Cita melajukan motornya pelan saja, karena sebetulnya ia masih malas pulang. Membayang kan Bibinya akan mengoceh lagi, lalu ujungnya membandingkannya dengan anak Bibi Sundari lagi yang ini itu anu apalah, rasanya belum apa-apa Cita sudah pengap.
Sejak Ibu meninggal, rumahku istanaku berubah menjadi rumahku penjaraku. Tiap berada di rumah bukannya Cita makin merasa tenang, nyaman, damai, malah sebaliknya ia jadi semakin tertekan.
Andai saja Adi adalah sahabat perempuan, mungkin Cita akan memilih menginap di rumah Adi malam ini.
Sayangnya, Cita memang tidak punya teman dekat perempuan satupun, ia terlalu sulit dekat dengan teman perempuan karena hampir tak ada satupun kegemaran anak perempuan sebayanya yang ia juga gemari.
Ah tidak, bahkan sepertinya sejak kecil, Cita memang tidak pernah suka dengan semua hal yang disukai anak perempuan.
Ia tidak suka boneka, tidak suka barbie, tidak suka main masak-masakan, tidak juga suka memakai rok, gaun, apalagi yang ala-ala princes-princes.
Cita dari dulu lebih suka Ultraman, Batman, Spiderman, Power Rangers, mainanpun dia lebih suka yoyo dan main PS saja.
Setiap berkumpul dengan teman perempuan, tiba-tiba Cita akan merasa seperti masuk ke dunia lain, yang semuanya ia tak pahami, dan itu membuat Cita kesulitan beradaptasi dengan mereka.
Itulah makanya, sejak dari jaman Dinosaurus punah, Cita hanya memiliki teman bernama Adi Nugroho saja.
Ada beberapa teman cowok lain yang dulu sering main basket bareng di komplek, atau kadang juga Cita suka main tenis meja saat libur.
Tapi sekarang, sejak ada Bibi Irma, tak ada satupun dari teman cowoknya main ke rumah, hingga akhirnya pelan-pelan hubungan pertemanan Cita dengan mereka juga merenggang.
Apalagi saat sudah masuk SMA seperti sekarang, di mana kebanyakan teman cowok akan terpenjara oleh hubungannya dengan sang pacar yang cemburuan, jelas tak bisa lagi buat Cita berhubungan sedekat dulu dengan mereka.
Yah, mungkin memang hanya Adi pengecualian, yang meskipun berulangkali pacaran tapi tetap bisa mempertahankan persahabatannya dengan Cita.
Adi bahkan sering memperkenalkan pacar-pacarnya pada Cita, seperti pacar terbarunya yang bernama Desi itu, yang setiap ada masalah dengan Adi akan merengek pada Cita untuk minta diakurkan lagi.
Cita menghela nafas.
Langit senja hari ini tampak digelayuti mendung tebal, lampu-lampu jalanan mulai berkedip-kedip, menyala menerangi sepanjang jalanan Ibu Kota yang dipadati kendaraan bermotor.
Ah padahal hari libur, tapi tetap saja jalanan begitu ramai.
Cita mulai menyalip kanan kiri, saat kemudian hujan tiba-tiba mengguyur deras.
Ah sial!
Cita yang lupa bawa jas hujan langsung mencari tempat untuk berteduh.
Untungnya tak jauh dari posisinya ada pertokoan yang tutup dan di depannya beberapa orang juga tampak berteduh. Cita segera membawa motornya ke sana.
Cita memarkirkan motornya begitu saja, lalu berlari ke arah emperan pertokoan bergabung dengan orang-orang yang bernasib sama dengannya.
Bersamaan dengan Cita, tampak datang Ibu paruh baya yang juga ikut berteduh membawa bakul berisi dagangan yang masih penuh.
Cita menatap wanita itu, agak familiar wajahnya, tapi entah Cita pernah lihat di mana.
Wanita paruh baya itu menurunkan bakul berisi dagangannya, beberapa orang yang berteduh di sana menanyakan si ibu jualan apa.
"Lauk-lauk yang dibungkus, ada juga kue dan pisang goreng, uli goreng."
Wanita itu memperlihatkan dagangannya. Tampak beberapa membeli dagangan wanita itu, pasti karena tak tega, sama seperti Cita yang juga merasa iba dan akhirnya beli pisang goreng saja.
Jelas ia tak mungkin membeli lauk karena di rumah lauk sudah penuh satu meja makan.
"Berapa Neng pisang gorengnya?"
Tanya si Ibu, Cita berjongkok di depan si ibu dan kemudian ibu itu menatap Cita lekat-lekat.
Tampak ibu itu mengerutkan kening, sebelum kemudian ia mengenali Cita.
"Neng Cita bukan?"
Cita yang terkejut karena wanita itu mengenalinya langsung menatapnya.
Wanita itu tersenyum pada Cita.
"Duh Neng Cita sudah besar, ini Bibi Neng, Bi Imah."
Kata Bi Imah.
Cita menatap nanar Bi Imah.
Ah Bi Imah, pantas Cita seperti pernah melihatnya. Jelas saja, dia pengasuh Cita saat masih kecil, namun berhenti bekerja saat Cita kelas lima SD.
"Sama siapa Neng?"
Tanya Bi Imah dengan mata berkaca-kaca, tak menyangka bisa bertemu anak mantan majikannya yang dulu ia asuh saat masih kecil.
"Sendirian Bi."
Kata Cita, yang entah kenapa jadi ingin menangis.
Hujan masih turun meski tak lagi deras, Cita menatap langit yang semakin gelap.
"Masih tinggal di Pejaten?"
Tanya Bi Imah.
Cita mengangguk.
"Masih jauh dari sini, ayuk mampir ke rumah Bi Imah dulu saja, itu masuk gang sebentar kok."
Kata Bi Imah.
"Tapi Bi Imah mau jualan kan?"
Tanya Cita.
"Tidak, ini sudah mau pulang, Bi Imah berangkat dari tadi habis dzuhur. Ayuk mampir."
Kata Bi Imah.
Cita berdiri.
Menimbang apakah ia mampir ke rumah Bi Imah saja, atau pulang saja.
"Sebentar lagi maghrib, ayuk, mumpung hujannya sudah agak reda."
Kata Bi Imah lagi.
Orang-orang yang berteduh di sana juga kini mulai berangsur meninggalkan emperan toko.
"Ngg pakai motor Cita saja Bi."
Putus Cita akhirnya.
Cita kemudian lari-lari ke arah motornya, lalu melajukannya ke depan Bi Imah yang kini menjinjing bakul dagangannya.
Bi Imah naik ke boncengan sambil memangku bakul dagangan yang ia tutup rapat dengan plastik.
Cita membawa motornya memasuki gang yang dimaksud Bi Imah, terus masuk sekitar 150 meter dari jalan raya memasuki perkampungan yang cukup padat hingga sampai di depan rumah kecil sederhana.
Bi Imah menyuruh Cita berhenti, setelah itu Bi Imah turun dari boncengan.
"Ayuk Neng, Bi Imah rebuskan air hangat untuk mandi, biar ngga masuk angin."
Kata Bi Imah.
Cita yang kemudian memarkirkan motornya di samping rumah kecil Bi Imah akhirnya mengikuti Bi Imah masuk ke dalam rumah.
Bi Imah tergesa mengambilkan handuk agar Cita bisa mengeringkan tubuhnya sementara, sambil menunggu Bi Imah memasak air untuk Cita mandi.
"Bibi buatkan air teh hangat, nanti setelah itu Neng Cita bisa mandi."
Kata Bi Imah lagi.
Cita mengangguk saja.
Lama sekali, sudah lama sekali rasanya ia tidak mendapat perhatian seperti itu.
Sekalipun asisten rumah tangganya di rumah juga ada, tapi dia juga tak seperti Bi Imah yang seolah-olah memang begitu tulus pada Cita.
Cita mengeringkan lengannya yang basah, jaketnya yang kuyup di keluarkannya dari dalam rumah dan diletakannya begitu saja di atas motor.
"Nah ini air tehnya, ayo neng diminum mumpung masih hangat, supaya ngga sampai masuk angin."
Kata Bi Imah.
Cita menyambut segelas air teh hangat yang diberikan Bi Imah, saat kemudian pintu terbuka dan seorang cowok muncul dengan masih memakai jas hujan.
Ia melepas jas hujannya dan menggantungnya di gantungan luar dekat pintu baru kemudian menutup pintu rumah lagi. Bersaman dengan itu, terdengat Adzan maghrib di luar sana berkumandang.
"Ibu sudah pulang, aku tadi sempat cari di dekat pintu komplek."
Kata cowok itu.
"Ini, Ibu tadi ketemu Neng Cita, diantar pulang sama Neng Cita akhirnya."
Kata Bi Imah pada cowok yang tak lain adalah anak Bi Imah.
Ah tunggu, anak Bi Imah, berarti dia? Cita dan cowok itu saling berpandangan.
**----------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Lisa Aulia
kayak nya ketemu teman kecil kali ni ya....lanjut deh....
2021-10-13
1
zia ayu calishta
wkwkwkkw makasih Thor. meskipun jd pembantu gpp lah, nama aku ada di novel nya author... deket koq pejaten sm cipayung jakarta timur 😛😛😛
2021-10-03
3
minarni 0714
semangat selalu kak up terus, masih misteri ceritanya jd blm paham banget ini kemana arahnya hahaahha
2021-10-03
4