siapa yang akan peduli, saat mereka sakit, mereka lapar, kedinginan, kepanasan, bahkan mati tertabrak."
Kata Bi Imah.
"Manusia itu kan sebetulnya diciptakan untuk menebarkan kebaikan untuk seluruh alam, Bi Imah hanya mampu seperti itu ya lakukan saja sebisanya."
Lanjut Bi Imah lagi.
Cita tersenyum.
"Kenyataannya manusia jangankan menebarkan kebaikan untuk seluruh alam, untuk sesama manusia saja enggak bisa, atau memang enggak mau."
Ujar Cita membuat Bi Imah terkekeh.
"Ya sudah, Neng Cita mandi, nanti keburu siang."
Cita mengangguk.
**-------**
Sekitar hampir jam setengah enam pagi, saat Cita akhirnya memasuki komplek perumahannya.
Damar yang mengawal dengan motornya sendiri di belakang motor Cita tampak menghentikan motornya tatkala Cita akhirnya berhenti di depan pagar rumahnya.
Cita turun dari motor dan melepas helm, berjalan mendekat ke Bang Damar untuk mengucap terimakasih.
"Perlu Bang Damar nemuin Ayah Cita?"
Tanya Damar.
Cita menggeleng.
"Ngga usah Bang, ngga apa Cita bisa bicara sendiri kok ke Ayah."
Kata Cita pura-pura tenang.
Damar tersenyum.
"Kalau gitu Abang langsung pergi yah, takut kesiangan, ada pengiriman barang jam sembilan soalnya."
Kata Damar.
Cita mengangguk saja.
Damar melajukan motornya meninggalkan Cita yang kini menghela nafas dan kemudian membawa langkahnya masuk ke rumahnya.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Cita begitu Cita masuk rumah dan langsung bertemu dengan Ayah.
Wajah Ayah tampak begitu marah, Cita mengusap pipinya yang terasa begitu panas bekas tamparan tangan sang Ayah.
"Mau jadi anak gadis apa kamu hah! Ngelayab seharian, tidur di rumah orang dan pulang dengan laki-laki."
Nada suara Ayah begitu tinggi, menggelegar bukan hanya menggema di seluruh ruangan, namun juga di setiap sudut hati Cita.
Dada Cita rasanya begitu sesak, pengap dan panas.
"Lama-lama kalau dibiarkan begini terus kamu jangan-jangan akan bergaul dengan Om-Om."
Kata Ayah lagi.
Dan demi mendengarnya Cita langsung menatap Ayahnya dengan sinis.
"Apa Ayah bilang? Teganya Ayah bicara begitu pada Cita!"
Teriak Cita tak tahan dengan kalimat terakhir Ayahnya.
"Bibi mu bilang pergaulanmu meresahkan dengan banyak pemuda komplek, sekarang ditambah suka menginap di rumah teman. Teman mana? Sementara kamu pulang dengan laki-laki."
Marah Ayah lagi.
"Dia Bang Damar! Ayah kira Cita bisa serendah itu!"
Cita kesal bukan main.
Lagi-lagi Bibinya yang membuat ulah, mengompori Ayah hingga bisa-bisanya berpikir tentang hal yang tidak masuk akal.
"Ayah tidak mau tahu, mulai detik ini, kamu tidak boleh bawa motor sendiri!"
Kata Ayah.
Cita mendengus kesal.
Ia berjalan menuju kamarnya dan membanting pintunya dengan keras.
"Jangan harap Ayah akan memaafkan ulah mu yang seenaknya begitu!"
Terdengar teriakan Ayah lagi.
Cita membanting tas selempang nya ke lantai.
Apa barusan Ayah bilang? Pergaulannya dengan pemuda komplek meresahkan kata Bibi? Dan bisa-bisanya Ayah bilang jangan-jangan Cita akan tidur dengan Om-Om?
Membayangkannya saja Cita sudah mual, bagaimana bisa ada tuduhan semacam itu? Benar-benar rumahnya memang dipenuhi setan sekarang.
**---------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
༺❥ⁿᵃᵃꨄ۵᭄
ksihn cita pnya ayah mudh trhasut,,
itu bibik mcm ap jht amet sama keponakan
2022-04-20
1
Felisitaz😇
kucingnya thor aman thor?.baru bisa smpt baca.🥰tengah malam ,lanjut bc lagi🥰
2021-10-18
1
Lisa Aulia
kasar amat...padahal sama ank sendiri
2021-10-13
2